Mubadalah.id – “Salah satu argumen yang berkembang di masyarakat bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan adalah karena kata “Tuhan” atau “Allah” diungkapkan dalam bentuk laki-laki (mudzakkar) oleh al-Qur’an dan teks-teks lain”, demikian dikatakan salah satu peserta pengajian Ramadan yang diselenggarakan Alimat di Duren Sawit Jakarta Timur. Apakah Iblis laki-laki atau perempuan?
Saya sudah sering mendengar argumen ini yang digunakan beberapa orang untuk mematahkan konsep kesederajatan perempuan dan laki-laki dalam Islam. Kadang juga digunakan analisis feminis untuk mendeskreditkan teks dan bahasa agama yang dianggap seksis dan diskriminatif. Biasanya saya jawab dengan konstruksi Bahasa dalam masyarakat Arab yang harus dipahami secara kontekstual.
Tetapi saat itu, saya justru spontan menjawab: “Bagaimana kalau kata “iblis” dan “setan” juga diungkapkan dengan bentuk mudzakkar juga? Apakah berarti laki-laki itu setan? Atau sama dengan setan? Sehingga menjadi rendah dan hina? Inilah cara saya menggunakan metode “mubadalah” untuk menjawab secara lebih sederhana dan mudah. “Mubadalah” di sini terkesan seperti membalik saja, atau “mukhalafah”.
Sepulang dari pengajian, di atas kereta api menuju Cirebon saya buka al-Mu’jam al-Mufahras karya monumental Muhammad Fuad Abdul Baqi. Ternyata, memang kata “Iblis” disebut 11 kali dalam al-Qur’an dengan ungkapan berbentuk mudzakkar. Kata “syaitan” atau setan juga dalam bentuk laki-laki, sebanyak 68 kali. Sementara bentuk jamaknya “syayaathiin” (setan-setan) disebut 17 kali, tiga di antaranya dirujuk dengan menggunakan kata kerja perempuan (mu’annats). Yaitu di Surat al-An’am (QS. 6: 7) dan al-Syu’ara (QS. 26: 210 dan 221). Memang dalam Bahasa Arab bentuk jamak bisa diungkapkan dalam bentuk perempuan.
Tetapi tentu saja, kata “malaikat” baik dalam bentuk tunggal (malak) maupun jamak (malaa’ikah), juga diungkapan dengan bentuk mudzakkar. Bentuk tunggalnya disebut 15 kali dalam mudzakkar. Sementara jamaknya disebut 73 kali, dimana 6 kali dalam bentuk mu’annats. Jadi, bentuk mudzakkar atau mu’annats Tuhan, malaikat, iblis, atau yang lain seharusnya tidak menjadi ukuran untuk menentukan keunggulan atau merendahkan jenis kelamin tertentu.
Bukankah al-Qur’an sudah menegaskan bahwa keunggulan itu hanya bisa didapat melalui ketakwaan? (QS. Al-Hujurat, 49: 13). Salah satu bentuk ketakwaan, sebagaimana ditunjukkan Nabi Saw adalah justru dengan memuliakan perempuan dan memperlakukan mereka dengan baik (Sunan Abu Dawud, no. hadis: 1907; dan Sunan Ibn Majah, no. hadis: 3190), sebagaimana juga memuliakan laki-laki. Karena keduanya adalah manusia yang mulia dan bermartabat. Jadi apakah Iblis laki-laki atau perempuan?
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir