• Login
  • Register
Sabtu, 1 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ekofasisme dan Korona

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
18/04/2020
in Publik
0
ekofasisme, corona
51
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Korona menyebabkan beberapa kota melakukan pembatasan sosial. Kota-kota itu lalu menjadi sepi karena banyak orang yang memilih terus berada di rumah. Beberapa wacana kemudian tersebar karena hal tersebut. Salah satunya adalah bahwa Korona menyelematkan bumi, karena dengannya bumi bisa bernafas kembali. Global warming menurun. Binatang-binatang bisa berkeliaran ke tempat-tempat yang tidak biasa bagi mereka.

Dalam wacana ekologi, saya kira contoh wacana di atas bisa dikategorikan sebagai ecofacism (ekofasisme) yaitu sebuah teori yang menjadikan ekologi sebagai satu-satunya tolak ukur kemajuan tanpa memperhatikan masalah kemanusiaan sebagai konteksnya. Padahal banyak orang mati, banyak pekerja yang dirumahkan, banyak pedagang kecil yang tidak tau bagaimana besok harus hidup.

Wacana terkait ekofasisme muncul sudah cukup lama, Thomas Robert Malthus menulis dengan begitu fasis di bukunya The Essay of the Principle of Population. Ia menyatakan bahwa masyarakat ideal yang dicita-citakan Godwin (seorang tokoh yang membicarakan terkait masyarakat ideal) tidak akan terwujud karena populasi penduduk akan meningkat seperti deret ukur (geometric ratio) yaitu 1,2,4,8,16 dan seterusnya sementara pertumbuhan sumberdaya pangan meningkat seperti deret hitung (arithmetic ratio) yaitu 1,2,3,4,5 dan seterusnya.

Nah menurut Malthus, karena populasi tidak akan terkendali dan ketersediaan pangan tidak akan cukup, maka perlu penghambat pertumbuhan populasi. Dengan apa? Dua hal, yaitu positive checks (peningkatan angka kematian) dengan wabah penyakit, bencana kelaparan, dan sebagainya serta preventive checks (pengurangan angka kelahiran) dengan penggunaan alat kontrasepsi, penundaan usia perkawinan dan lain-lain.

Teori Ekofasisme Malthus tersebut kemudian diimplementasikan pada banyak kebijakan terkait populasi saat ini. Masalahnya, siapa yang akan menjadi korban atau target dari kebijakan itu? Tentu saja masyarakat miskin, dan rentan yang tidak memiliki privilege. Kaum marjinal dianggap sebagai “virus” karena mereka membuat overpopulasi dan akhirnya mereka dianggap tidak layak memiliki anak.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Apa yang Harus Dilakukan Sebelum Bicara Soal Pengelolaan Sampah Makanan
  • Tak ada yang Mati, Kita Semua hanya Meninggal(kan) Dunia
  • Bahaya dibalik Istilah “Dicovidkan” di Masa Pandemi
  • Perempuan dan Kemanusiaan dalam Bingkai Tradisi Ngalayat

Baca Juga:

Apa yang Harus Dilakukan Sebelum Bicara Soal Pengelolaan Sampah Makanan

Tak ada yang Mati, Kita Semua hanya Meninggal(kan) Dunia

Bahaya dibalik Istilah “Dicovidkan” di Masa Pandemi

Perempuan dan Kemanusiaan dalam Bingkai Tradisi Ngalayat

Padahal tentu saja kita sama-sama mengetahui bahwa Indonesia memiliki sumber pangan yang melimpah ruah. Akan tetapi kerakusan para pengusaha membuat sawah-sawah manusia marjinal itu harus dijual untuk pabrik. Ketika terjadi overpopulasi, yang ditekan tentu saja adalah kaum marjinal (lagi).

Korona sebagai wabah penyakit juga membuat cluster kelas semakin terlihat. Orang-orang yang cukup berprivelese bisa melakukan social-distancing dengan tenang karena gaji tetap mengalir. Sementara para pekerja yang tidak berprivilese mereka harus memutar otak bagaimana cara untuk hidup. Mereka tidak dibayar, ingin pulang kampung tidak bisa sementara pekerjaan tidak tersedia di masa pandemi.

Jadi saya kira, stop menggunakan wabah Korona sebagai sarana bersyukur bahwa bumi bernafas kembali. Sudah banyak angka kematian tercatat (kebanyakan adalah para working class). Sudah banyak juga air mata keluarga yang tumpah karena tidak tahu harus mencari uang dari mana lagi di masa pandemi ini. Apakah itu hanya angka dan cerita agar kita puas mendengarkan burung bernyanyi di pagi hari? []

Tags: aktivis lingkunganCovid-19EkofasismeGender dan Lingkungan
Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Sepak Bola Indonesia

Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

1 April 2023
Keberkahan Ramadan, Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

31 Maret 2023
Konsep Ekoteologi

Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam

30 Maret 2023
Kasih Sayang Islam

Membangun Kasih Sayang Dalam Relasi Laki-laki dan Perempuan Ala Islam

29 Maret 2023
Ruang Anak Muda

Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya

29 Maret 2023
Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerjaan rumah tangga suami istri

    Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan
  • Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist