• Login
  • Register
Jumat, 3 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Maskulinitas dan Budaya Kekerasan Menyuburkan Fenomena Klitih

Aksi kekerasan di lingkaran klitih digerakkan oleh definisi "laki-laki sejati", yang sialnya berkembang di tengah maskulinitas.

Miftahul Huda Miftahul Huda
07/01/2022
in Publik
0
Penyalin Cahaya

Penyalin Cahaya

167
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Fenomena klitih, gangster berbasis kekerasan, di Jogja seperti sudah menjadi barang musiman, yakni setiap pergantian semester sekolah. Tujuannya jelas, untuk regenerasi klitih. Caranya adalah melukai musuh, menggunakan senjata tajam atau tumpul, sebagai pembuktian keberanian dan syarat menjadi anggota klitih.

Umumnya yang menjadi sasaran adalah pelajar dari sekolah musuh. Kedua pihak akan saling incar untuk unjuk kekuatan dan gengsi sebagai laki-laki. Motor menjadi kendaraan utama dalam melakukan aksi ini, dengan satu pengemudi dan satu eksekutor—pemegang senjata. Entah bagaimana cara mereka menandai musuh, yang pasti setiap sabetan senjata mengenai seseorang, mereka yakin itu musuh mereka dan tepat sasaran.

Jika fenomena klitih adalah kekerasan antar-geng sekolah, minimal, ini sudah menjadi jaminan keamanan saya di Jogja. Sebab, saya bukan seorang pelajar di salah satu sekolah di Jogja dan bukan anggota klitih dari sekolah mana pun. Namun terjadi anomali terkait teori klitih, yaitu ada pemuda Muhammadiyah yang menjadi korban (1/1) dan jauh sebelum itu korbannya malah seorang pedagang. Artinya, sekarang, siapa pun bisa menjadi korban klitih tanpa harus memenuhi syarat seorang pelajar atau musuh.

Rasanya ada perluasan tatrget klitih. Ketika yang menjadi sasaran bukan pelajar, maka pujian yang didapatkan semakin bertambah. Selain itu, operasi klitih di waktu gelap sulit menemukan target pelajar, sehingga target semakin sempit. Oleh karenanya, untuk memfasilitasi hasrat kekerasan itu, klitih memperluas targetnya secara acak dan siapa pun yang ada di jalan. Sependek hipotesis saya.

Menjadi Maskulin, Menjadi Lelaki Sejati

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual
  • Melindungi Perempuan dari Terorisme
  • Puncak Kampanye 16 HAKTP di Cirebon
  • Kenapa Perempuan Lebih Rentan Menjadi Korban KDRT?

Baca Juga:

Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual

Melindungi Perempuan dari Terorisme

Puncak Kampanye 16 HAKTP di Cirebon

Kenapa Perempuan Lebih Rentan Menjadi Korban KDRT?

Pemicunya adalah definisi “lelaki sejati”. Sialnya, definisi lelaki sejati yang berkembang di kalangan klitih dibentuk oleh budaya maskulin. Menurut American Psycological Association, maskulinitas subur di usia muda dan selalu dikaitkan dengan kekerasan, heteroseksisme, dan kurangnya sensitifitas emosional.

Aksi klitih adalah buntut panjang dari penyesuaian diri pada definisi ideal lelaki (maskulin). Mereka ingin dilihat sebagai pemberani dan mendapat pujian dari lingkungannya, serta menjadi idola bagi wanita di sekolahnya (heteroseksisme). Alhasil, kekerasan atas lelaki lainnya menjadi cara paling jitu untuk menunjukkan kelelakian, sekaligus untuk menjadi yang paling dominan.

