Fenomena hijrah yang diidentikan dengan berhijab didorong salah tiganya melalui aksi turun jalan seperti GEMAR di Tanggerang, kampanye melalui media sosial dengan mengunggah tampilan hijab yang “syar’i”/yang sesuai dengan ajaran Islam menurut tafsiran suatu kelompok atau mengomentari seseorang (yang sama sekali tidak dikenal) untuk segera menutup aurat.
Hal tersebut membuat industri fashion muslimah semakin berkembang pesat. Seperti yang dilansir oleh finance detik.com bahwa industri busana muslim ternyata menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan di bidang ekonomi kreatif selain bidang kuliner.
Sementara data yang dihimpunan oleh Kementerian Perindustrian setidaknya 20 juta orang di tanah air mengenakan busana muslim untuk keseharian. Ada 750 ribu pelaku atau sekitar 30 persen industri kecil menengah yang bergerak di bidang industri fashion muslim.
Hijab juga mengalami pertumbuhan pesat di negara-negara yang mayoritas non-muslim mislanya Amerika, Inggris dan Rusia. Brand-brand ternama seperti H&M, Zara, DKNY, Tommy Hilfiger, Mango, Dolce and Gabbana meluaskan pasar mereka di busana muslim.
Misalnya, awal januari 2016, brand sebesar Dolce and Gabbana meluncurkan koleksi jilbab dan abaya-busana wanita arab berbentuk jubah lengan panjang. Kemudian, Zara yang meluncurkan koleksi busana muslim pada tahun 2015 (Tirto.id).
Atau jika dicermati iklan-ilkan kecantikan saat ini hampir seluruhnya memunculkan sosok berhijab dan/atau ramah pada perempuan berhijab dalam produknya (iklan shampoo, pencerah wajah, sabun mandi bahkan mesin cuci). Perkembangan industri hijab dan pakaian muslim yang dirambah oleh brand-brand besar di atas menunjukan hijab tidak hanya sekedar kebutuhan spiritual muslimah akan perintah menutup aurat semata.
Namun juga merambah pada aspek ekonomi, sosial dan budaya. Fenemona hijrah dan hijab, tidak bisa kita pungkiri telah membawa dampak pada kuasa perempuan atas dirinya. Perempuan dipatuhkan melalui dua cara yaitu pasar dan islamisme.
Pertama, perempuan dijadikan arena pemasaran barang konsumsi. Menurut Baudrillad dalam masyarakat kontemporer telah dirusak oleh konsumsi dan eksploitasi iklan (Baudrillad, 2011:45) Masyarakat telah diperbudak oleh pasar, dan pasar menjadi agama baru bagi masyarakat tidak terkecuali perempuan.
Perempuan menjadi bagian tertindas dalam labirin iklan serta menjadi korban konsumerisme yang menguntungkan segelintir pihak. Ruang iklan perihal hijab dan busana muslim menjadi rujukan penting untuk mengenali wajah kapitalisme yang seolah “baik” dengan menawarkan refrensi berbagai hijab bagi muslimah dengan dalih hijrah dan kebaikan, namun di balik itu semua tersirat penindasan yang membuat perempuan hanya dijadikan objek pemasaran trend (Azis, 2010:4). Yang mana tidak hanya hijab/pakaian muslim, namun kosmetik, mode kulit, gaya hidup dan lain sebagainya.
Kapitalisme memberikan diktum penting terhadap identitas bagi masyarakat “modern”, “kekinian”, “kebaikan”, “ke-syari’ian” dan hal-hal baik yang berkenaan dengan modernitas. Iklan hijab yang bertebaran di media sosial dan layar kaca secara tidak langsung menjadi sebuah habitus.
Habitus menurut Pieere Bordiue adalah peristiwa atau tindakan harian yang di dalamnya ada unsur pemaksaan. Namun, tidak terlihat dan dianggap baik-baik saja. Habitus selalu menggunakan doksa (nilai-nilai yang didoktrin sebagai kebenaran tanpa perlu dibuktikan) agar perempuan dapat membeli atau setidaknya tertarik dengan hal yang diiklankan oleh kapitalisme. Singkatnya, perempuan akan terus dipaksa untuk menjadi seorang konsumerisme melalui upaya berhijrah.
Kedua, arena pendisplinan perempuan dalam kerangka islamisme. Islamisme di sini mengacu pada ideologi yang berupaya untuk merebut tubuh perempuan dalam konteks nilai-nilai tradisional dan modern melalui habitus. Pemakaian hijab, jilbab dan cadar merupakan upaya pendisplinan tubuh perempuan dengan meneguhkan bahwa identitas kemusliman mutlak terletak pada hijab yang dipakainya.
Di mana itu akan menisbikan perbedaan dan pendapat dalam tiap individu mengenai hijab. Dalam hal ini, bukan hijab, jilbab atau cadarnya yang hendak dipermasalahkan, namun pada konteks upaya yang digunakan yaitu pemaksaan dogma tunggal atas hijab.
Merujuk pada kampanye menutup aurat yang dilakukan berbagai komunitas hijab syari’i, bagi penulis hanya upaya pemaksaan yang sama seperti kapitalisme. Kuasa atas tubuh perempuan melalui doksa-doksa, Barangkali, ayat-ayat dari Al-Qur’an perihal menutup aurat bagi perempuan atau kalimat hijab untuk muslimah yang sempurna, bisa menjadi dijadikan doksa untuk memaksakan kehendak pada perempuan.
Penyematan dan pemaknaan hijrah yang dibataskan pada perubahan tampilan fisik misal dengan pemakaian hijab bagi perempuan muslimah tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Karena hijrah tidak hanya sebatas perubahan fisik semata, namun bagaimana perempuan muslimah bisa berlaku baik terhadap Tuhan, Manusia dan Alam (tidak hanya ritus ibadah semata).
Kekuatan kapitalisme dan Islamisme yang (kita akui atau tidak) masuk dalam keputusan berhijab seorang perempuan muslim sebagaimana di atas, seyogyanya dapat kita lawan dengan kesadaran kita untuk memakai hijab. Kenapa kita memakai hijab? Apa yang membuat kita berhijab dan berhijrah? Apakah hijab yang kita pilih memang kita suka bukan karena dogma agama apalagi trend pasar? Hijab dan langkah hijrah yang kita pilih bukan penindasan selagi disertai dengan rasa kesadaran atas pilihan tersebut. []