Mubadalah.id – Ulama fikih mengemukakan ada beberapa etika sosial (social ethics) bagi perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah. Di antaranya adalah:
Pertama, ia tidak boleh menerima pinangan dari laki-laki, baik secara terang-terangan (tashrîh) maupun secara sindiran (ta’rîdl).
Akan tetapi, untuk perempuan yang menjalani ‘iddah kematian sang suami, pinangan boleh ia lakukan namun dengan cara sindiran. Alasan ulama fikih menetapkan hukum ini adalah firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 235 yang artinya:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang “perempuan-perempuan itu” dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf….”. Yang dimaksud dengan “perempuan-perempuan itu“ adalah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
Lebih jauh dari itu, perempuan yang sedang dalam ‘iddah tidak boleh mengadakan akad perkawinan (kawin) secara mutlak. Hal ini berdasarkan pada lanjutan al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 235 di atas, yaitu: “….Dan janganlah kamu ber’azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya…”
Kedua, perempuan yang sedang menjalani ‘iddah dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fikih (al-Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan al-Layts) sepakat bahwa perempuan yang menjalani ‘iddah dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Kecuali itu, antara Malik dan al-Syafi’i memiliki perbedaan. Bagi Malik, larangan keluar rumah bagi mu’taddah adalah mutlak tanpa membedakan antara talak raj’i dan talak bâ`in.
Pandangan Imam Al-Syafi’i
Sedangkan bagi al-Syafi’i, mu’taddah yang ditalak raj’i tidak diperkenankan untuk keluar rumah, baik siang maupun malam. Keluar rumah pada siang hari hanya diperbolehkan bagi mabtutah (perempuan yang ditalak bâ`in).
Alasan yang dikemukakan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah; “Jabir berkata: Bibiku dari ibu ditalak tiga kali oleh suaminya lalu ia keluar untuk memotong kurmanya. Tiba-tiba ia ditemui oleh seorang laki-laki, lalu melarangnya keluar. Maka saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, pergilah engkau ke kebunmu itu untuk memetik buah kurma itu, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang baik menurutmu.” (HR.al-Nasa’i dan Abu Dawud).
Dalam riwayat Mujahid, dikatakan bahwa beberapa orang laki-laki mati syahid ketika perang Uhud. Lalu istri-istri mereka mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW ditanya apakah mereka dibolehkan keluar malam ini.
Ia menjawab “silakan kalian semua (yang meninggal suaminya itu) berkumpul bersama di malam hari dan apabila telah mengantuk, maka kembalilah ke rumah masing-masing.” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, al-Nasa`i, al-Timidzi dan Ibnu Majah).
Alasan yang lain adalah firman Allah dalam Surat al-Thalâq (65) ayat 1 yang artinya; “…Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (mendapatkan izinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan keji yang terang…”.
Sumber : tulisan Abd Moqsith Ghazali di dalam Buku Bunga Rampai Berjudul “Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan” tahun 2002.