Penulisan sejarah yang bias gender membuat anak-anak kita kurang mengenal pelaku sejarah perempuan. Padahal, perjuangan mereka tidak kalah mengagumkan dibanding tokoh pahlawan laki-laki yang ada di buku sejarah.
Sejarah Nusantara dan Indonesia yang sampai kepada anak-anak kita pada umumnya adalah sejarah politik dan militer dan berwajah sangat maskulin. Hampir semua tokoh yang disebut adalah laki-laki. Apalagi saat mengulas sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Nama-nama ratu muslimah yang sukses dan berpengaruh tak disebut. Nama ratu yang lekat di benak anak-anak mungkin hanya Ratu Shima dari Kalingga dan Ratu Tribhuwana Tunggadewi dari Majapahit.
Patut kita pertanyakan, apakah memang tidak ada perempuan yang layak disebut namanya dalam sejarah? Jawabnya tentu, tidak! Memang, jumlah tokoh perempuan yang layak ditulis dalam buku sejarah mungkin tidak sebanyak laki-laki, tapi itu bukan berarti mereka tidak ada. Mereka tidak ada karena penulisan sejarah masih belum terlepas dari bias gender.
Tidak Selalu Sama
Faktanya, memang sejarah sebagai sebuah fakta tidak selalu sama dengan sejarah yang sudah ditulis (historiografi). Sejarah yang ditulis bisa dipengaruhi oleh latar belakang dan cara pandang penulis atau penelitinya, selain informasi yang didapatkannya. Tak heran, ada satu fakta sejarah, ditulis dengan dua versi yang berbeda bahkan bertentangan.
Sebagai misal, nama-nama seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, H.R. Rasuna Said, Christina Martha Tiahahu, dan lain-lain dalam sejarah nasional Indonesia disebut sebagai pahlawan nasional karena kegigihannya melawan Belanda.
Namun, bagi Belanda, nama-nama itu adalah pemberontak. Penjajahan selama 3,5 abad pun, bahkan, dimaknai sebagai pemakmuran dan kebaikan Belanda kepada bumiputra yang dianggap terbelakang. Jepang pun begitu. Perihnya penjajahan dan romusa yang dirasakan bangsa Indonesia tak dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sebaliknya, mereka menganggap diri sebagai cahaya Asia dan saudara tua bangsa Indonesia. Karena itu, jangan heran jika anak-anak Belanda dan Jepang saat ini tidak tahu kalau negerinya pernah menjadi penjajah Indonesia. Semua itu karena sejarah yang disampaikan kepada mereka adalah sejarah versi penguasa negerinya sendiri yang menjajah, bukan versi negeri yang dijajah.
Ada Tapi Ditiadakan
Sejarah kepemimpinan dan kepahlawanan perempuan Islam Nusantara pun tidak lepas dari sudut pandang pengonstruksi dan penulisnya. Ketika penulisan sejarah tidak disertai sensitivitas gender, jangan harap ada banyak nama perempuan yang muncul.
Nama perempuan yang sangat layak disebut pun, bahkan, bisa tidak ada atau malah sengaja ditiadakan. Saat belajar sejarah Islam Indonesia di sekolah dulu, penulis tidak pernah tahu bahwa kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara ini pernah mengalami kejayaan di bawah kepemimpinan para ratu yang luar biasa, karena nama mereka tak pernah disebut. Mereka padahal sangat berpengaruh, memiliki peninggalan yang jejaknya nyata hingga saat ini, dan berkuasa dalam waktu yang lama.
Sebagai contoh, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Ratu Aceh Darussalam ini memerintah selama 33 tahun (1641-1674 M). Sang ratu menguasai bahasa Arab, Perancis, Urdu, dan Spanyol, selain ilmu-ilmu agama yang sudah dipelajarinya sejak usia tujuh tahun. Pada masanya, ilmu pengetahuan maju pesat dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Nama UIN ar-Raniry dan Universitas Syah Kuala yang merupakan dua perguruan tinggi negeri terdepan di Aceh saat ini diambil dari nama mufti-mufti besar yang hidup pada zaman Sultanah Safiatuddin. Mereka di-support total oleh Sultanah dan mereka pun mendukung kepemimpinan Sultanah.
