• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Hal-hal yang Wajar Saat Sebelum Menikah, Bisa Menjadi Hal-hal yang Tak Boleh Diwajarkan Setelah Pernikahan

Menuju empat tahun pernikahan, nyatanya ada banyak sekali hal-hal yang mungkin masih alpa kupahami sebagai pasangan yang baik. Begitu pun juga suami

Hesti Anugrah Restu Hesti Anugrah Restu
16/08/2023
in Keluarga
0
Sebelum Menikah

Sebelum Menikah

808
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Mau sedikit cerita tentang pengalaman menikah memasuki tahun keempat bersama suami. Cerita ini barangkali bisa jadi pelajaran ke depan untukku dan siapa pun yang sudah menikah.

Beberapa waktu lalu, aku dan teman lama saling berkomunikasi melalui HP. Kami memang saling menyimpan kontak satu sama lain sejak sama-sama kuliah. Dulu, semasa kuliah di Tulungagung, sebelum menikah kami cukup dekat karena berasal dari daerah yang sama.

Bahkan beberapa kali aku sakit ketika di perantauan pasti menghubunginya. Begitupun ketika ia kecelakaan, aku adalah salah satu orang yang menjaganya di rumah sakit. Kadang aku berpikir kalau hubungan kami memang seperti saudara saja, meskipun aku tahu kalau tidak ada pertalian darah sama sekali antara kami. Tidak ada perasaan atau sikap berlebihan selama hubungan pertemanan kami berlangsung.

Suatu ketika ia bertanya aku dimana, kukira ia akan mampir ke rumah mengingat bahwa kami juga masih berhubungan baik sebagai teman sampai sekarang dan dia kerap melewati daerah rumahku.

Ternyata, ia hanya bertanya saja dan kemudian kami ngobrol bercerita tentang kehidupan sehari-hari kami saat ini.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Suamiku hanya mendengar obrolan kami yang saling bertanya kabar. Dia tampak biasa saja dan mendengar semua percakapan kami.

Menyikapi Obrolan dengan Teman

Sampai suatu hari, aku sedang menjemput ibuku bekerja. Di kantor, ada ibu-ibu bercerita dengan sangat ekspresif kepada ibuku tentang suaminya yang menjalin hubungan baik dengan teman alumni sekolah. Aku menunggu ceritanya selesai agar ibuku bisa pulang.

Ibu-ibu itu menggebu-gebu mengatakan bahwa “Nggak ada tuh namanya teman sekolah yang sampai harus telponan lama-lama bahkan sampai seharian.”

Aku diam menyimak bagaimana cerita ibu itu dan seketika aku teringat kepada suamiku. Bukankah beberapa hari lalu, aku juga melakukan hal yang sama? Aku bertelepon dengan teman alumni dan saling bertanya kabar. Ya meskipun obrolan biasa dan pertanyaan keseharian, aku tetiba khawatir apabila suamiku merasa terluka.

Meskipun beda kasus, suami si ibu-ibu bertelepon berlama-lama sampai mengabaikan istrinya, sedang aku hanya sekali itu dan tidak ada pembicaraan yang perlu disembunyikan, tetap saja aku mengantongi perasaan bersalah.

Sesampainya di rumah, aku langsung menghambur ke suami. Kami ngobrol tentang apa saja yang kami lalui hari ini, dan aku menceritakan apa yang kudengar dari ibu-ibu di kantor saat menjemput ibuku.

Suami nyengir. Aku pun bertanya,

“Apakah ketika adek telponan kemarin, Biaw merasa cemburu?”,

Lama dia terdiam sampai dia bertanya kepadaku

“Kalau normalnya manusia, gimana Dek?”

Kali ini aku yang terdiam.

“Adek minta maaf, adek rasa sepertinya memang kita perlu saling mengingatkan.”, Aku memeluk suami.

“Tapi Adek senang Biaw cemburu,” lanjutku.

Saling Terbuka, Komunikasi dengan Pasangan

Kami tertawa bersama setelahnya. Aku meminta suami untuk ke depan berterus terang apa saja yang menurutnya boleh atau tidak kulakukan. Kerap, hal-hal semacam ini bisa memudarkan rasa cinta, namun beberapa orang enggan membicarakannya dengan pasangan karena dianggap “seharusnya dia tahu dong kalau hal kayak gitu bikin aku cemburu“.

Menuju empat tahun pernikahan, nyatanya ada banyak sekali hal-hal yang mungkin masih alpa kupahami sebagai pasangan yang baik. Begitu pun juga suami.

Kadang kami berdebat tentang sesuatu sampai aku muring-muring.

Kadang, aku juga merasa suami sangat menjengkelkan, begitu pula sebaliknya.

Tapi komunikasi mampu melebur semua kesalahpahaman itu. Ya, bagiku pribadi, komunikasi adalah perkara paling krusial dalam pernikahan.

Hampir setiap hari, meskipun sedang berjauhan, kami terus berkomunikasi. Bahkan untuk sekadar bertanya lagi apa? Sudah makan belum? Atau sudah mandi?

Komunikasi yang tidak sehat akan membuka celah-celah pertikaian. Meminta pasangan peka tanpa berusaha mengatakan terus terang apa yang kita inginkan adalah hal yang tidak mudah. Maka berterus-teranglah dalam banyak hal kepada pasangan.

Pun begitu, meminta pasangan mengerti tanpa pernah berusaha memberikan pemahaman dengan cara yang baik tentu bukan hal yang bijak.

Hal-hal Sebelum dan Setelah Menikah

Benarlah ungkapan bahwa pernikahan selayaknya dilakukan oleh dua anak manusia yang sudah paham benar apa makna tanggung jawab, sehingga yang seharusnya terjadi adalah saling berusaha melakukan kewajiban sebagai pasangan yang baik dan bukan hanya menuntut pasangannya menjadi baik.

Kembali kepada ceritaku di awal tulisan ini, aku juga jadi menyadari bahwa hal-hal yang kita anggap wajar sebelum pernikahan bisa menjadi hal-hal yang tak boleh diwajarkan ketika telah memasuki jenjang pernikahan. Misalnya, chatting berlebihan dengan teman-teman lama, atau masih memiliki panggilan spesial dengan lawan jenis.

Aku juga banyak mendapati beberapa orang bercerita tentang kecemburuan pasangan terhadap gawai. Mungkin, kalau kamu belum menikah, bermain gawai adalah hal yang lumrah dan biasa, tapi berbeda ketika kamu telah memiliki suami/istri.

Bermain gawai ketika sedang di rumah menjadi semacam pengabaian, karena pasangan tentu ingin diajak ngobrol, ingin mendengarkan apa saja yang kamu lalui hari ini, dan apa saja yang dilewatinya seharian.

Semoga kita bisa terus belajar untuk menjadi pasangan yang baik, mau bertumbuh dari hari ke hari menjadi orang-orang yang mau belajar memahami dan lebih peka, serta terus terang atas apa yang kita rasa nyaman atau tidak.

Oh ya, dan satu lagi, semoga kita bisa terus menjalin komunikasi sebaik-baiknya, terutama dengan orang-orang terdekat, dan tentu tahu kadar komunikasi secukupnya dengan orang-orang di luar sana.

Kalau kalian, pernahkah merasa cemburu kepada pasangan? Biasanya karena apa? []

 

Tags: CemburuCintaistrikeluargapasangansuami
Hesti Anugrah Restu

Hesti Anugrah Restu

Perempuan yang suka belajar, sedang berkhidmah di Afkaruna.id dan Rumah KitaB, bisa dihubungi melalui Facebook: Hesti Anugrah Restu Instagram: @perikecil97_______

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Ibu Hamil

Perhatian Islam kepada Ibu Hamil dan Menyusui

2 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version