• Login
  • Register
Minggu, 26 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Covid-19: ‘The Hunger Games’ atau sapi perah untuk Big Pharma?

Krisis masif seperti COVID-19 seharusnya menjadi momen melakukan perubahan paradigma. Namun apa yang terjadi, semua berjalan bisnis seperti biasa dan bahkan lebih parah  karena pandemi digunakan sebagai sapi perah untuk farmasi besar (Big Pharma)

Julia Suryakusuma Julia Suryakusuma
05/08/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Covid-19

Covid-19

86
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Indonesia mengantongi medali emas untuk bulu tangkis di Olimpiade Tokyo — kemenangan bersejarah! Berkat Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, medali tersebut adalah emas pertama untuk ganda putri Indonesia, tetapi juga merupakan  bagian warisan emas bulu tangkis yang kita miliki sejak 1958.

Kemenangan Greysia dan Apriyani adalah suntikan non-vaksin yang sangat kita butuhkan untuk mengangkat semangat Indonesia yang tengah diterpa pandemi. Menurut National Geographic (27 Juli), “Indonesia is a new COVID-19 epicenter. The peak has yet to come (Indonesia adalah episentrum COVID-19 baru. Puncaknya belum tiba).  Seolah judulnya tidak cukup mengenaskan, ada tambahan subjudul: “After the pandemic, we will probably have a lost generation.” (Setelah pandemi, kita mungkin akan kehilangan satu generasi).

Luar biasa. Hampir satu setengah tahun pandemi COVID-19 berjalan di seluruh dunia, mestinya kita semua sudah menjadi lebih bijaksana, lebih berpengetahuan dan pemerintah lebih cerdas dalam menangani masalah ini. Tapi tidak, keadaan malah menjadi lebih kacau dan membingungkan. Teori konspirasi berlimpah, kecuali bahwa, katakanlah, enam bulan kemudian, tidak dianggap konspirasi lagi. Misalnya, gagasan bahwa virus corona berasal dari laboratorium di Wuhan, Cina, tidak dipercaya sampai  satu setengah tahun kemudian, eh, ternyata dianggap bahwa ada benarnya juga.

Intinya, siapa yang bisa mengatakan apa yang sebenarnya tentang COVID, asal-usulnya, kemanjuran vaksin, serta apa yang disebut “teori konspirasi” vaksin? Siapa yang mendefinisikan apa itu kebenaran? Pemerintah? Farmasi Besar? Media arus utama? Bill Gates?

Vaksin digembar-gemborkan sebagai obat yang paling mujarab untuk pemulihan dari pandemi global. Tapi apakah benar demikian? Keragu-raguan vaksin (vaccine hesitancy) dipandang sebagai hambatan utama untuk tujuan ini. Tetapi bagaimana jika Albert Bourla, CEO Pfizer sendiri, yang mengatakan dia tidak perlu divaksinasi? Dia memberikan alasan bahwa dia berusia 59 tahun, dalam keadaan sehat, tidak berada di garis depan pandemi dan “tipe”-nya tidak direkomendasikan untuk divaksinasi. Hmm alasan yang menarik.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI
  • Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan
  • Kemanusiaan Perempuan
  • Ketika Mahasantriwa SUPI ISIF Belajar Keberagaman

Baca Juga:

Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Membincang Perempuan Pemimpin, dan Pemimpin Perempuan

Kemanusiaan Perempuan

Ketika Mahasantriwa SUPI ISIF Belajar Keberagaman

Yah, ada banyak kasus orang yang meski sudah divaksinasi, toh  terinfeksi juga. Saya mengetahui banyak kasus di Indonesia, dan sebuah penelitian baru-baru ini di Amerika Serikat menunjukkan tiga perempat orang yang terinfeksi virus corona telah divaksinasi.

