• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Hak Upah Susuan: Penjamin dan Jumlah

Ayat ini menegaskan bahwa seorang ayah wajib memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya sampai dengan usia anak dua tahun

Redaksi Redaksi
01/09/2024
in Hikmah, Pernak-pernik
0
Susuan

Susuan

620
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Jika seorang perempuan menyusui anaknya sendiri, apakah ia berhak menuntut upah atas susuannya itu? Kepada siapakah sang perempuan itu menuntut upahnya? Jawabannya, tentu tergantung dari kondisi sang perempuan itu sendiri dalam hubungannya dengan suami.

Wahbah al-Zuhaily dalam konteks ini menjelaskan tiga kondisi sang perempuan ketika menyusui, dan masing-masing terdapat hukumnya, yang semuanya berkaitan dengan kewajiban nafkah.

Kondisi pertama, menurut ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ikatan perkawinan atau di tengah-tengah ‘iddah dari talak raj’iy. Maka ia tidak berhak menuntut upah secara spesifik dari susuannya.

Karena dalam kondisi ini, sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada sang istri. Maka istri tidak boleh menuntut upah (ujrah) yang lain meskipun sebagai imbangan menyusui. Kebutuhan menyusui bisa dimasukkan ke dalam jumlah besarnya nafaqah sehari-hari.

Akan tetapi, pada kondisi kedua, jika sang perempuan yang menyusui sudah ditalak dan selesai dari ‘iddah, atau dalam ‘iddah wafat, disepakati oleh para ulama bahwa sang perempuan boleh menuntut upah atas susuannya itu, dan ayah dari anak yang disusuinya wajib memberikan upah itu secara adil.

Sebab, bagi istri yang sudah ditalak dan habis ‘iddahnya atau dalam ‘iddah wafat dalam ketentuan fiqh sudah tidak ada lagi nafkah yang harus diterimanya dari sang suami.

Baca Juga:

Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas

Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Nafkah dalam Perspektif Mubadalah

Hal ini didasarkan pada Surat al-Thalâq [65] ayat 6, [… fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna wa’tamirû baynakum bi ma’rûfin… ] [… kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik… ].

Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pada kondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ‘iddah talak bâ`in. Maka ia berhak menuntut upah dari susuannya. Ini berdasarkan pada kenyataan hukum bahwa status perempuan yang mendapatkan talak bâ’in sama dengan perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan [al-ajnabiyyah]: ia tidak lagi memperoleh hak nafkah.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama Malikiyyah. Alasan mereka, surat al-Thalâq [65] ayat 6 [fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna] adalah statemen yang tegas tentang tuntutan hak upah atas susuan bagi perempuan yang ditolak bâ`in.

Dalam ayat yang sama, terutama pada lafadz  [“… wa in ta’âsartum fa saturdli’u lahû ukhrâ”] [… dan jika kamu menemui kesulitan. Maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya], sang ayah juga wajib memberikan upah yang adil kepadanya. Apabila mereka memang istirdhâ’ [meminta bantuan orang lain untuk menyusukan anaknya].

Hak Upah Berlaku

Sampai kapan hak upah susuan itu berlaku? Mengenai batasan waktu pemberlakuan hak upah susuan, para ahli hukum Islam bersepakat hanya dua tahun saja dari usia anak. Tidak adanya perbedaan ini karena ketegasan [sharîh al-lafdhi wa al-ma’nâ] surat al-Baqarah [2] ayat 233.

Ayat ini menegaskan bahwa seorang ayah wajib memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya sampai dengan usia anak dua tahun.  Ini terbebankan karena sang ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.

Sedangkan mengenai besar upah susuan, fiqh tidak mengaturnya secara rinci dalam bentuk angka atau prosentase. Ditentukan bahwa upah susuan yang harus diberikan adalah upah mitsil, yakni upah kepatutan-sosial yang pada umumnya diterima oleh perempuan lain ketika ia menyusui seorang bayi di tempat dan di mana upah itu diberikan.

Keputusan tentang jumlah besar soal ini agaknya menyerahkan pada keputusan masyarakat sendiri dengan mempertimbangkan keadilan sosial yang berlaku pada masanya dan saatnya. Tentu saja ukuran keadilan menurut satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda. Karena itu besar upah pun dapat berbeda-beda asalkan memenuhi rasa keadilan di antara pihak yang terlibat. []

Tags: hakJumlahPenjaminSusuanUpah
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Seksualitas

Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas

9 Juli 2025
Tubuh Perempuan

Mengebiri Tubuh Perempuan

9 Juli 2025
Pengalaman Biologis Perempuan

Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

9 Juli 2025
Perjanjian Pernikahan

Perjanjian Pernikahan

8 Juli 2025
Kemanusiaan sebagai

Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

8 Juli 2025
Kodrat Perempuan

Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

8 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Lebih Religius

    Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID