Mubadalah.id – Novel Dunia Anna karya Jostein Gaarder menjadi salah satu novel yang menghadirkan sosok perempuan yang sadar akan kerusakan lingkungan dan menjaga kelestarian bumi. Novel ini mengisahkan sosok Anna yang di awal mendapatkan sebuah pesan dari tahun 2082, pada saat itu kondisi bumi serta flora dan fauna di dalamnya sudah sangat mengenaskan bahkan banyak yang punah. Dari pesan singkat tadi menuntut Anna untuk melakukan gerakan mengembalikan Bumi agar tetap asri tanpa pemanasan global dan kepunahaan spesies.
Anna dalam novel ini hanyalah perempuan berusia 10 tahun yang dihadirkan dalam kisah fiksi. Namun, kerusakan bumi puluhan tahun mendatang bukanlah fiktif belaka yang sebatas menjadi kekhawatiran beberapa kalangan. Namun, ini adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Bahkan, perempuan juga memiliki peran yang setara untuk menyelamatkan bumi, bukan hanya laki-laki.
Vandana Shiva dan Ekofeminisme
Jika Anna haya dapat kita nikmati perjuangannya dalam lembaran novel, di India ada sosok perempuan yang juga menjadi salah satu tokoh yang memperjuangkan agar bumi tetap lestari. Ya, Vandana Shiva, siapa yang tak mengenal sosok yang telah memperoleh banyak penghargaan atas perjuangannya dalam memperjuangkan berbagai polemik lingkungan yang ada di tempat asalnya pada saat itu. Kisah Shiva, bukanlah kisah fiksi namun dia benar- benar melakukan perjuangan dan perlawanan atas keserakahan manusia pada alam. Karena kerusakan bumi tahun 2082 dalam kisah dalam Novel Jostien bukanlah hal yang sangat memungkinkan terjadi.
Shiva memulai perjuangannya dengan terinspirasi dari Chandi Prasad Bhatt yang mengajak orang-orang memeluk pohon sebagai bentuk dari taktiknya dalam menyelamatkan hutan. Aksi Bhatt ini yang membuat Shiva melakukan Aksi perempuan “memeluk pohon” kejhri.
Shiva melakukan banyak gerakan pembelaan terhadap lingkungan dan juga perempuan. Inilah yang membuat dia memperoleh penghargaan gerakan perempuan untuk menyelamatkan lingkungan atau ekofeminisme. Dalam bukunya yang berjudul Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India Shiva mengkorelasikan ekologi dengan feminisme.
Shiva memberikan beberapa alternatif tawaran dalam manusia membangun relasi dengan alam, yakni memposisikan alam untuk sebatas memenuhi kebutuhan bukan kemudian mengeksploitasi alam untuk menghasilkan uang. Hal ini yang kerap kali dilakukan oleh penguasa dalam menggencarkan sistem patriarki bukan sebatas mengeksploitasi perempuan namun juga alam. Inilah yang mendasari gencarnya gerakan yang dilakukan oleh Shiva.
Relevankah Ekofeminisme dengan Gerakan Perempuan Indonesia Saat Ini?
Jika dilihat dari sejarahnya perjuangan Vandana Shiva, istilah ekofeminisme ini pertama kali muncul di India. Lantas kemudian menjadi pertanyaan, apakah gerakan ini relevan diterapkan menjadi bagian perjuangan gerakan perempuan di Indonesia?
Gerakan perempuan beragam bentuknya, di sini mari melihat dari tiga macam gerakan perempuan menurut Soekarno dalam buku Sarinah yang besar relevansinya dengan gerakan perempuan Indonesia saat ini. Pertama: “Sekadar gerakan wanita yang menyempurnakan kewanitaan, yang saya katakan ini adalah tingkatan pertama.” Kedua: “Gerakan wanita tingkat kedua, mencari persamaan hak dengan laki-laki.”
Ketiga: “ Gerakan wanita sosialis, tidak ada gerakan wanita, tidak ada gerakan laki-laki, tetapi laki-laki dan wanita bersama-sama membanting tulang bekerja keras berjuang menyusun masyarakat sosial.” Gerakan ketiga ini dalam gerakan feminisme identik dengan feminisme sosialis yang lahir dari kondisi buruh perempuan di Eropa pada abad XIX yang melakukan perlawanan dan perjuangan bersama buruh laki-laki memperjuangkan hak-haknya.
Pemahaman terkait gerakan perempuan ini untuk menyamakan persepsi bahwa gerakan feminisme bukan merupakan gerakan yang menakutkan dan tidak sesuai dengan falsafah bangsa kita. Akan tetapi, esensi dan substansi nilai dari gerakannya yang harus kita perhatikan. Bukan hanya sebatas mempermasalahkan istilah, tanpa mengetahui nilai apa yang tengah diperjuangkan.
Berdasarkan pemahaman terkait apa sebenarnya gerakan perempuan yang dikemukakan oleh pendiri bangsa di atas, tentu menjadi pijakan untuk memahami substansi apa yang tengah diperjuangkan. Dari sini, menjadi titik awal menjawab petanyaan di awal, terkait relevansi gerakan ekofeminisme dengan gerakan perempuan saat ini.
Ekofeminisme sendiri muncul pada gelombang ketiga feminisme, dengan berangkat dari kerangka perspektif lingkungan gerakan ini menambah variasi dari teori feminisme yang sudah ada. Paradigma ekofeminisme secara fundamental menyamakan penindasaan terhadap alam dan penindasaan terhadap perempuan.