Setelah Sultanah Safiatuddin, masih ada tiga lagi sultanah yang berkuasa di Aceh Darussalam. Ironis, sejarah kerajaan Islam Aceh yang disampaikan di sekolah saat penulis masih bersekolah dulu tidak memuat nama-nama tersebut. Yang sampai kepada anak-anak adalah bahwa Aceh mencapai kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Sultanah Safiatuddin yang notabene putri Sultan Iskandar Muda, lama berkuasa, dan nyata jejak peninggalannya, justru tak disebut.
Masih dari Aceh, laksamana yang ditakuti dunia saat itu, Keumalahayati, pun tak pernah disampaikan kepada anak sekolah seperiode penulis dulu bahwa beliau mampu mengorganisasi 2.000 pasukan perempuan pada masanya, dan beliau pula yang menewaskan Cornelis de Houtman dari Belanda dalam pertempuran satu lawan satu di atas geladak kapal di Selat Malaka. Dahsyat, tapi tak tercatat!
Dari bumi Sulawesi juga ada nama Ratu Aisyah We Tenri Oile, ratu Kerajaan Tanette yang memerintah selama 55 tahun (1855-1910). Sang ratu juga sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan memajukan pengetahuan. Salah satu jejak nyatanya adalah terkumpulnya naskah I La Galigo, sebuah epos yang apik dan panjang, yang saat ini tersimpan di perpustakaan Leiden, yang disinyalir lebih kuat falsafah kebaikannya dan lebih panjang isinya dibandingkan Mahabharata. Lima puluh lima tahun jelas bukan waktu yang sebentar, tapi toh tetap saja namanya tak tercatat.
Adil, Proporsional, dan Berimbang
Sekelumit sejarah ketokohan dan kepeloporan para muslimah Nusantara di atas menjadi contoh dan bukti bahwa penulisan sejarah dalam rentang waktu yang sangat lama, termasuk sampai saat penulis bersekolah dan kuliah (sampai tahun 1990-an), didominasi oleh sejarah tentang laki-laki, dan belum memberikan proporsi yang adil kepada kaum perempuan yang sejatinya memiliki tingkat kelayakan tinggi untuk ditulis dalam sejarah. Dengan ungkapan lain, sejarah negeri ini, termasuk sejarah Islamnya, masih menjadi “his story” belum banyak menuliskan “her story”.
Bersyukur, pasca-era 1990-an, bersamaan dengan menggelinding kencangnya penulisan sejarah sosial, dari yang sebelumnya historiografi lebih didominasi sejarah politik dan militer, penulisan sejarah perempuan pun mendapat perhatian. Pengarusutamaan gender memang sangat nyata berperan dalam proses ini. Kita menyambut baik dan ikut terlibat dalam proses penggalian khazanah keteladanan dan kepeloporan tokoh-tokoh muslimah Nusantara ini, salah satunya melalui rubrik Muslimah in History di majalah Noor.
Penulisan sejarah yang adil, proporsional dan berimbang memang sebuah keharusan yang perlu terus diupayakan, termasuk sejarah keulamaan perempuan di Indonesia di samping keulamaan laki-laki yang saat ini diseriusi panitia Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Penelitian dan publikasi tentangnya perlu mendapat dukungan dari kampus, pemerintah, maupun masyarakat. Dengan itu, kita berharap penulisan sejarah Indonesia dan sejarah Islam Indonesia menampakkan wajahnya yang lengkap, yakni maskulin sekaligus feminin. Sebuah sejarah yang tidak hanya berisi “his story” tapi juga “her story”. []
*) Tulisan yang sama pernah dimuat di Majalah Noor