Mubadalah.id – Kita tidak harus menelan mentah-mentah feminisme ala Barat. Namun, kita juga perlu memikirkan upaya mendialogkan kearifan tradisi dengan feminisme (baca: pribumisasi feminisme). Mengingat, setiap masyarakat memiliki realitasnya masing-masing, sehingga ukuran feminisme Barat belum tentu tepat dengan realitas masyarakat, khususnya perempuan, Nusantara.
Margaret Walters dalam Feminisme: Sebuah Pengantar Singkat menjelaskan bahwa, konteks feminisme bagi wanita kulit putih (perempuan Eropa) kelas menengah sering berkonsentrasi pada diskriminasi gender, sementara cenderung mengabaikan masalah perbedaan kelas dan diskriminasi ras.
Sedangkan, perempuan Brasil berpendapat bahwa feminisme terlalu eurosentris (bernuansa Eropa), dan seakan melupakan masalah lokal yang mendesak, seperti kekerasan rasial, masalah kesehatan, dan kesulitan yang mungkin perempuan kulit hitam hadapi ketika mencari pekerjaan.
Jadi realitas perempuan di tiap masyarakat berbeda. Dalam penjelasan Margaret Walters di atas, kita bisa melihat kalau bagi perempuan kulit putih diskriminasi gender menjadi persoalan pokok. Sedangkan perempuan kulit hitam malah menghadapi persoalan pokok berupa diskriminasi ras. Hal ini mengambarkan kalau apa yang feminis Barat pandang baik dan mendesak, belum tentu demikian dalam masyarakat non-Barat.
Oleh karena itu, ketika feminisme masuk ke Indonesia, maka kita tidak dapat menelan mentah-mentah feminisme ala Barat, dan tidak juga menolak konsep feminisme, melainkan berupaya untuk mendialogkan feminisme dengan realitas ke-Nusantara-an. Sehingga, kita dapat memaknai feminisme yang tidak semata ala Barat, tapi berangkat dari realitas masyarakat, khususnya perempuan, Nusantara.
Pribumisasi Feminisme Bukan Hal Baru
Upaya mem-pribumi-kan feminisme, atau mendialogkan feminisme dengan realitas ke-Nusantara-an, bukanlah suatu pekerjaan baru. Salah satu tokoh yang telah mengawali kerja ini adalah Gus Dur. Misalnya, pada sikap Gus Dur yang mengganti istilah kesetaraan gender dengan mitra sejajar, dan juga gagasannya yang menjadi batu loncatan dalam diskursus pribumisasi.
Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Ashilly Achidsti dalam Gender Gus Dur bahwa, “Mitra sejajar dan pribumisasi Islam merupakan cara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menerapkan sesuatu yang bukan berasal dari Indonesia sedemikian rupa (agar) tidak bertentangan dengan apa yang sudah tertanam di kehidupan masyarakat Indonesia. Pemikiran feminis yang memang lahir dari isu internasional juga perlu diadaptasi dan disebarkan dengan cara komunikasi yang tepat dengan budaya Indonesia agar tidak ada kesalahpahaman.”
Gagasan mitra sejajar dan pribumisasi (Islam) menggambarkan sikap Gus Dur yang ingin menerapkan kesetaraan gender tanpa melupakan nilai kearifan tradisi. Produksi pengetahuan Gus Dur ini dapat menjadi batu pijakan pemikiran pribumisasi feminisme.
Mitra Sejajar dan Gerakan Kesetaraan Gender
Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya bahwa, alih-alih menggunakan term kesetaraan gender, Gus Dur malah memunculkan istilah lain yang lebih familiar bagi masyarakat Nusantara, namun maknanya sama dengan kata kesetaraan gender, yaitu “mitra sejajar”. Upaya itu Gus Dur lakukan, agar masyarakat Nusantara lebih mudah menerima paradigma kesetaraan gender.
Ashilly Achidsti menjelaskan bahwa, sebelum mengganti istilah gender dengan mitra sejajar atau kesetaraan laki-laki-perempuan, kalangan kiai sempat menolak upaya Gus Dur. Di mana Gus Dur berupaya mengenalkan kesetaraan gender di pesantren-pesantren. Sebab term gender mendapat stigma negatif sebagai program Yahudi, program Barat, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, Gus Dur kemudian memilih untuk menggunakan kata mitra sejajar yang lebih familiar di telinga masyarakat Nusantara. Dan, hasilnya kalangan kiai lebih dapat menerima istilah mitra sejajar dengan isi substansinya adalah kesetaraan gender.
Jadi Gus Dur mempribumikan istilah kesetaraan gender dan feminisme yang masih asing, sehingga masyarakat bisa menerima substansinya. Sikap Gus Dur mengajarkan kepada kita untuk tidak frontal terhadap budaya. Dalam gerakan kesetaraan gender, kita juga perlu memperhitungkan budaya atau kearifan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat.
Merumuskan Pribumisasi Feminisme
Selama ini gagasan perihal pribumisasi Gus Dur lekat dengan diskursus keislaman, yaitu pribumisasi Islam. Namun, kita dapat mengambil kerangka dasar pemikiran pribumisasi Gus Dur, dan mengaitkannya dengan konteks selain Islam, yang dalam hal ini adalah feminisme. Gagasan pribumisasi Gus Dur sendiri dapat kita lacak dalam berbagai jejak pemikirannya.
Gus Dur dalam “Pribumisasi Islam” menjelaskan bahwa terdapat tiga pilar dasar yang harus mendasari kehidupan manusia. Yaitu keadilan, persamaan (kesetaraan), dan demokrasi. Dalam konteks kesetaraan gender, pandangan Gus Dur sebagaimana dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita adalah, “Perbedaan pria dan wanita hanyalah bersifat biologis….”
Artinya, dalam pemenuhan tiga pilar dasar kehidupan, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Jadi, perempuan juga berhak atas keadilan, persamaan, dan demokrasi sebagaimana laki-laki. Dengan prinsip inilah seharusnya masyarakat membangun kulturnya.
Upaya membangun kultur yang berkesetaraan gender setidaknya berdasarkan pada dua hal, yaitu realitas perempuan Nusantara dan kearifan tradisi.
Gus Dur dalam “Pribumisasi Islam” menjelaskan bahwa pribumisasi merupakan upaya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal. Artinya, gerakan feminisme atau konsep kesetaraan gender sepatutnya tidak mengabaikan kebutuhan-kebutuhan lokal (baca: perempuan Nusantara).
Dan, sebagaima berdasarkan pendekatan sosio-kultural dalam pribumisasi Gus Dur, perlu adanya upaya memahami masalah-masalah dasar yang masyarakat (perempuan) hadapi. Dalam konteks pribumisasi feminisme, maka analisis kebutuhan lokal itu berdasarkan pada realitas pengalaman dan kebutuhan perempuan Nusantara itu sendiri.
Analisis Pengalaman Perempuan Nusantara
Di sisi lain, analisis pengalaman dan kebutuhan perempuan Nusantara tidak boleh lepas dari kearifan tradisi. Ini bukan berarti untuk membenarkan laku patriarki oknum-oknum yang bersembunyi di balik nama budaya, melainkan upaya untuk menjaga warisan kearifan tradisi Nusantara.
Sebab, sebagaimana Gus Dur dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, “…yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau (kearifan tradisi).”
Jadi kita terus berupaya mewujudkan kesetaraan perempuan dan melawan ketertindasan perempuan. Namun itu tidak lantas menjadikan kita menyerang dengan frontal kearifan tradisi. Bahkan sebaliknya, kearifan tradisi dapat menjadi alat, kacamata dan spirit gerakan, dalam feminisme.
Jika dalam konteks pribumisasi Islam, sebagaimana Gus Dur menjelaskan, “Bahaya dari proses Arabisasi… adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan (kita).”
Maka dalam konteks pribumisasi feminisme, bahaya menelan mentah-mentah feminisme ala Barat dapat membuat kita tercerabut dari akar budaya sendiri. Feminisme ala Barat juga belum tentu sesuai dengan realitas kebutuhan perempuan Nusantara. Dan, sikap fanatik terhadap feminisme Barat malah dapat mengubah orientasi feminisme dari semangat kesetaraan gender menjadi upaya pembaratan dan melawan kearifan tradisi sendiri. Oleh karena itu, kita membutuhkan pribumisasi feminisme. []