Sama halnya dengan perjuangan untuk kesalingan laki-laki dan perempuan dan menghapuskan sistem patriarki, maka gerakan ekofeminisme disini juga tengah membangun relasi kesalingan antara manusia dengan alam untuk memerangi penguasa yang cenderung patriarkal. Secara teori gerakan ini lahir dari perkawinan gerakan ekologi dan feminisme, yang dipelopori oleh Rachel Carson melalui bukunya “The Silent Spring” pada tahun 1962.
Dalam melihat permasalahan lingkungan, gerakan ekofeminisme memposisikan alam layaknya perempuan yang kerap kali ditindas dan sebatas objek pemuas dan pelayan bagi laki-laki semata. Dari sini kritik yang disuarakan adalah terhadap perlakuan manusia dalam memposisikan alam, yang sebatas instrumental belaka melayani kebutuhan manusia. Kondisi ini dalam pandangan kritik ekofeminisme diistilahkan dengan arrogant anthropocentrism (kesombongan manusia yang menilai sesuatu berpusat pada manusia).
Bukan hal yang mengherankan jika belakangan di Indonesia sendiri muncul perempuan-perempuan yang memperjuangkan hak-haknya, pun hak lingkungan yang berada disekelilingnya dengan beragam bentuk perlawanan kepada penguasa. Karena tidak bisa kita pungkiri pernyataan Griffin di awal tulisan ini yang menyatakan bahwa yang bisa melestarikan alam ini hanyalah perempuan. Kembali mengingat kisah Shiva di atas, tentu bukan hal yang tabu lagi jika kemudian perempuan juga turut andil turun memperjuangkan kelestarian bumi.
Kegagalan dari pemerintah Indonesia menurut laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara “Karhatula dalam Lima Tahun Terakhir” dalam melindungi hutan dan lahan gambut dari pembakaran sekita 4,4 juta hektar data ini mulai dari tahun 2015-2019 yang mayoritas disoroti penyebab kerusakan di sini adalah perusahaan perkebunan. Di luar ini beberapa perusakan lahan dan perebutan tanah miliki rakyat untuk kepentingan penguasa dalam hal ini perusahaan kerap kali terjadi.
Dari sinilah kemudian yang menyebabkan muncul beragam gerakan perempuan dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari kasus pabrik semen di Kendeng Jawa Tengah, penolakan Reklamasi Teluk Benoa di Bali, bahkan di beberapa daerah perempuan kerap kali mengalami krisis air mulai di Rembang sebab daerah Krast ditambang, hingga di beberapa kepulauan di Indonesia bagian Timur.
Ditengah krisis lingkungan hidup yang meningkat dan konflik SDA yang dialami oleh Indonesia saat ini, ekofeminisme tentu tak perlu ditanyakan lagi posisi dan peranannya. Karena bukan hanya alam saja yang rentan dalam kondisi ini namun juga perempuan.
Karena perempuan juga mengalami langsung dampak dari eksploitasi penguasa terhadap alam yang tengah dirusaknya sebagai lahan perusahaan dan memperbesar kekuasaan. Sehingga, dari ini terlihat jelas bahwa ekofemisnisme tidak hanya menjadi sebatas teori namun dia merupakan solusi bagi gerakan perempuan terlebih dewasa ini ketika alam terus menerus dieksploitasi
Habblumminal Alam: Membangun Gerakan Perempuan yang Mencintai Alam
Vandana Shiva hanya satu dari sekian banyak perempuan yang sudah berani menjadi pemimpin dalam gerakan penyelamatan lingkungan. Selain dia ada pula Alessandra Munduruku (Tokoh adat di Amazon), Greta Thunberg (Climate Strike), Alexandria Ocsio-Cortez (Green New Deal), hingga sosok Sukinah (Kendeng Lestari) dan Mama Aleta (Perempuan Adat Molo) merupakan upaya-upaya yang dilakukan sebagai bentuk kesadaran perempuan dalam melestarikan dan menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah Ar Rum ayat 41, yang artinya:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, Allah Menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Sudah sangat jelas begitu banyak kerusakan yang terjadi di bumi ini adalah ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Mereka yang sudah termakan budaya patriarki sudah tidak memiliki kepekaan lagi terhadap perempuan, pun begitu dengan alam. Dengan melihat kondisi ini, maka perjuangan perempuan dalam menyuarakan gerakan untuk melestarikan lingkungan dan alam harus terus dirangkul dan didorong bersama oleh seluruh gerakan perempuan yang ada.
Karena, gerakan ekofeminisme di sini bukan hanya sebatas memperjuangkan hak alam terhadap manusia, namun juga hak perempuan dalam memperjuangkan kelestarian alam. Karena sebagai manusia seutuhnya perempuan juga memiliki kewajiban untuk mencintai alam dan membangun gerakan kesalingan dengan alam.
Karena meski isu lingkungan telah menjadi permasalahan global, beberapa pihak di luaran sana masih abai dengan hal ini. Bahkan beberapa gerakan justru dimulai dari lingkup terkecil perempuan-perempuan adat yang dengan kepekaan yang sangat tinggi dengan kondisi alam saat ini mampu merasakan mulai tergerusnya alam Indonesia saat ini.
Jika kita belum mampu melakukan gerakan-gerakan seperti beberapa tokoh pemimpin perempuan di atas. Mari coba kita mulai dari hal kecil dan sederhana dengan mulai memiliki prinsip hidup balance terhadap alam yang dengan sadar melakukan reduce, reuse, recycle serta pola hidup yang mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. []