Konsep laki-laki di kalangan klitih ini membuktikan bukan fenomena biologis, melainkan psikologis dan konstruksi sosial. Saluran emosi laki-laki, secara konstruksi sosial, diidealkan dialirkan melalui, misalnya, perundungan dan penyerangan. Bukan menangis, yang diasosiasikan sebagai sikap feminin, lawan dari maskulin. Bahkan, lelaki yang memiliki sifat feminin menjadi sasaran perundungan, karena keluar dari definisi ideal lelaki.

Aksi Kekerasan, Membuktikan Diri Sebagai Pelindung

Veysel Bozkurt, Safak Tartanoglu, dan Glenn Dawes sempat meneliti definisi laki-laki menurut kalangan mahasiswa. Melalui penelitian berjudul Masculinity and Violence: Sex Roles and Violence Endorsment among University Students (2015) mengungkapkan bahwa laki-laki didefinisikan memiliki sifat rasional, pengambil keputusan, pencari nafkah, agresif, tidak kenal rasa takut, dan suka mengambil resiko apa pun.

Definisi yang disebutkan di atas merujuk pada peran laki-laki sebagai pelindung keluarga. Sehingga apa pun yang terjadi, laki-laki harus melakukan apa pun supaya keluarganya aman, sekali pun menempuh proses perkelahian.

Menurut studi Bozkurt dkk., laki-laki mengaku lebih bisa menikmati berinteraksi dengan film dan gim kekerasan dibandingkan perempuan. Data yang ditunjukkan Bozkurt dkk. juga mengatakan laki-laki telah lebih banyak mengalami kekerasan dari laki-laki lainnya dan ditunjukkan hal-hal yang berbau kekerasan di masa lalu (masa kanak-kanak) dibandingkan perempuan.

Masa kanak-kanak dan remaja yang disebutkan Bozkurt dkk. menguatkan fenomena klitih yang diisi oleh sebagian besar pelajar laki-laki SMA, dan sebagian kecil SMP. Aksi saling melukai yang ada di dalamnya adalah bentuk suburnya kekerasan yang didukung oleh maskulinitas.

Masa remaja menjadi masa pencarian jati diri tentang apa itu “laki-laki sejati”. Celakanya, para pelajar laki-laki itu menemukannya di tempat yang menormalisasi budaya kekerasan.

Klitih menjadi semacam wahana menempa diri bagi laki-laki yang mendefinisikan dirinya sebagai pengambil resiko, dominan, dan pelindung keluarga. Sirkulasi budaya kekerasan mengalir deras di sana. Regenerasi yang teratur juga menjadi pendukung sirkulasi itu sekaligus membuktikan banyak remaja laki-laki yang terperangkap di dalam lingkungan maskulin.

Alih-alih menjadi pelindung, fenomena klitih ini justru menciptakan ketakutan. Di satu sisi ketakutan bagi pelajar di sekolah lain—baik musuh atau pun bukan—di sisi yang lain juga menciptakan ketakutan bagi masyarakat umum untuk melakukan aktivitas.

Aksi kekerasan klitih untuk menggaet perhatian perempuan ini juga bukan cara yang tepat. Bahkan perempuan terancam menjadi sasaran atau pelampiasan kekerasan sewaktu-waktu. Sebab, aksi kekerasan memiliki sifat dominatif, bermaksud menundukkan musuhnya, serta emosi pelaku yang tidak stabil. Dan perempuan, ia berada pada lapisan terbawah dari perilaku dominatif ini: menundukkan laki-laki lain untuk menarik perhatian (baca: menundukkan) perempuan. []

Tags: kekerasanKlitihmaskulinmaskulinitas
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Satu Abad NU

Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

3 Februari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Pemakaman Muslim Indonesia

5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia dan Kontribusinya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

30 Januari 2023
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama

30 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Satu Abad NU

    Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Saw Menyambut Ceria Kehadiran Anak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Teladan Bersolidaritas dan Pesan Moral Untuk Masa Depan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Fatherless dan Peran Ayah bagi Anak Perempuannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pada Masa Nabi Saw, Sahabat Perempuan Pun Pernah Mengajukan Cerai

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist