• Login
  • Register
Jumat, 23 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Hari Anti Sunat Perempuan Internasional: Bukti Praktik P2GP Membahayakan Perempuan

Melihat banyaknya dampak negatif dari sunat perempuan, berbagai aturan internasional menegaskan penolakan terhadapnya

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
06/02/2023
in Featured, Publik
1
Hari Anti Sunat Perempuan Internasional

Hari Anti Sunat Perempuan Internasional

768
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 6 Februari sebagai Hari Anti Sunat Perempuan Internasional. Penetapan ini sudah mereka mulai semenjak tahun 2012. Yakni dengan tujuan menyadarkan masyarakat dunia akan bahaya sunat perempuan. Sehingga praktik sunat perempuan harus segera kita akhiri termasuk di Indonesia.

Dengan penetapan 6 Februari sebagai Hari Anti Sunat Perempuan Internasional oleh PBB, harapannya seluruh masyarakat dunia melakukan kampanye yang sama. Selain itu,  juga menjadi salah satu cara untuk mengingatkan kembali bahaya sunat perempuan dari berbagai aspek. Kajian mengenai bahaya sunat perempuan dan bagaimana dunia merespon praktik sunat perempuan akan saya jelaskan dalam artikel ini.

Sunat Perempuan: Penyiksaan Terhadap Otoritas Tubuh

Sunat perempuan tidak mendatangkan manfaat secara medis. Hal ini sebagaimana terlaporkan dalam media guesehat.com berdasarkan penelitian dari ahli kesehatan yang bisa mereka pertanggungjawabkan. Bahkan mendatangkan banyak resiko yang membahayakan jiwa dan merugikan perempuan seperti menurunnya hasrat seksualitas karena rasa nyeri yang dirasakan saat berhubungan badan, merusak jaringan kelamin perempuan, dan menyebabkan kista.

Hal ini diperkuat oleh pendapat dr. Muhammad Fadli. Dokter spesialis kandungan tersebut menyatakan bahwa sunat perempuan dapat mengakibatkan pendarahan dan rasa nyeri hebat yang beresiko kematian. Dampak lainnya, akan menyebabkan infeksi daerah sayatan jika dilakukan dengan peralatan medis yang tidak steril.

Dampak sunat perempuan secara psikologis kita temukan dalam kajian PUSKA Gender dan Seksualitas Fisip UI di tahun 2015. Dalam kajiannya, tersebutkan bahwa 88 % perempuan di Bima merasa sangat berdosa jika tidak melakukan sunat. Karena mereka meyakini sunat perempuan merupakan amanat budaya lokal yang harus mereka lestarikan. Jika mereka tidak sunat, mereka khawatir menjadi aktor yang tidak melestarikan budaya.

Baca Juga:

Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

Menumbuhkan Relasi Kesalingan (Mubadalah) dari Rumah dan Sekolah

Secara sosial, perempuan yang tidak sunat akan mendapatkan sanksi sosial. Di Bima misalnya, mereka akan mendapatkan stigma sebagai perempuan binal, dan mereka yakini tidak mendapatkan jodoh. Tidak ada laki-laki yang mau menikahi perempuan yang tidak sunat. Di Ambon, perempuan yang tidak sunat terlarang memasuki rumah ibadah. Karena stigma sebagai perempuan yang tidak suci. Di Sumenep, perempuan yang tidak sunat dianggap sebagai pelacur karena tidak akan puas hanya dengan satu suami.

Penolakan Dunia terhadap Praktik Sunat Perempuan

Melihat banyaknya dampak negatif dari sunat perempuan, berbagai aturan internasional menegaskan penolakan terhadapnya. Adapun berbagai aturan tersebut antara lain:

Pertama, Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Dalam pasal 3 UDHR tersebutkan bahwa salah satu kebebasan manusia adalah untuk mendapatkan “hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai individu.” Karena praktik sunat perempuan bertentangan dengan asas keselamatan sebagai individu, maka pasal 3 UDHR ini dijadikan dasar penolakan praktik sunat perempuan. Selain itu, praktik sunat perempuan juga menghalangi kebebasan perempuan untuk mendapatkan hak seksualitasnya.

Penolakan sunat perempuan juga diperkuat melalui pasal 5 UDHR yang menyatakan bahwa “tidak seorangpun dikenakan penyiksaaan, perlakuan, atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan”. Sunat perempuan jelas merupakan penyiksaan, dan tidak manusiawi karena meletakkan perempuan sebagai objek seksual.

Kedua, The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Aturan tersebut mengatur mengenai penghormatan HAM dan menolak segala bentuk perampasan hak hidup dan integritas fisik manusia. Organ kelamin mutlak menjadi pemilik otoritas tubuh. Maka tidak ada satu alasan pun yang bisa kita jadikan pembenaran atas pelukaan organ kelamin yang berdampak negatif pada pemilik tubuh.

Ketiga, Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Amanat utama dalam aturan tersebut adalah penolakan terhadap perlakuan diskriminatif pada perempuan. Secara universal, CEDAW mengatur kesamaan laki-laki dan perempuan baik di ranah publik maupun domestik. Maka sunat perempuan jelas bertentangan dengan berbagai pasal yang ada dalam CEDAW. Karena sunat perempuan mengamini inferioritas perempuan atas laki-laki.

Pelestarian Budaya tidak Boleh Bertentangan dengan Hak Anak

Keempat, Convention on the Rights of the Child (CRC). Aturan tersebut CRC berkenaan dengan perlindungan hak anak. Maka praktik sunat perempuan bagi yang berusia di bawah 18 tahun bertentangan dengan konsep CRC. Secara tegas, CRC menuliskan pasal yang mendorong terhapusnya praktik tradisional non medis yang membahayakan anak.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 24 ayat 3 CRC yang menyatakan “praktik-praktik tradisional yang merugikan Kesehatan anak-anak” harus kita hapus. Fakta bahwa praktik sunat perempuan terlegitimasi dengan alasan budaya, maka CRC secara tegas menentang hal tersebut. Pelestarian budaya tidak boleh bertentangan dengan hak anak.

Masih ada beberapa aturan internasional yang menolak praktik sunat perempuan antara lain: Beijing Declaration, The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), dan Declaration On the Elimination of Violence Against Women. Pada intinya, berbagai aturan tersebut bermuara pada tujuan yang sama yaitu menghindarkan perempuan dari tindakan diskriminatif.

Maka dengan memperingati 6 Februari sebagai Hari Anti Sunat Perempuan Internasional, harapannya mampu membangun (lagi) kesadaran bersama untuk terus bersuara menolak sunat perempuan. Satu suara yang kita sampaikan, akan dapat merubah pemikiran kolot bagi kelompok yang masih menganggap sunat perempuan sebagai bentuk pelestarian budaya. Atau bahkan sebagai bentuk ketaatan terhadap agama. (Bebarengan)

 

 

 

Tags: Fatwa KUPI IIHak anakHari Anti Sunat Perempuan InternasionalHasil KUPI IIP2GP
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jalan Mandiri Pernikahan

    Jalan Mandiri Pernikahan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah untuk Si Bungsu: Budaya Nusantara Peduli Kaum Rentan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Jenis KB Modern

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud
  • KB dan Politik Negara
  • “Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan
  • 5 Jenis KB Modern
  • Jalan Mandiri Pernikahan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version