• Login
  • Register
Senin, 27 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Hati-hati, Jika Anda Telah Mengalami Gaslighting!

Tahukah anda apa itu gaslighting? Gaslighting biasa terjadi dalam hubungan sosial. Dengan seiring maraknya kasus kekerasan di Indonesia yang berbasis pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, kasus pacaran berujung pembunuhan. Maka sangat perlu bagi kita semua mengenal perilaku gaslighting.

Irfan Fauzi Irfan Fauzi
24/05/2021
in Publik
0
Gaslighting

Gaslighting

282
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernahkah anda merasa kurang percaya diri (PD) usai berdebat dengan pasangan atau teman sendiri? Atau mungkin anda pernah merasa dihantui rasa bersalah usai melakukan sesuatu? Hati-hati, mungkin anda sudah menjadi salah satu bagian dari korban gaslighting.

Tahukah anda apa itu gaslighting? Gaslighting biasa terjadi dalam hubungan sosial. Dengan seiring maraknya kasus kekerasan di Indonesia yang berbasis pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, kasus pacaran berujung pembunuhan. Maka sangat perlu bagi kita semua mengenal perilaku gaslighting.

Mengutip dari Narasi Newsroom (23/11/20), Tara Brabazon, Pengajar Studi Kultural di Flinders University, mengatakan bahwa gaslighting adalah manipulasi terhadap seseorang atau kelompok yang menyebabkan mereka mulai mempertanyakan kredibilitas mereka, dan pada akhirnya mempertanyakan kewarasan mereka.

Jika saya sederhanakan gaslighting merupakan bentuk kekerasan emosional yang kerap terjadi dalam hubungan percintaan, pertemanan, bahkan lingkup keluarga. Lebih lanjut Narasi mengidentifikasi bahwa gaslighting bisa masuk dalam ranah pekerjaan dan dunia politik.

Gaslighting sendiri sebenarnya sudah viral dalam beberapa bulan lalu, namun fenomena gasligting nampaknya sampai detik ini masih menyelimuti kita bersama. Tetapi banyak orang yang belum menyadari bahwa dirinya sudah termasuk bagian dari korban gaslighting itu sendiri.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual
  • Maple Yip, Perempuan di Balik In the Name of God: A Holy Betrayal
  • Female-Blaming, Patriarki dan Kasus-kasus yang Berulang
  • Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

Baca Juga:

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

Maple Yip, Perempuan di Balik In the Name of God: A Holy Betrayal

Female-Blaming, Patriarki dan Kasus-kasus yang Berulang

Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

Istilah gaslighting pertama kali dipopulerkan dalam film Gaslight (1944) yang diadopsi dari drama berjudul “Gas Light” karya Patrick Hamilton. Dimana seorang suami berperan mencuci otak istrinya dengan berbagai tipuan untuk mempertanyakan kepercayaan diri dan meyakini dirinya bahwa ia mengalami gangguan kejiwaan.

Atas dasar itu, pelaku gaslighting—disebut gaslighter—akan memanipulasi korban secara berulang agar korban merasa dirinya tidak PD sehingga korban sepontan menjadi insecure atau inferior, pada akhirnya korban akan mengikuti perkataan gaslighter. Perilaku gaslighting biasanya pribadi yang arogan, narsistik, psikopat, tidak mau disalahkan atau demi menyembunyikan hal-hal yang tak ingin diketahui orang lain. Misalnya menyembunyikan tindak kriminal, perselingkuhan, kekerasan gender, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, tindakan gaslighting perlu dikenali oleh khalayak umum, tidak membedakan status gender; laki-laki/perempuan, karena korban gaslighting bisa terjadi pada anak-anak, dewasa, dan orang tua. Para aktivis feminis biasanya menganggap ketimpangan sosial sebagai salah satu penyebab gaslighting. Artinya mereka menganggap kebanyakan korban gaslighting adalah kaum perempuan.

Ciri-ciri tindakan gaslighting adalah ketika ditanya ia malah membalikkan pertanyaan tersebut atau ia enggan mendengarkan perkataan orang lain dan bersih keras dengan pendapatnya. Sebagai contoh “Kalau kamu tidak bersifat seperti ini, mungkin ini tidak akan terjadi”, “Apakah aku kurang baik dalam hubungan ini?”, “Coba kamu pikirkan kembali ucapanmu, bisa jadi kamu yang salah”, “Aku tidak melakukan apa-apa, jangan berpikir aneh-aneh, deh”, dan sejenisnya.

