Mubadalah.id – Iduladha telah berlalu, namun bahasan hewan kurban, menyembelih, dan hidangan olahannya masih mendominasi bilik obrolan hingga konten media sosial. Fakta ini sedikit menjadi bukti masyarakat Indonesia ceria menyemarakkan salah satu hari kemenangannya.
Pada Iduladha kemarin, setelah menunaikan salat Id dan menyimak khotbah, masyarakat berbondong melaksana-nyaksikan prosesi pemotongan hewan kurban di sekitar masjid atau langgar mereka.
Proses “menyembelih” menjadi diksi patut mendapat bahasan di hari-hari berkabung daging. Beberapa hari sebelum Iduladha, tersebar pelbagai aturan hingga tata cara menyembelih dan pembagian daging. Bahasan itu kadang melenakan kita pada aktor utama; tukang sembelih atau jagal.
Masyhur terlihat seorang jagal selalu lelaki. Pun tak sembarangan ia harus memiliki kriteria penyembelih sesuai syarat di beberapa kitab fikih. Lalu ke mana perempuan, apakah mereka absen karena tak memiliki keahlian menyembelih atau hanya karena perbedaan kelamin?
Diksi “menyembelih” itu universal, tak berkait dengan jenis kelamin dan gender manapun. Diksi itu termiliki oleh perempuan ataupun lelaki. Bagaimana mungkin keumuman itu dipotong sepihak menjadi khusus termiliki satu jenis kelamin saja. Dalam buku Celetuk Bahasa 2: Bukan Sekadar Salah Kaprah (2018), UU Suhardi nyeletuk, “Manfaatkanlah kamus. Kamus niscaya membantu kita paham bahwa makna tidak bisa memonopoli kata.”
Dari ibarat itu untuk mencocokan kata dengan objeknya, agar tak keliru dan serampangan memaknainya, maka bukalah kamus. Kamus memberi pengetahuan soal keberimbangan kata pada pemaknaannya. Soal bagaimana kata “menyembelih” tersandang pada perempuan menurut KBBI itu sah. Sementara bila merujuk pada referensi kitab-kitab Islam lain cerita. Ada pendapat baru berserta alasannya yang bakal teruraikan.
Kesamaan Potensi
Dalam kitab Minhajuth Tholibin, misalnya, pada bab Udhiyah (hewan kurban) terjelaskan dalam halaman 131. Dalam konteks penyembelihan hewan kurban bilamana pun ada perempuan harus tetap mengutamakan laki-laki.
Maka merujuk Imam Nawawi, pengarang kitab ini, sesiapapun perempuan ahli dan mampu menyembelih, serta telah memenuhi syarat sebagai jagal, ia akan terhalang keafdolannya oleh lelaki yang memenuhi syarat pula. Kecuali tak ada lelaki, kalaupun ada ia tak mampu serta tak memenuhi syarat menyembelih, maka perempuanlah pengeksekusinya.
Sedang dalam ibarat berbeda menguatkan, perempuan tetap dibolehkan menyembelih sekalipun ia sedang haid dengan syarat mampu. Ibarat ini berusaha menjelaskan bahwa ada kesetaraan dalam urusan “menyembelih” untuk lelaki dan perempuan. Pun bilamana ingin mengejar afdol, maka ikuti pendapat Imam Nawawi di atas.
Dalam pada itu, jika pertanyaan muncul “Bolehkah perempuan menyembelih hewan kurban atau jadi tukang jagal?” Jawabannya boleh, tentu dengan memerhatikan pendapat dan syarat-syarat yang sudah terbahas di atas. Soal kebolehan perempuan menyembelih kurban tanpa menengok pendapat Imam Syafii tersebut tak masalah, selagi memiliki pendapat lain. Sebab fikih itu terbuka untuk berlainan pendapat selagi bertumpu pada argumen dan basis literatur kuat.
Hal ini dikuatkan pula oleh pendapat KH. Husein Muhammad dalam bukunya Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan (2014), sebagai manusia, perempuan memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki lelaki. Dengan begitu, jangankan perkara sederhana soal menyembelih, perempuan pun bisa menjadi pemimpin sebuah negara halnya lelaki.
Kongsi Kerja Sama
Dalam kanon lain, prosesi kurban ini bagian dari replika kerja sama antarmasyarakat, antarjenis kelamin, dan antargenerasi. Ada kerja-kerja afirmatif di sana. Bagaimana kerja sama antarjenis kelamin, misalnya, lelaki mendapat tugas menyembelih dan menguliti. Sementara perempuan bertugas urusan memotong daging menjadi bagian-bagian tertentu.
Belum lagi antargenerasi saling bergotong royong, tua-muda bersuka-ria membopong jeroan kambing atau sapi ke sungai untuk dibersihkan dari segala kotoran. Sorotan ini cukup representatif bagi pedoman hidup sosial yang berkeadilan. Di mana masing-masing orang mendapat kepercayaan dan tugas mengerjakan bagiannya.
Kesepakatan itu alamiah saja terlakukan oleh masyarakat desa. Apalagi jika sistem ini dikuatkan oleh keabsahan struktur panitia. Bisa saja tugas-tugas tadi saling dioperkan satu sama lain. Maka, kesempatan atas kerja-kerja inilah sejatinya telah mencontohkan pada kita bahwa konsep kesalingan, kesetaraan, dan kesepakatan antarjenis kelamin perlahan telah terlaksana dalam bingkai sederhana, di dalam prosesi pemotongan hewan kurban. []