• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

“Cinta” Bukan Kata Benda

Mubadalah Mubadalah
14/05/2019
in Personal
0
"cinta"

"cinta"

20
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dari enam bersaudara di keluarga kami, hanya aku dan abangku yang belum (mau) menikah. Tapi aku banyak belajar dari cerita suka-duka rumah tangga orang-orang terdekatku, berharap pelajaran itu bisa jadi bekal jika suatu saat aku berkeinginan menikah. Masalah rumah tangga di keluargaku terkadang membuat pikiranku berkecamuk mencari jawaban atas satu pertanyaan dasar: apa itu “cinta”?

Perbedaan kepribadian dan pengalaman tiap kepala, kuat-tidaknya komitmen untuk terus bersama, seberapa lama usia pernikahan, menghasilkan lika-liku hubungan yang berbeda level kesulitannya.

Apakah besarnya cinta yang membuat ibuku masih sering merindukan Bapak, meski sudah sewindu beliau pergi meninggalkan kami (setelah berpuluh tahun hidup bersama)? Apakah hilangnya cinta yang membuat bibiku memutuskan berpisah dengan suaminya? Apakah pudarnya cinta yang membuat pernikahan kakakku di ambang perceraian?

Selama ini aku menganggap ‘cinta’ sebagai rasa kasih sayang atau rasa tertarik yang mendalam kepada seseorang atau sesuatu (hewan peliharaan, hobi, benda, dsb). Maka “cinta” bisa datang dan pergi dari hati kita.

Dalam bahasa Inggris, kata “love” dikategorikan sebagai kata benda (noun) atau kata kerja (verb). “Love” sebagai noun berarti “perasaan intens berupa afeksi yang mendalam; ketertarikan dan kesenangan yang besar terhadap sesuatu.” (Dan seterusnya).

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Lalu “love” sebagai verb berarti “merasakan suatu ikatan romantis atau seksual kepada seseorang; sangat menyukai atau sangat menikmati (sesuatu).”

Definisi “cinta” dalam bahasa Inggris cocok dengan anggapanku, bahwa cinta adalah sesuatu yang kita rasakan dan ia bisa hilang suatu saat. Tapi, benarkah begitu? Aku belum puas. Apakah cinta itu suatu perasaan atau emosi? Aku pun googling lagi: “is love a feeling or an emotion?”

Di Quora, aku menemukan jawaban yang menarik atas pertanyaan tadi. Ditulis oleh Kenneth Moore, jawabannya yang tak terduga telah mengubah persepsiku tentang cinta selama ini.

Menurut pandangannya, “love” telah sering disalahartikan sebagai suatu perasaan/emosi, sehingga “love” dikategorikan sebagai noun. Menurutnya, “love” seharusnya sejak awal diajarkan sebagai kata kerja (verb) saja, dan bukan kata benda (noun).

Hal ini jadi salah satu penyebab rusaknya banyak hubungan, karena banyak manusia menganggap bahwa cinta itu suatu perasaan/emosi yang suatu saat bisa hilang dari hati kita, hingga itu sering menjadi alasan perpisahan.

“Cinta” menurutnya adalah perbuatan yang kita putuskan dan lakukan sendiri secara konsisten kepada/untuk orang yang kita cintai, yang membuat orang itu merasa senang, berharga, penting, dan merasa dicintai.

Perbuatan yang berarti “mencintai” itu bisa berupa mendengarkan, memeluk, memuji, menulis surat romantis, memberi hadiah, dan sebagainya.

“Mencintai” berarti melakukan segala perbuatan yang membuat orang yang kita cintai merasa bahagia dan berharga, secara konsisten. Mengapa harus konsisten? Karena sekali saja kita memutuskan untuk “tidak cinta”—yang berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang membuatnya sedih/kecewa, apalagi sampai berpaling ke lain hati—maka akan sulit bagi kita untuk kembali mencintainya.

Lantas, apa itu perasaan menggebu kepada seseorang/sesuatu yang bisa datang dan hilang begitu saja? Kita biasa menyebutnya “gairah”, “ketertarikan”, “rasa kagum”, atau “birahi”. Tapi bukan “cinta”.

Aku pun mencoba mencari kata “cinta” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online. Ternyata dalam KBBI, kata “cinta” tanpa awalan/imbuhan tidak termasuk dalam kategori kata benda. Semakin mantaplah imanku.

Kini aku cenderung memaknai “cinta” sebagai kata kerja, bukan kata benda; bahwa kasih adalah keputusan yang aku lakukan atas kehendak sendiri berupa konsistensi untuk memperlakukan orang yang aku cintai sebaik-baiknya.

Dengan begini aku akan lebih berhati-hati untuk tidak mudah mengumbar kata “cinta”. Karena sekali saja aku mengaku cinta kepada seseorang berarti aku memikul tanggung jawab besar untuk selalu memperlakukannya dengan baik, apapun yang terjadi; meski suatu saat gairah/ketertarikan/kekaguman/birahi kepadanya memudar, karena aku telah memutuskan untuk mencintainya.

Mubadalah

Mubadalah

Portal Informasi Popular tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang mengarah pada kebahagiaan dan kesalingan dalam perspektif Islam.

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Menemani Laki-laki dari Nol

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID