Mubadalah.id – Banyak perempuan masih ragu: bolehkah seorang perempuan menggugat cerai suami yang menyakitinya? Tentu saja boleh, karena setiap orang berhak untuk hidup dalam pernikahan yang membahagiakan. Tetapi, jika karena sesuatu dan lain hal, dia memilih bertahan, maka sebaiknya dia berusaha agar meminimalisir semua faktor yang membuatnya tersakiti dari pernikahan tersebut. Adapun teladan dari Nabi Saw tentang perempuan yang melepaskan suaminya, bisa ditemukan di Hadits tentang Istri Menggugat Cerai Suami berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتُبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ». قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْبَلِ الْحَدِيْقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً». رواه البخاري.
Terjemahan:
Ibnu Abbas Ra. meriwayatkan bahwa istri Tsabit bin Qais datang mengunjungi Rasulullah Saw. Ia berkata, “Tidak ada yang aku kecam dari agama maupun moral Tsabit, tetapi aku tidak ingin ada kekafiran dalam keislamanku (dengan satu rumah bersama Tsabit).”
Rasulullah Saw. bertanya, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya (yang diberikan sebagai maskawin)?”
“Ya, mau.”
“Terimalah kebun itu, dan ceraikan ia,” kata Nabi Muhammad Saw. kepada Tsabit. (Shahīh al-Bukhārī).
Sumber Hadits:
Hadits istri menggugat cerai suami ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahīh-nya (no. hadits: 5328) dan Imam Nasa’i dalam Sunan-nya (no. hadits: 3476), Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. hadits: 2134 dan 2135), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 16344).
Penjelasan Singkat:
Teks ini memiliki semangat yang sama persis dengan teks sebelumnya, mengenai hak perempuan atas dirinya. Di samping memiliki nilai ibadah, pernikahan adalah kontrak sosial antara dua pihak, laki-laki calon suami dan perempuan calon istri. Keduanya harus masuk dalam keadaan nyaman, rela, dan tanpa paksaan. Begitu pun ketika dalam pernikahan itu mengalami ketidaknyamanan, tekanan, dan kekerasan, maka kedua belah pihak memiliki hak yang sama untuk memutuskan kontrak tersebut, atau bercerai.
Tentu saja, kedua belah pihak, ketika menemukan suatu perbedaan, konflik, atau keburukan tertentu, langsung berpikir untuk bercerai. Tidak demikian anjuran Islam. Pernikahan adalah proses berdua, suami dan istri, untuk mengelola segala perbedaan, dan mungkin keburukan, agar bisa belajar bersama, lalu mewujudkan kebaikan dan kebahagiaan yang diharapkan keduanya.
Karena itu proses untuk mengenali diri, lalu mengenali pasangan, dan kemudian mengenali bagaimana menguatkan relasi antara keduanya menjadi niscaya. Dan ini proses yang panjang dan berkesinambungan seumur hidup pernikahan mereka. Namun, bisa jadi, karena sesuatu dan lain, tidak bisa dipertemukan. Setelah mediasi dan rekonsialiasi tidak berbuah, maka jalan cerai terbuka bagi kedunya. Bisa laki-laki dan bisa perempuan.
Bisa jadi, perceraian hanya karena persoalan tidak puas semata, bukan karena kekerasan dan kezaliman. Dalam hal ini, jika laki-laki yang melakukannya disebut thalāq (cerai), jika perempuan melalui mekanisme khulu’ (cerai tebus). Mekanisme penghentian pernikahan ini menjadi berbeda, karena -dengan asumsi- pada awal kontrak, laki-laki memberi mahar harta yang cukup, sementara perempuan menerimanya. Jadi, yang menerima harta awal pernikahan ini harus mengembalikan, jika ia berinisiatif untuk menghentikan pernikahan karena ketidakpuasan darinya terhadap pasangan. Itu sebagai kompensasi atas kerugian yang mungkin diakibatkan dari perceraian ini.
Seperti diungkap dalam teks, ketidakpuasan ini bersifat subjektif dan bukan karena perilaku buruk dari pihak laki-laki. Jika diakibatkan perilaku buruk, seperti kekerasan dalam rumah tangga, semestinya perempuan tidak diwajibkan mengembalikan harta tersebut. Sebab, ia menjadi korban yang seharusnya memperoleh dukungan psikis dan kompensasi materi atas apa yang dialaminya. Apalagi, si istri tidak memiliki penghasilan karena pilihannya mengurus rumah tangga, dan suaminya memiliki harta melimpah.