Komnas perempuan (Catahu, 2020) mencatat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) di tahun 2019 yaitu sebesar 431.471, jumlah ini meningkat sebesar 6% dari tahun sebelumnya yaitu 406.178. Berdasarkan data tersebut, kasus yang paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ranah personal (RP) mencapai 75% (11.105 kasus). Posisi kedua KtP dalam ranah publik sebesar 24% (3.602 kasus) dan terakhir adalah ranah negara dengan persentase 0,1% (12 kasus).

Perlu disampaikan bahwa dalam kasus KDRT/RP yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 4.783 kasus (43%), disusul kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25%), psikis 2.056 (19%) dan ekonomi 1.459 (13%). Ironinya, kasus-kasus yang paling mendominasi dalam hubungan percintaan atau kekeluargaan adalah perempuan, meskipun tidak dipungkiri pula adanya kekerasan terhadap laki-laki namun sangat sedikit sekali.

Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan tindakan gaslighting masuk pada ranah hubungan percintaan baik secara personal atau domestik. Berdasarkan data tersebut, gaslighter diperankan oleh laki-laki dengan menjadikan objek perempuan sebagai korban gaslighting, baik kondisi sadar maupun tidak sadar.

Semisal bermula dari laki-laki yang enggan mengakui kesalahan dirinya karena merasa dirinya memiliki otoritas penuh dalam urusan domestik sehingga secara terpaksa perempuan mengikuti keinginan laki-laki, perempuan yang menentangnya justru mendapatkan kekerasan fisik atau kekerasan dalam bentuk verbal (seperti; ucapan tak senonoh).

Pada dasarnya, perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan gender merupakan kondisi dimana relasi antara laki-laki dan perempuan berlangsung timpang, merugikan bahkan mengorbankan salah satu pihak (Alfian Rokhmansyah, 2016).

Kekerasan berbasis gender biasanya dipicu dengan perlakuan subordinasi, dominasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu. Menurut kaum feminis, kekerasan terhadap perempuan sama dengan kekerasan berbasis gender. Perbedaan itu bukan tanpa sebab, karena selama ini kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan terjadi karena relasi gender yang timpang. Kekerasan berbasis gender pula merupakan hasil kontruksi interaksi sosial masyarakat yang bersifat patriarki.

Tentunya para gaslighter dengan mudahnya menguasai panggung hubungan domestik atau selainnya, seperti subordinasi (suatu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin lebih penting dibanding kelamin lainnya). Realitanya sudah sejak dulu perempuan menempati peran yang lebih rendah dibanding laki-laki.

Karenanya laki-laki seolah-olah memiliki otoritas penuh dalam mengontrol psikologis perempuan dengan asumsi bahwa perempuan tidak layak tampil sebagai pemimpin, akibatnya bagi perempuan yang tak memiliki daya perlawanan, ia menjadi insecure dan inferior. Singkatnya aktivitas perempuan hanya bertugas dalam ranah domestik, melayani suami dan mengurusi anak.

Korban-korban gaslighting tentunya akan menanggung beban psikis yang amat berat. Tekanan batinnya lambat laun akan menumpuk seiring berlangsungnya tindakan gaslighting. Jika diri kita merasa menjadi korban gaslighting, saya menawarkan beberapa tahap efektif untuk menyelesaikan problem tersebut, yaitu:

Tahap pertama, bila anda mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau sejenisnya, solusinya melapor kepada pihak yang berwenang, seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, Pengadilan, dan sebagainya.

Tahap kedua, melawan secara personal bukanlah ide baik, namun sedikit pendekatan kekeluargaan bisa jadi solusinya, semisal dengan menghadirkan sosok yang disegani dari pihak keluarga, hal tersebut berpotensi dapat menyelesaikan masalah.

Tahap ketiga, bila korban menyadari adanya manipulasi atau perilaku gaslighting dari pasangan, teman atau keluarga, seperti mental anda terganggu, gundah gulana, galau, maka solusinya adalah mintalah pertolongan dan kunjungi psikolog, psikater, layanan pendamping atau Women Crisis Center, guna mengurangi keresahan yang menumpuk di pundak anda. []

 

Tags: feminismeGaslightingkeadilan genderKekerasan seksualkorban kasus kekerasan
Irfan Fauzi

Irfan Fauzi

Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Alumni Kelas Kepenulisan NU Online 2021, Tim Jurnalistik di PP. Al-Munawwir dan PP. Kempek

Terkait Posts

Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Akhlak dan perilaku yang baik

Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

26 Maret 2023
kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

26 Maret 2023
Penutupan Patung Bunda Maria

Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria

26 Maret 2023
kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

25 Maret 2023
Zakat bagi Korban

Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

25 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Akhlak dan perilaku yang baik

    Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama
  • Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik
  • Pentingnya Memahami Prinsip Kehidupan Bersama
  • Q & A: Apa Batasan Sakit yang Membolehkan Tidak Puasa di Bulan Ramadan?
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist