• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Buku Esok Jilbab Kita Rayakan, Kalis Mardiasih Membongkar Narasi Jilbab

Perdebatan tentang jilbab sering kali berkelindan antara pilihan dan paksaan, antara ekspresi kebebasan dan tekanan sosial.

Firda Imah Suryani Firda Imah Suryani
12/03/2025
in Buku, Rekomendasi
0
Esok Jilbab Kita Rayakan

Esok Jilbab Kita Rayakan

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di Indonesia, jilbab tidak sekadar menjadi sehelai kain penutup kepala, tetapi juga simbol identitas, spiritualitas, hingga politik. Perdebatan tentang jilbab sering kali berkelindan antara pilihan dan paksaan, antara ekspresi kebebasan dan tekanan sosial.

Kalis Mardiasih, melalui buku terbarunya Esok Jilbab Kita Rayakan, mengangkat isu ini dengan pendekatan yang reflektif dan penuh keberanian. Seperti dalam karya-karya sebelumnya, Kalis menyoroti pengalaman perempuan dalam menghadapi norma sosial yang sering kali bersinggungan dengan kebebasan individu.

Dalam buku ini, Kalis menghadirkan serangkaian narasi yang menunjukkan bagaimana jilbab tidak pernah sekadar pilihan individual. Tetapi juga bagian dari konstruksi sosial yang kompleks. Ia membahas bagaimana perempuan di Indonesia menghadapi berbagai bentuk tekanan dalam memilih apakah akan berjilbab atau tidak.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan keagamaan yang konservatif, tetapi juga di ruang-ruang yang lebih sekuler. Di mana jilbab kerap menjadi identitas budaya dan bahkan alat kontrol sosial.

Jika menilik sejarah, jilbab di Indonesia mengalami transformasi besar. Pada era Orde Baru, jilbab sempat terlarang di sekolah-sekolah negeri karena menganggapnya sebagai simbol perlawanan politik. Namun, sejak era Reformasi, jilbab justru mengalami normalisasi dan bahkan menjadi bagian dari kebijakan seragam di banyak institusi pendidikan.

Baca Juga:

Tafsir Sakinah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan

Fiqhul Usrah: Menanamkan Akhlak Mulia untuk Membangun Keluarga Samawa

Beberapa kasus yang mencuat, seperti pemaksaan siswi non-Muslim di Padang untuk mengenakan jilbab. Fakta ini menandakan bahwa jilbab tidak hanya menjadi simbol agama, tetapi juga alat regulasi sosial yang bisa bersifat represif.

Pandangan Kalis Mardiasih tentang Jilbab dan Perempuan

Dalam buku ini, Kalis Mardiasih menegaskan bahwa jilbab tidak seharusnya menjadi instrumen penilaian moral perempuan. Ia mengkritisi bagaimana perempuan sering kali dinilai dari penampilannya, bukan dari karakter atau intelektualitasnya.

Kalis menyoroti bahwa dalam banyak kasus, jilbab menjadi alat untuk mengontrol tubuh perempuan dan membatasi ruang geraknya di masyarakat. Perempuan yang tidak berjilbab sering kali menghadapi stigma sebagai kurang religius. Sementara perempuan yang berjilbab juga bisa mengalami tekanan untuk memenuhi standar kesalehan tertentu.

Lebih jauh, Kalis membongkar mitos bahwa semua perempuan yang mengenakan jilbab melakukannya dengan kesadaran penuh. Banyak perempuan yang mengenakan jilbab karena tekanan keluarga, lingkungan kerja, atau bahkan sistem pendidikan yang mengharuskan seragam Islami. Ia juga menyoroti pengalaman perempuan yang ingin melepas jilbab tetapi terhalang oleh ketakutan terhadap reaksi sosial yang negatif.

Membincang Jilbab

Diskursus tentang jilbab tidak hanya relevan di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Di mana pengalaman perempuan dengan jilbab sangat bervariasi.

Jika di Prancis, misalnya, jilbab dipersoalkan sebagai ancaman bagi sekularisme negara dan bahkan dilarang di sekolah-sekolah negeri. Di Iran, jilbab justru diwajibkan sebagai bagian dari kebijakan negara berbasis syariah. Dua pendekatan yang berlawanan ini menunjukkan bagaimana jilbab bisa menjadi alat politik yang negara gunakan untuk mengatur tubuh perempuan.

Di Turki, yang memiliki sejarah panjang sekularisme ala Mustafa Kemal Atatürk, jilbab sempat dilarang di institusi pendidikan dan pemerintahan selama beberapa dekade sebelum akhirnya kembali diperbolehkan. Sementara itu, di Malaysia, jilbab lebih banyak bersifat pilihan, meskipun norma sosial tetap memberi tekanan bagi perempuan Muslim untuk mengenakannya.

Buku Esok Jilbab Kita Rayakan juga menarik jika kita bandingkan dengan karya-karya lain yang mengangkat isu jilbab dalam konteks sosial. Misalnya, Leila Ahmed dalam A Quiet Revolution membahas bagaimana jilbab di dunia Arab mengalami kebangkitan kembali sebagai simbol resistensi terhadap kolonialisme, tetapi sekaligus menjadi alat penegakan norma patriarki dalam masyarakat. Dalam Unveiling the Truth, Asra Nomani menyoroti bagaimana jilbab di beberapa komunitas Muslim di Barat menjadi simbol kebebasan sekaligus batasan.

Salah satu poin penting yang Kalis angkat adalah pertanyaan mendasar: apakah perempuan benar-benar bebas dalam memilih jilbab, ataukah mereka memilih dalam kondisi yang telah terkondisikan oleh norma sosial dan tekanan komunitas?

Dalam beberapa kisah yang diceritakan dalam buku ini, ada perempuan yang memilih berjilbab karena kesadaran spiritual. Tetapi ada juga yang melakukannya karena tuntutan keluarga atau lingkungan kerja. Tidak sedikit pula yang mengalami dilema ketika ingin melepas jilbab tetapi takut terhadap stigma sosial.

Komodifikasi Jilbab

Dalam budaya populer Indonesia, jilbab telah mengalami komodifikasi. Merek-merek fashion Muslimah berlomba menawarkan gaya jilbab modern yang lebih stylish, dengan pesan bahwa jilbab bukan hanya soal kepatuhan agama, tetapi juga soal estetika dan citra diri. Fenomena ini juga terjadi di dunia Arab, di mana muncul tren modest fashion yang menggabungkan tuntutan religius dengan gaya hidup urban.

Melalui buku Esok Jilbab Kita Rayakan, Kalis Mardiansih mengajak pembaca untuk melihat jilbab bukan sekadar sebagai simbol keagamaan, tetapi juga sebagai ruang negosiasi perempuan dalam menghadapi berbagai tekanan sosial.

Jilbab bisa menjadi ekspresi kebebasan, tetapi juga bisa menjadi instrumen kontrol. Buku ini penting kita baca, tidak hanya oleh perempuan Muslim, tetapi juga oleh siapa saja yang ingin memahami kompleksitas identitas perempuan dalam masyarakat modern.

Dengan bahasa yang tajam namun reflektif, Kalis berhasil mengungkap bagaimana jilbab bukan hanya sekadar kain yang menutupi kepala. Tetapi juga cerita tentang kuasa, pilihan, dan perjuangan perempuan dalam mendefinisikan diri sendiri. Sebuah buku yang layak menjadi bahan diskusi di tengah dinamika sosial yang terus berkembang. []

Tags: BudayaEsok Jilbab Kita Dirayakanislamkalis mardiasihNarasi JilbabReview BukuTradisi
Firda Imah Suryani

Firda Imah Suryani

Saya perempuan bukan aib masyarakat, bukan juga orang kriminal.  Pengemar musik indie dan pemakan sayuran.

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Novel Cantik itu Luka

Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID