• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ihya-ul Mawat dan Penyelamatan Lahan Kritis

Dalam konteks penyelamatan lahan kritis, terutama yang menjadi milik pemerintah atau negara, konsep ihya-ul mawat dapat diperkaya dengan menggunakan akad muamalah lainnya, seperti muzara'ah, musaaqah, dan lain sebagainya

Ahmad Asrof Fitri Ahmad Asrof Fitri
05/08/2022
in Publik
0
Lahan Kritis

Lahan Kritis

243
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Indonesia tidak hanya terkenal sebagai negara maritim karena luas wilayah laut dan banyaknya pulau yang dimiliki. Produksi bahan pangan dalam kuantitas besar dan banyaknya areal pertanian menjadikan Indonesia mendapat julukan pula sebagai negara agraris. Meski demikian, kita tidak boleh jumawa, lantaran jumlah lahan kritis di negara ini cukup besar.

Lahan kritis, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, pengertiannya adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman yang kita budidayakan atau yang tidak.

Keberadaan lahan kritis ini mengindikasikan adanya degradasi lingkungan sebagai akibat dari eksploitasi lahan secara massif dan kurang tepat. Lalu pembuangan limbah yang tidak sesuai regulasi, hingga penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang berlebihan.

Daftar Isi

    • Dampak Lahan Kritis
  • Baca Juga:
  • Menjamin Hak Masyarakat Untuk Mewujudkan Udara Bersih
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam
  • Dampak Industri Fast Fashion Terhadap Pencemaran Lingkungan
  • Ibnu Khaldun; Kondisi Iklim Mempengaruhi Hal-hal Berikut Ini
    • Kontekstualisasi Ihya-ul Mawat

Dampak Lahan Kritis

Dampak paling nyata dari lahan kritis adalah penurunan fungsi konservasi dan kapasitas produksi, yang secara langsung maupun tidak langsung, akan berefek negatif terhadap kehidupan ekonomi warga di sekitarnya. Tidak hanya itu, lahan terdegradasi bisa menjadi pemicu terjadinya bencana, mulai dari kekeringan, banjir, tanah longsor, sampai kebakaran ketika lahan tersebut berisi semak belukar kering yang rentan jika tersulut api.

Di akhir tahun 2018, menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas lahan kritis tercatat sejumlah 14,01 juta hektar. Sebelumnya di tahun 2014 seluas 27,2 juta hektar dan pada tahun 2009 tercatat berada pada angka 30,1 juta hektar. Walaupun data tersebut menunjukkan adanya tren penurunan, namun angkanya masih terbilang fantastis.

Baca Juga:

Menjamin Hak Masyarakat Untuk Mewujudkan Udara Bersih

Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam

Dampak Industri Fast Fashion Terhadap Pencemaran Lingkungan

Ibnu Khaldun; Kondisi Iklim Mempengaruhi Hal-hal Berikut Ini

Bahkan, KLHK memperkirakan upaya pemulihan 14 juta hektare lahan kritis di Indonesia membutuhkan waktu hingga 60 tahun. Prediksi tersebut muncul bukan tanpa dasar. Meskipun telah mereka dukung dengan pendanaan dari APBN, APBD, dan swasta, kemampuan pemulihan lahan kritis hanya 232.250 hektare per tahun. Karena itu, membutuhkan kerja sama dan sinergi dari berbagai pihak, utamanya masyarakat.

Dalam konteks ini, pemerintah bertindak sebagai regulator, project leader, sekaligus penyokong utama pendanaan melalui APBN dan APBD. Perusahaan swasta bisa berkontribusi melalui support dana, salah satunya dengan program corporate social responsibility (CSR) yang kita orentasikan pada perbaikan lingkungan. Adapun masyarakat dapat mengambil peran sebagai eksekutor di lapangan.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apa dasar akademik? Terutama dari diskursus keislaman, yang bisa kita jadikan referensi pemerintah dalam menunjuk warga sebagai “kaki dan tangan” proyek penyelamatan lahan kritis tersebut?

Kontekstualisasi Ihya-ul Mawat

Ihya-ul mawat telah menjadi salah satu bahasan penting dalam bab fiqih muamalat di berbagai literatur kitab klasik. Ihya-ul mawat, secara bahasa, berarti “menghidupkan” kembali lahan yang “mati”.  Sejak lama, konsep ihya-ul mawat telah dipraktikkan dan menjadi salah satu instrumen pemulihan potensi tanah yang tidak tergarap.

Dalam hadis riwayat Sayyidah ‘Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:

من أعمر أرضا ليست لأحد فهو أحق (رواه البخاري)

“Barang siapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka dialah yang paling berhak terhadap tanah tersebut.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam kitab At-Tadzhib (hlm. 145) karya Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, kata i’mar (bentuk mashdar dari a’mara) memiliki makna yang sama dengan ihya. Yakni mengambil manfaat, maslahat, dari tanah tersebut, baik dengan menanaminya maupun membangun tempat di atasnya (istishlahuha bi az-zar’i aw al-bina-i).

Ini menunjukkan, ihya-ul mawat bisa kita wujudkan dengan salah satu dari dua cara. Pertama, penggarapan dan konservasi atas lahan yang tidak terawat, terbengkalai, atau bahkan rusak. Baik dari segi unsur fisik, kimia, dan biologinya. Metode pertama ini berorientasi pada aspek produksi pangan dan penyuburan tanah.

Kedua, pembangunan gedung atau sarana yang mempunyai nilai ekonomis. Baik untuk kebutuhan tempat tinggal maupun komersial, seperti pertokoan, penginapan, restoran, dan fasilitas pendukung perputaran roda ekonomi. Metode yang kedua berkenaan dengan penggiatan simpul-simpul perniagaan dan transaksi sejenisnya.

Dalam literatur fiqih klasik, ihya-ul mawat memang melekat dengan tanah yang tak berpemilik. Bahkan, salah satu syarat dari lahan yang “dihidupkan” adalah berstatus bebas dan tidak terikat dengan kepemilikan seorang muslim (an takuwna al-ardhu hurrotan, lam yajri ‘alayha milkun li muslim). Namun, konsep tersebut tidak kemudian dianggap sebagai ketentuan yang bersifat final dan tidak boleh kita utak-atik.

Dalam konteks penyelamatan lahan kritis, terutama yang menjadi milik pemerintah atau negara, konsep ihya-ul mawat dapat kita perkaya dengan menggunakan akad muamalah lainnya. Seperti muzara’ah, musaaqah, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, pemerintah bertindak selaku pemilik lahan kritis, sementara rakyat menjadi penggarap. Dengan cara ini, lahan kritis bisa kita kurangi, lapangan kerja dapat kita perluas. []

 

 

 

 

Tags: Isu LingkunganKeadilan EkologisKonservasi LingkunganLahan KritisLingkungan BerkelanjutanPerubahan Iklim
Ahmad Asrof Fitri

Ahmad Asrof Fitri

Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan Sukoharjo. Saat ini, selain mengajar, juga aktif melakukan penelitian dan menulis buku. Aktivitasnya dapat diikuti di Instagram: @a.asrof.fitri

Terkait Posts

Perayaan Nyepi

Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

22 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembahasan Childfree

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

18 Maret 2023
Bimbingan Skripsi, Kekerasan Seksual

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

17 Maret 2023
Kekerasan Simbolik

Bibit Kekerasan Simbolik di Lembaga Pendidikan

16 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menjadi Minoritas

    Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rahmat Allah Swt Untuk Orang Islam dan Orang Kafir
  • Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist