• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Maskulinitas dan Budaya Kekerasan Menyuburkan Fenomena Klitih

Aksi kekerasan di lingkaran klitih digerakkan oleh definisi "laki-laki sejati", yang sialnya berkembang di tengah maskulinitas.

Miftahul Huda Miftahul Huda
07/01/2022
in Publik
0
Penyalin Cahaya

Penyalin Cahaya

308
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Fenomena klitih, gangster berbasis kekerasan, di Jogja seperti sudah menjadi barang musiman, yakni setiap pergantian semester sekolah. Tujuannya jelas, untuk regenerasi klitih. Caranya adalah melukai musuh, menggunakan senjata tajam atau tumpul, sebagai pembuktian keberanian dan syarat menjadi anggota klitih.

Umumnya yang menjadi sasaran adalah pelajar dari sekolah musuh. Kedua pihak akan saling incar untuk unjuk kekuatan dan gengsi sebagai laki-laki. Motor menjadi kendaraan utama dalam melakukan aksi ini, dengan satu pengemudi dan satu eksekutor—pemegang senjata. Entah bagaimana cara mereka menandai musuh, yang pasti setiap sabetan senjata mengenai seseorang, mereka yakin itu musuh mereka dan tepat sasaran.

Jika fenomena klitih adalah kekerasan antar-geng sekolah, minimal, ini sudah menjadi jaminan keamanan saya di Jogja. Sebab, saya bukan seorang pelajar di salah satu sekolah di Jogja dan bukan anggota klitih dari sekolah mana pun. Namun terjadi anomali terkait teori klitih, yaitu ada pemuda Muhammadiyah yang menjadi korban (1/1) dan jauh sebelum itu korbannya malah seorang pedagang. Artinya, sekarang, siapa pun bisa menjadi korban klitih tanpa harus memenuhi syarat seorang pelajar atau musuh.

Rasanya ada perluasan tatrget klitih. Ketika yang menjadi sasaran bukan pelajar, maka pujian yang didapatkan semakin bertambah. Selain itu, operasi klitih di waktu gelap sulit menemukan target pelajar, sehingga target semakin sempit. Oleh karenanya, untuk memfasilitasi hasrat kekerasan itu, klitih memperluas targetnya secara acak dan siapa pun yang ada di jalan. Sependek hipotesis saya.

Menjadi Maskulin, Menjadi Lelaki Sejati

Baca Juga:

Nyai Badriyah Fayumi: Nabi Saw Melarang Kekerasan dalam Rumah Tangga

Revisi UU TNI Disahkan: Perempuan semakin Rentan Menjadi Korban Kekerasan

Perempuan Rentan Menjadi Korban Kekerasan dalam Perkawinan Poligami

Stop Bilang Laki-laki Tidak Bercerita

Pemicunya adalah definisi “lelaki sejati”. Sialnya, definisi lelaki sejati yang berkembang di kalangan klitih dibentuk oleh budaya maskulin. Menurut American Psycological Association, maskulinitas subur di usia muda dan selalu dikaitkan dengan kekerasan, heteroseksisme, dan kurangnya sensitifitas emosional.

Aksi klitih adalah buntut panjang dari penyesuaian diri pada definisi ideal lelaki (maskulin). Mereka ingin dilihat sebagai pemberani dan mendapat pujian dari lingkungannya, serta menjadi idola bagi wanita di sekolahnya (heteroseksisme). Alhasil, kekerasan atas lelaki lainnya menjadi cara paling jitu untuk menunjukkan kelelakian, sekaligus untuk menjadi yang paling dominan.

Konsep laki-laki di kalangan klitih ini membuktikan bukan fenomena biologis, melainkan psikologis dan konstruksi sosial. Saluran emosi laki-laki, secara konstruksi sosial, diidealkan dialirkan melalui, misalnya, perundungan dan penyerangan. Bukan menangis, yang diasosiasikan sebagai sikap feminin, lawan dari maskulin. Bahkan, lelaki yang memiliki sifat feminin menjadi sasaran perundungan, karena keluar dari definisi ideal lelaki.

Aksi Kekerasan, Membuktikan Diri Sebagai Pelindung

Veysel Bozkurt, Safak Tartanoglu, dan Glenn Dawes sempat meneliti definisi laki-laki menurut kalangan mahasiswa. Melalui penelitian berjudul Masculinity and Violence: Sex Roles and Violence Endorsment among University Students (2015) mengungkapkan bahwa laki-laki didefinisikan memiliki sifat rasional, pengambil keputusan, pencari nafkah, agresif, tidak kenal rasa takut, dan suka mengambil resiko apa pun.

Definisi yang disebutkan di atas merujuk pada peran laki-laki sebagai pelindung keluarga. Sehingga apa pun yang terjadi, laki-laki harus melakukan apa pun supaya keluarganya aman, sekali pun menempuh proses perkelahian.

Menurut studi Bozkurt dkk., laki-laki mengaku lebih bisa menikmati berinteraksi dengan film dan gim kekerasan dibandingkan perempuan. Data yang ditunjukkan Bozkurt dkk. juga mengatakan laki-laki telah lebih banyak mengalami kekerasan dari laki-laki lainnya dan ditunjukkan hal-hal yang berbau kekerasan di masa lalu (masa kanak-kanak) dibandingkan perempuan.

Masa kanak-kanak dan remaja yang disebutkan Bozkurt dkk. menguatkan fenomena klitih yang diisi oleh sebagian besar pelajar laki-laki SMA, dan sebagian kecil SMP. Aksi saling melukai yang ada di dalamnya adalah bentuk suburnya kekerasan yang didukung oleh maskulinitas.

Masa remaja menjadi masa pencarian jati diri tentang apa itu “laki-laki sejati”. Celakanya, para pelajar laki-laki itu menemukannya di tempat yang menormalisasi budaya kekerasan.

Klitih menjadi semacam wahana menempa diri bagi laki-laki yang mendefinisikan dirinya sebagai pengambil resiko, dominan, dan pelindung keluarga. Sirkulasi budaya kekerasan mengalir deras di sana. Regenerasi yang teratur juga menjadi pendukung sirkulasi itu sekaligus membuktikan banyak remaja laki-laki yang terperangkap di dalam lingkungan maskulin.

Alih-alih menjadi pelindung, fenomena klitih ini justru menciptakan ketakutan. Di satu sisi ketakutan bagi pelajar di sekolah lain—baik musuh atau pun bukan—di sisi yang lain juga menciptakan ketakutan bagi masyarakat umum untuk melakukan aktivitas.

Aksi kekerasan klitih untuk menggaet perhatian perempuan ini juga bukan cara yang tepat. Bahkan perempuan terancam menjadi sasaran atau pelampiasan kekerasan sewaktu-waktu. Sebab, aksi kekerasan memiliki sifat dominatif, bermaksud menundukkan musuhnya, serta emosi pelaku yang tidak stabil. Dan perempuan, ia berada pada lapisan terbawah dari perilaku dominatif ini: menundukkan laki-laki lain untuk menarik perhatian (baca: menundukkan) perempuan. []

Tags: kekerasanKlitihmaskulinmaskulinitas
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Budaya Seksisme

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

6 Mei 2025
Energi Terbarukan

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT

    Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aurat dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah Menikah Menjadi Bagian dari Separuh Agama?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama
  • Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version