Mubadalah.id – Indonesia merupakan negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Emisi karbon merupakan gas yang dikeluarkan melalui hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti CO2, solar, LPG, dan bahan bakar lainnya. Dalam arti sederhana bahwa emisi karbon adalah pelepasan karbon ke lapisan atmosfer. Data yang dirilis The Nature Conservancy, memperkirakan bahwa setiap penghuni di planet ini menghasilkan rata-rata hampir empat ton CO2 setiap tahun, sementara di negara-negara seperti Amerika Serikat jumlah ini mencapai empat kali lipat per orang setiap tahunnya.
Organisasi ini menyatakan bahwa kita semua perlu mengurangi jejak emisi karbon menjadi kurang dari setengahnya per tahun pada tahun 2050. Para ahli mengatakan bahwa ini adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa suhu berhenti naik dan tidak mencapai ambang batas dua derajat celcius, yang tentunya akan memperburuk perubahan iklim dan mengubahnya menjadi masalah yang tidak bisa diperbaiki.
Emisi karbon menjadi kontributor perubahan iklim bersama dengan emisi gas rumah kaca. Emisi gas yang berlebihan dapat menyebabkan pemanasan global atau gas rumah kaca. Hal ini mengakibatkan peningkatan suhu di bumi secara signifikan. Gas Rumah Kaca adalah gas yang terperangkap di atmosfer bumi.
Secara umum merupakan gas yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dan industri seperti produksi listrik (energi), pertambangan, pembukaan lahan untuk perkebunan, dan pengelolaan limbah/sampah. Data Walhi Tahun 2021 menunjukkan bahwa kontribusi emisi dari pengelolaan limbah/sampah dengan total emisi sebesar 127 Gg CO2e, angka ini cukup tinggi dan akan semakin naik setiap tahunnya jika tidak adanya upaya serius mengatasi peningkatan emisi dari sektor limbah/sampah.
Pengelolaan sampah/limbah (waste management) merupakan salah satu kontributor terbesar secara global. Emisi metana dari landfill atau tempat pemprosesan akhir (TPA) merupakan salah satu penyebab utama dampak krisis iklim dari sektor sampah.
Bila merujuk data pemerintah Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), emisi karbon di Indonesia pada Tahun 2021 akibat imbas dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mencapai 41,4 juta ton CO2e. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia sepanjang Tahun 2021 meningkat 2,7%, memproduksi emisi karbon yang lebih banyak dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Penegakan hukum harusnya menjadi instrumen untuk mengubah dan mengoreksi perilaku manusia yang melakukan pembakaran hutan dan lahan, termasuk di kawasan gambut. Kebakaran hutan dan lahan harusnya dipandang sebagai kejahatan yang sangat serius.
Bila kita lihat pembalakan liar berdampak pada aspek kerugian ekonomi, sedangkan kebakaran hutan dan lahan berdampak luas pada kesehatan, perusakan ekosistem dan ekonomi seperti akses transportasi yang terganggu hingga berdampak luas pada polusi dan kabut asap lintas wilayah.
Indonesia juga masuk dalam daftar sepuluh negara dengan penyumbang emisi karbon, gas rumah kaca terbesar di dunia. Termasuk emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di tanah air sebesar 965,3 MtCO2e atau setara 2% emisi dunia. Mayoritas emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor energi. Masuknya Indonesia sebagai negara penyumbang emisi karbon bukan sesuatu yang mengejutkan.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan, Kementerian Perindustrian, Sony Sulaksono mengatakan bahwa industri otomotif hanya salah satu bagian dari banyaknya sektor yang menyumbang emisi karbon.
Ia mengatakan bahwa banyak sektor lain yang menyumbang lebih besar. Penyumbang emisi karbon di sektor industri otomotif menyumbang 21 persen sedangkan 47 persen justru berasal dari sektor energi, menurut saya merujuk pada data diatas bahwa presentase angka tersebut terbilang besar.
Jejak emisi karbon pribadi merupakan dampak yang ditinggalkan individu sebagai akibat dari pergerakan, mengkonsumsi makananan dan menggunakan sumber daya seperti energi sehingga kita perlu mengurangi jejak emisi karbon kita sendiri minimal kurang dari setengahnya. Para ahli mengatakan bahwa ini merupakan cara terbaik untuk memastikan bahwa suhu berhenti naik dan tidak mencapai ambang batas dua derajat celcius yang sangat ditakuti para peneliti dan diprediksi bisa terjadi.
Tentu kondisi ini akan memperburuk perubahan iklim dan mengubahnya menjadi masalah yang tidak bisa diperbaiki. Emisi karbon yang disebabkan oleh aktivitas pembakaran senyawa-senyawa yang mengandung unsur karbon. Untuk mengidentifikasi besaran emisi, maka diperlukan adanya pengukuran jejak karbon.
Mengambil istilah Ensiklopedia Britannica agar menguatkan argumentasi di atas maka jejak karbon merupakan jumlah emisi karbon dioksida (CO2) yang berkaitan dengan segala aktivitas seseorang atau entitas lain seperti bangunan, perusahaan, negara dan lain-lain.
Jejak emisi karbon berasal dari jejak ekologis yang merupakan ukuran dampak terhadap lingkungan yang dinyatakan sebagai jumlah lahan yang dibutuhkan untuk mempertahankan sumber daya alam. Konsep jejak karbon juga sering mencakup emisi gas rumah kaca lainnya, seperti metana, nitrous oxide atau chlorofluorocarbons (CFC) yang sering kita temukan dalam perangkat rumah tangga, seperti pemakaian air conditioner (AC), kulkas dan lain sebagainya.
Emisi karbon juga disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil di bidang manufaktur, pemanasan dan transportasi, serta emisi yang diperlukan untuk menghasilkan listrik untuk keperluan barang dan jasa yang dikonsumsi. Secara sederhana dapat kita identifikasi bahwa penggunaan perabotan listrik dan perangkat rumah tangga, gedung bertingkat maupun perkantoran menjadi salah satu penyebab jejak karbon pribadi.
Hal ini dapat berdampak pada perubahan iklim global, beberapa studi penelitian emisi karbon telah menarik perhatian para peneliti karena iklim global yang berubah dengan cepat. Para peneliti berhasil mengungkap bahwa emisi antropogenik dari satu triliun ton karbon cenderung menyebabkan peningkatan suhu global sebesar dua derajat celcius. Pertanyaan mendasar yaitu mengapa masalah ini menjadi penting?
Jejak karbon sulit dihitung secara tepat dan akurat dikarenakan pengetahuan yang buruk dan data yang singkat mengenai interaksi kompleks antara proses yang berkontribusi, termasuk pengaruh proses alami yang menyimpan atau melepaskan karbon dioksida (CO2). Jenis karbon merupakan sarana yang sangat penting untuk memahami dampak perilaku seseorang terhadap pemanasan global. Inilah sebabnya mengapa seseorang yang secara efektif ingin berkontribusi untuk menghentikan pemanasan global, setidaknya dalam skala individu perlu mengukur dan melacak jejak karbon pribadinya.
Dalam pengembangan energi terbarukan di daerah, seringkali berbenturan dengan masalah birokrasi, komunikasi bahkan sampai pada permasalahan ditahapan regulasi. Energi terbarukan yang adil dan berkelanjutan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan, seperti energi matahari, angin dan lainnya yang dikelola dengan berlandaskan nilai-nilai dan prinsip berkeadilan, berkedaulatan, akuntabel, transparan, berintegritas/anti-korupsi, mengutamakan kelestarian fungsi hidup bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya, menghormati keluhuran adat/tradisi budaya lokal, meningkatkan ketahanan penghidupan masyarakat serta mendukung upaya penanggulangan krisis iklim.
Pada akhir tulisan ini saya ingin menyampaian bahwa energi terbarukan bukan lagi menjadi sebuah pilihan melainkan keharusan karena energi fosil sudah sangat terbatas. Energi terbarukan kini harus memenuhi beberapa kriteria agar bisa disebut sebagai energi bersih dan berkeadilan. Jika kekayaan alam ini menjadi anugerah, maka tentu saja harus memenuhi kriteria dalam proses pemanfaatannya. Kita tidak bisa lagi bergantung dengan energi kotor ketika krisis iklim berlangsung semakin parah.
Transformasi energi adalah suatu keharusan demi keberlangsungan hidup bersama. Omong-kosong apabila kita menolak untuk melakukan transformasi energi dengan alasan biaya yang tidak ada. Perkembangan teknologi saat ini telah memungkinkan energi terbarukan untuk dibangun dengan biaya yang jauh lebih murah dari batubara. []