Mubadalah.id– Krisis lingkungan hari ini adalah tanggung jawab semua makhluk, baik laki-laki dan perempuan, tidak dibebankan kepada perempuan saja. Namun, dalam praktiknya, perempuan menjadi subjek terdepan dan selalu didorong untuk menjaga kelestarian lingkungan. Gerakan-gerakan konservasi alam berkelanjutan yang lahir dari akar rumput banyak berangkat dari cerita-cerita perempuan.
Seperti gerakan perempuan kendeng menjaga tanahnya yang kita kenal dengan kartini kendeng, Sekolah Pagesangan sebagai organisasi perempuan konservasi pangan lokal di daerah jawa tengah, kemudian perempuan memeluk pohon yang dimulai dari gerakan di India untuk melakukan perlindungan terhadap pohon-pohon yang ingin ditebang dan kita kenal dengan Chipko Movement.
Perempuan menjadi bagian dari narasi besar tentang perlindungan ekologi sebab kondisi kerentanannya yang sama. Membahas kerusakan lingkungan maka kita juga akan membahas kerentanan perempuan. Kondisi ini berangkat dari situasi ekonomi politik yang patriarkis, dimana akar dari kerusakan lingkungan adalah kapitalisme ekstraktif yang bias gender. Laki-laki menjadi penyebab utama dalam Pembangunan ekonomi dan politik yang cenderung tidak memerhatikan keberlanjutan alam dan kerentanan perempuan dan anak.
Bias gender dalam pembangunan ekonomi ini kemudian melahirkan narasi-narasi dukungan terhadap perempuan untuk menjaga lingkungan. Hal ini disebabkan oleh narasi-narasi ibu bumi, eksploitasi alam, dan perempuan yang berlangsung bersamaan.
Setelah itu, gerakan perlindungan lingkungan banyak dilakukan oleh perempuan di berbagai wilayah, baik gerakan perlawanan, gerakan konservasi, dan komunitas-komunitas organik lainnya. Narasi-narasi perempuan penggerak kelestarian lingkungan justru menghilangkan perspektif mubadalah dan pelibatan laki-laki dalam sistem gerakan perlindungan lingkungan.
Islam dan Kelestarian Lingkungan
Seharusnya pelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab semua manusia tanpa mengenal jenis kelamin. Narasi perlindungan lingkungan perlu kita bangun tanpa bias gender tertentu.
Bukan berarti tidak setuju dengan narasi-narasi perempuan dan lingkungan, namun ini bepotensi melalaikan laki-laki dan konsep mubadalah dalam pelestarian lingkungan. Ekonomi kapitalistik dan pembangunan yang patriarki perlu kita kritik dengan melibatkan laki-laki sebagai mayoritas subjek pembangunan saat ini.
Dalam Islam sendiri, khalifah di muka bumi yang bertanggung jawab dalam keberlanjutan umat manusia adalah laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan sama-sama perlu menginsafi tindakan-tindakan kerusakan lingkungan dan menjaga kelestarian kehidupan di bumi.
Sedangkan keberlanjutan kehidupan seluruh makhluk bergantung kepada kelestarian lingkungan dan bumi kita. Islam menganjurkan seluruh umat muslim, laki-laki dan perempuan, untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem.
Dalam kajian fiqh kontemporer pun juga muncul fiqh lingkungan yang membahas bagaimana anjuran-anjuran Islam kepada umatnya untuk ramah terhadap bumi dan menciptakan keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan bersama.
Fiqh lingkungan membahas pelarangan-pelarangan terhadap umat manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Landasan fiqh lingkungan adalah demi kemaslahatan umat manusia sesuai dengan maqasid as-syari’ah yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Membongkar Narasi Gerakan Lingkungan
Islam dengan jelas tidak membedakan perjuangan laki-laki dan perempuan dalam melindungi lingkungan dan ekologi. Islam pun melarang keduanya untuk melakukan kerusakan di muka bumi. Maka, narasi gerakan perlindungan lingkungan yang selama ini bias gender perlu kita narasikan ulang.
Narasi-narasi yang perlu menjadi counter adalah narasi tanpa membebankan satu jenis kelamin dalam perlindungan perempuan untuk menggerakkan laki-laki dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
Jika perspektif ekofeminisme mengatakan bahwa laki-laki sebagai pelaku utama pembangunan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, maka merebut pelaku kerusakan lingkungan menjadi bagian dari gerakan konservasi juga tidak kalah penting. Tanpa mengurangi gerakan perempuan sebagai penerima dampak paling besar atas terjadinya kerusakan lingkungan.
Narasi-narasi perempuan dan lingkungan juga perlu kita bongkar agar tidak menjebak perempuan itu sendiri dalam gerakan yang tidak memiliki ujung sementara ekstraktifisme patriarkis masih terus berlanjut.
Kita perlu skeptis melihat gerakan perempuan dan lingkungan sebagai narasi besar dengen melihat geliat kaum laki-laki dalam upaya kelestarian lingkungan. Karena laki-laki dan perempuan dapat melakukan upaya-upaya pelestarian lingkungan. Kita perlu bekerjasama dan membangun narasi mubadalah sebagaimana Islam sudah menugaskan kepada semua makhluk.
Siapa yang Paling Bertanggung Jawab?
Jadi, pertanyaan siapa yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan? Maka jawabannya adalah semua manusia, baik laki-laki, perempuan, dan jens kelamin lainnya. Krisis lingkungan berdampak kepada semua orang, terkhusus perempuan dan anak. Tetapi, terlepas dari siapapun yang paling terkena dampak, krisis lingkungan adalah tanggung jawab kita semua, tidak hanya perempuan.
Tujuan kemaslahatan dalam Islam akan kita peroleh bersama-sama jika kita upayakan secara bersama-sama. Sebagaimana fatwa KUPI, bahwa selain mejaga agama (hifdzud diin), menjaga jiwa (hifdhun nafs), menjaga akal (hifdhul ‘aql), menjaga keturunan dan martabat (hifdhun nasl wal ‘iradl), menjaga harta (hifdhul maal), manusia juga perlu menjaga alam dan lingkungan hidup (hifdhul bii’ah). Beberapa hal tersebut menjadi tanggung jawab kita semua. []