Mubadalah.id – Banyak orang menganggap posisi laki-laki sebagai kepala rumah tangga adalah ajaran yang pokok dalam syariah, sehingga tidak bisa digeser atas alasan apa pun dan dalam kondisi bagaimanapun.
Jika ada perempuan yang akhirnya menjadi kepala rumah tangga, ia menyalahi syariah, tidak sesuai kodrat. Dan sering orang-orang sebut dengan “dunia yang terbalik”.
Ajaran demikian ini merujuk pada potongan QS. al-Nisa (4): 34 yang berbunyi “al-rijal gawwamun ‘ala al-nisa” yang sering kali orang-orang artikan “para laki-laki (suami) adalah pemimpin atas para perempuan (istri)”.
Data BPS tahun 2018, ada 10.3 juta rumah tangga di Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga perempuan atau sekitar 15.6 persen dari total keluarga Indonesia. (Baca juga: Berdosakah Jika Istri Mengajukan Cerai?)
Jika rata-rata anggota keluarga itu 4 orang, berarti ada sekitar 52 juta orang yang berada dalam tanggung jawab seorang kepala keluarga yang berjenis kelamin perempuan.
Tentu kita tidak tepat menyatakan bahwa para perempuan kepala keluarga menyalahi kodrat. Kemudian melawan syariah, atau berada dalam “dunia yang terbalik”.
Karena dalam praktiknya, para perempuan ini mengambil tanggung jawab saat laki-laki tidak ada. Baik karena wafat, cerai, atau ada tetapi tidak bertanggung jawab.
Perempuan mengambil tanggung jawab untuk memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi. Serta kehidupan keluarga terus berjalan adalah salah satu ajaran pokok dalam Islam.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.