Mubadalah.id -Moh Sholeh Shofier dalam artikelnya perempuan single parent, berhakkah menjadi wali nikah? menyebutkan kisah yang ia kutip dari Imam Nakhe’I, yaitu kisah seorang Perempuan sarjana yang telah diirawat dan dinafkahi oleh ibunya seorang diri. Ibunya banting tulang seorang diri membiayai, mendidik, menjaga, dan menyekolahkannya. Lagi-lagi tanpa bantuan moril dan materiil dari ayah kandungnya sepeser pun.
Tetapi, ketika ia menikah, penghulu meminta kehadiran sang ayah untuk menjadi wali. Jika selama bertahun tahun lamanya saja ayahnya tidak berkontribusi untuk kemaslahatan hidupnya, maka ketika ia menikah, apakah adil jika yang utama sekali dicari adalah ayah?
Apakah pantas perjuangan seorang ibu kita negasikan? Apakah adil untuk balasan perjuangan seorang ibu yang berjuang mati-matian seorang diri menafkahi anaknya? Bolehkah seorang ibu menjadi wali nikah atas anak keperempuannya? Kemudian apakah perwalian akan tetap menjadi hak ayah yang telah menelantarkan anaknya hanya karena ia seorang laki-laki. Sangat tidak adil sekali, bukan???
Dalil Kebolehan Wali Perempuan dalam Islam
Ketentuan tentang perwalian dalam perkawinan masih menjadi perdebatan dalam kalangan para ahli fiqh. Ada ulama yang mewajibkan adanya wali, dan ada yang membolehkan tanpa wali.
Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender menyebutkan bahwa Imam Hanafi, Abu Yusuf, Zufar, Al-Awza’I, dan Malik bin Anas menyatakan dalam suatu riwayat bahwasannya wali tidak memiliki otoritas untuk mengawinkan (memaksakan perkawinan) anak perempuannya, baik gadis dewasa maupun janda.
Gadis dewasa kita maknai bagi perempuan yang sudah akil baliqh. Mukhsin Nyak Umar dan Rini Purnama dalam artikel Persyaratan Perkawinan Menurut Mazhab Hanafi, bahwasanya Imam Abu Hanifah menyebutkan dalam kitabnya yang berjudul al-mabsudh bahwa seorang perempuan yang sudah baligh dan berakal baik janda maupun gadis boleh melangsungkan pernikahannya sendiri atas akad pernikahannya. Baik itu menikah dengan laki-laki yang sekufu maupun tidak sekufu.
Kemudian wali boleh menggugat apabila tidak sekufu atau maharnya yang tidak patut. Namun akad pernikahannya dianggap sah. Imam Hanafi bukan saja membolehkan perempuan menikah tanpa wali, tetapi beliau juga membolehkan perempuan menjadi wali nikah perempuan lainnya.
Tentang Kebolehan Perempuan Menjadi Wali Nikah
Kebolehan perempuan menjadi wali juga ada penjelasannya dalam dalam kitab Al-Muwath’tha karangan Imam Malik. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik mengutip dari Kitab Imam Malik yang merujuk kisah Aisyah r.a yang pernah menjadi wali nikah anak beliau, yaitu Hafshah binti Rasulullah saw.
“Dari Abdurrahman bin al-Qasim, dari ayahnya al-Qasim bin Abi Bakr al-Shiddiq r.a., bahwa Aisyah r.a. menikahkan Hafshah bint Abdurrahman dengan seorang laki-laki bernama al-Mundzir bin al-Zubair.
Saat itu, Abdurrahman (ayah Hafshah) sedang tidak ada, karena berada di Syam. Ketika ia datang dari Syam, ia mengeluh, “Orang sepertiku ia perlakukan seperti ini? Orang sepertiku ia langkahi untuknya begitu saja?”
Lalu Aisyah r.a. berbicara dengan al-Mundzir bin al-Zubair. Dan al-Mundzir kemudian berkata, “Semua ini (keputusannya berada) di tangan Abdurrahman.”
Lalu Abdurrahman pun menjawab, “Saya tidak bermaksud membatalkan akad yang telah kamu langsungkan, (wahai Aisyah).” Dan Hafshah pun tetap hidup serumah bersama al-Mundzir. (Muwaththa’, no. 1167).
Ketentuan Wali Nikah dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Ketentuan tentang wali nikah tidak ada penjelasan secara spesifik dalam UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tetapi penjelasannya secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam. Pasal 19 KHI menyebutkan bahwa salah satu rukun nikah adalah wali.
Lebih lanjut dalam pasal 20 disebutkan bahwa yang berhak menjadi wali nikah adalah seorang laki-laki. Dengan demikian, ketentuan perkawinan di Indonesia belum menyediakan ruang untuk posisi perwalian dalam perkawinan untuk perempuan.
Saya melihat bahwa sudah saatnya Indonesia merevisi aturan perkawinan di Indonesia. Direvisi ke arah yang lebih humanis dan berkeadilan. Ahmad Azhar Basyir dalam buku Hukum Perkawinan Islam mengutip pendapat Imam Abu Hanifah, bahwasanya bagi wali yang paling prioritas bukanlah jenis kelamin laki-laki akan tetapi kepandaiannya memilihkan jodoh yang tepat bagi perempuan yang di bawah perwaliannya.
Hal tersebut semata-mata demi terwujudnya kemaslahatan dalam pernikahan anaknya kemudian hari.
Pada seorang ayah yang telah menelantarkan anaknya bertahun-tahun, maka perlu kita pertanyakan tanggung jawab perwaliannya. Al-qur’an sendiri dalam Q.S an-Nisa (4): 9 sudah mewanti-wanti hal tersebut.
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Artinya: Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).
Apakah hikmah perwalian yang diharapkan Islam akan tetap terwujud jika ayah seperti itu tetap menjadi wali? Jika pun ia tetap memiliki hak perwalian, tetapi mengapa tidak jika Undang-Undang memberi ruang untuk memprioritaskan atau minimal memberi kesempatan seorang ibu untuk menjadi wali anak perempuannya.
Karena dari sisi kecakapan, kemampuan ibu tentu sudah tidak perlu kita ragukan lagi. Kekuatannya bertahun-tahun untuk mengasuh dan melindungi putrinya tentu sudah cukup menjadi bukti. Wallahu a’lam. []