Husein Manshur al Hallaj (w. 922 M) adalah sufi falsafi legendaris yang sangat fenomenal. Oleh sejumlah ulama fiqh al-Hallaj dipandang sebagai seorang “kafir zindiq”. Ini gegara ucapan-ucapannya yang mengandung unsur “pantheistik”, atau dalam bahasa Jawa dikenal sebagai “manunggaling kawula lan Gusti”. Yakni penyatuan Tuhan dan Hamba-Nya. Kaum sufis menyebutnya ” Ittihad”.
Al Hallaj diinfokan pernah mengatakan “Ana al Haq” (Aku adalah Kebenaran) atau “Ma fi al-Jubbah illa Ana” (Di sini di balik jubah ini hanya ada aku).
Dalam salah satu puisinya dia mengatakan :
أنا من أهوى ومن أهوى أنا **
نحن روحان حللنا بدنا
فإذا أبصرتني أبصرته **
وإذا أبصرته أبصرتنا
Aku adalah orang yang mencinta
Dan dia yang mencinta adalah aku
Kami dua ruh yang menyatu
dalam satu tubuh
Bila kau melihatku, kau melihat Dia
Dan bila kau melihat Dia
Kau melihat aku
Dengan pernyataan-pernyataan ekstatis itu, dia dianggap telah menyebarkan kesesatan dan kekafiran. Ibnu Abi Dawud, ahli fiqh terkemuka aliran al Zahiri (skriptualistik/harfiyah) memfatwakan : Darah Al Hallaj adalah halal. Al Hallaj kemudian diminta bertobat, tetapi ia tetap tak mau merubah keyakinannya. Ia menerima konsekwensi fatwa eksekusi: hukuman mati.
Sebelum pedang algojo menebas lehernya, di hadapan ribuan pasang mata dan penguasa yang menghukumnya, al Hallaj berdo’a :
اِلهى هَؤُلاءِ عِبَادُكَ قَدْ اجْتَمَعُوا لِقَتْلِى تَعَصُّباً لِدِينِكَ وَتَقَرُّباً اِلَيكَ فَاغْفِرْ لَهُمْ . فَاِنَّكَ لَوْ كَشَفْتَ لَهُمْ مَا كَشَفْتَ لِى لَمَا فَعَلُوا مَا فَعَلُوا. وَلَوْ سَتَرْتَ عَنِّى مَا سَتَرْتَ عَنْهُمْ لمَاَ لَقِيتُ مَا لَقِيتُ وَلَكَ الْحَمْدُ فِىمَا فَعَلْتَ وَلَكَ الْحَمْدُ فِيمَا تُرِيدُ
“Wahai Tuhan, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Mereka kini tengah berkumpul untuk membunuhku karena begitu cintanya kepada-Mu dan demi “taqarub” (dekat) kepada-Mu. Ampunilah mereka. Jika saja Engkau singkapkan di hadapan mereka apa yang Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan melakukan apa yang mereka lakukan itu. Dan jika saja Engkau menutup matahatiku seperti Engkau menutup matahati mereka, niscaya aku tidak akan mengalami keadaan seperti ini. Seluruh Puji milik-Mu atas apapun tindakanmu dan atas apapun Kehendak-Mu”. (Ahmad Amin, Zhuhr al Islam,II/74).
Al Hallaj kemudian menyenandungkan puisi rindu:
Aku menangis kepada-Mu
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukan-Mu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepada-Mu
Saksi Keabadian
(Warisan Sufi, I/118).
Al Hallaj oleh sebagian ulama disebut sebagai “Syahid al ‘Isyq al Ilahi”, Martir mabuk cinta Tuhan. Pikiran-pikiran “tauhidiyah”, “Ittihad” dan “Wihdah al-Wujud” seperti itu sesungguhnya bukan hanya milik al Hallaj tetapi juga menjadi pikiran sejumlah tokoh sufisme lain baik sebelum maupun sesudahnya. Di Indonesia, menurut banyak orang, nasib al Hallaj dialami juga oleh Syeikh Siti Jenar atau Syeikh Lemah Abang. []