Lalu ada masalah monopoli vaksin. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh The People’s Vaccine Alliance (Aliansi Vaksin Rakyat) dengan judul “Biaya vaksinasi dunia terhadap COVID-19 bisa setidaknya lima kali lebih murah jika perusahaan farmasi tidak mengambil keuntungan dari monopoli mereka pada vaksin COVID-19”. Judulnya saja sudah mengatakan semuanya.

“Analisis baru oleh Aliansi menunjukkan bahwa perusahaan Pfizer/BioNTech dan Moderna membebankan biaya kepada pemerintah sebesar US$41 miliar di atas perkiraan biaya produksi. Kolombia, misalnya, berpotensi membayar lebih sebesar $375 juta untuk dosis vaksin Pfizer/BioNTech dan Moderna, dibandingkan dengan perkiraan harga biayanya,” demikian laporan tersebut.

“Meskipun peningkatan pesat dalam kasus dan kematian COVID-19 di seluruh negara berkembang, Pfizer/BioNTech dan Moderna sejauh ini telah menjual lebih dari 90 persen vaksin mereka ke negara-negara kaya, membebankan hingga 24 kali lipat dari potensi biaya produksi.” Hah??

Selain pandemi, ada pandemi lain yang juga membunuh orang: pandemi kelaparan. Lihat laporan Oxfam: “Dunia di tengah ‘pandemi kelaparan’: Konflik, virus corona, dan krisis iklim mengancam akan mendorong jutaan orang ke dalam kelaparan”, atau laporan Bank Dunia: “Ketahanan Pangan dan COVID-19”, tertanggal 16 Juli .

“Semakin banyak negara menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang semakin meningkat, membalikkan pencapaian pembangunan selama bertahun-tahun. Bahkan sebelum COVID-19 mengurangi pendapatan dan mengganggu rantai pasokan, kelaparan kronis dan akut meningkat karena berbagai faktor, termasuk konflik, kondisi sosial ekonomi, bahaya alam, perubahan iklim, dan hama,” demikian laporan Bank Dunia.

“Dampak COVID-19 telah menyebabkan peningkatan kerawanan pangan global yang parah dan meluas, memengaruhi rumah tangga yang rentan di hampir setiap negara, dengan dampak yang diperkirakan akan berlanjut hingga 2021 dan hingga 2022.”

Adakah yang mengembangkan vaksin untuk kelaparan dan ketimpangan sosal-ekonomi dalam waktu dekat ini? Alasan lain untuk lonjakan COVID-19 di Indonesia adalah tingkat vaksinasi yang lamban, dengan hanya 9,7 persen dari populasi yang telah divaksinasi sekali dan 7,4 persen menerima kedua dosis.

Mengingat lambatnya program vaksinasi dan dengan tingkat kematian yang mengkhawatirkan, mengapa kita tidak membuka diri terhadap pengobatan alternatif? Ivermectin misalnya, telah terbukti secara empiris efektif mengobati virus corona di India dan wilayah di Indonesia, namun pemerintah masih menolak untuk menyetujui penggunaannya, dengan alasan masih menjalani uji coba.

Berapa banyak uji coba klinis yang telah dilalui oleh vaksin yang didukung pemerintah?

Lalu ada masalah testing. Mengapa vaksin digratiskan,  sementara tes COVID tidak? Bagaimana Presiden Joko “Jokowi” Widodo bisa mengatakan bahwa “perpanjangan PPKM saat ini harus disertai dengan pengujian, penelusuran, dan upaya pengobatan yang masif” jika pengujian tidak dilakukan secara meluas dan tanpa biaya?

Pak Budi Gunadi Sadikin (Menteri Kesehatan), bisa dijelaskan kenapa belum? Biaya tes PCR bisa mencapai Rp 750.000 (US$52,45), kecuali jika Anda pergi ke Puskesmas, maka di sana  gratis, tetapi saya belum pernah mendengar orang berbondong-bondong ke sana untuk dites Covid-19.

Semakin banyak yang tidak setuju dengan cara penanganan pandemi Jokowi, bahkan artikel yang ditulis oleh Chris Wibisana, mengatakan bahwa “Relawan warga bantu warga saat COVID-19 menelanjangi negara telah mengkhianati kita”. Wow,  dakwaan yang sangat berat!

Krisis masif seperti COVID-19 seharusnya menjadi momen melakukan perubahan paradigma. Namun apa yang terjadi, semua berjalan bisnis seperti biasa dan bahkan lebih parah  karena pandemi digunakan sebagai sapi perah untuk farmasi besar (Big Pharma). Beberapa individu dan perusahaan melipat gandakan kekayaan mereka  secara masif  sebagai akibat dari pandemi sementara banyak rakyat diancam kelaparan; negara-negara kaya dapat memulai pemulihan ekonomi mereka sementara negara-negara miskin yang sudah tertinggal akan semakin tertinggal dan menderita.

Berbicara tentang pandemi kelaparan,  mengingatkan saya pada trilogi novel distopia  2008 The Hunger Games, oleh penulis Amerika Suzanne Collins. Distopia adalah komunitas atau masyarakat yang tidak didambakan atau terkesan menakutkan, kebalikan dari utopia. Banyak tema trilogi ini  yang  dapat diterapkan pada situasi pandemi saat ini: kesenjangan kelas dan kekayaan yang sangat besar; melebarnya jurang antara negara kaya dan miskin; akses yang berbeda kepada sumber daya; kekuatan elit oligarki kecil yang menentukan nasib massa. Ada juga pemerintahan yang tidak akuntabel, kekerasan terhadap rakyat, tumbuhnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan pemimpin politik, dan bahkan terhadap  “sains”.

Apakah dunia sudah menjadi komunitas The Hunger Games? Akankah keadaan harus menjadi jauh lebih buruk sebelum rakyat bangkit dan memberontak untuk membuat segalanya lebih baik bagi diri mereka sendiri?

Sungguh menakjubkan menyaksikan keterampilan dan stamina dua pahlawan bulu tangkis kita, bermain reli panjang yang tampaknya tidak pernah berakhir, akhirnya mengalahkan lawan Cina mereka. Seperti warisan bulutangkis emas kita, Indonesia memiliki warisan kekayaan yang luar biasa. Namun akankah bangsa Indonesia memiliki keterampilan dan stamina untuk memainkan The Hunger Games yang dipaksakan kepada mereka dengan aturan yang tidak pernah mereka sepakati? []

*) Artikel yang sama telah diterbitkan di (The Jakarta Post) PREMIUM Jakarta pada Rabu, 4 Agustus 2021, dengan judul “Covid-19: ‘The Hunger Games’ or cash cow for Big Pharma?”

 

Tags: Covid-19IndonesiakemanusiaanPandemi Covid-19Pandemi GlobalPPKMPresiden JokowiVaksin
Julia Suryakusuma

Julia Suryakusuma

Columnist/Contributor di The Jakarta Post

Terkait Posts

Penutupan Patung Bunda Maria

Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria

26 Maret 2023
kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

25 Maret 2023
Zakat bagi Korban

Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

25 Maret 2023
Puasa dan Intoleransi

Puasa dan Intoleransi: Betapa Kita Telah Zalim Pada Sesama

25 Maret 2023
Asy-Syifa Binti Abdullah

Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah

24 Maret 2023
Perceraian di Luar Pengadilan

Bagaimana Menghentikan Perceraian di Luar Pengadilan?

23 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Puasa dan Intoleransi

    Puasa dan Intoleransi: Betapa Kita Telah Zalim Pada Sesama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Pernah Menyalahkan Agama Seseorang yang Berbeda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Muhammad Saw Berpesan Jika Berdakwah Sampaikan Dengan Tutur Kata Lembut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ramadan Tiba, Kesehatan Gigi dan Mulut Harus Tetap Terjaga
  • Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan
  • 3 Tips Jika Target Ibadah Ramadan Berhenti di Tengah Jalan
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist