• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Jilbab, Stigma dan Standarisasi Keshalehahan Perempuan Muslimah

Secara subjektif, jilbab sebaiknya dipandang dalam bentuknya secara fungsional, yaitu misalnya sebagai pakaian kesopanan. Hal ini menjadi penting supaya masyarakat tidak kaget terhadap berita atau fenomena sosial yang menyangkut perempuan berjilbab

Irfan Hidayat Irfan Hidayat
19/04/2022
in Featured, Personal, Rekomendasi
0
keshalehahan perempuan

keshalehahan perempuan

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perbincangan mengenai jilbab selalu menjadi topik bahasan yang menarik. Beberapa diskusi hingga diskursus masih sering dilakukan di banyak organisasi, dan seolah menjadi topik pembahasan yang tak kunjung selesai. Apakah jilbab merupakan standarisasi keshalehahan perempuan?

Melihat hal ini, bagi penulis secara pribadi, yang tak kunjung selesai bukanlah perkara jilbab itu sendiri. Akan tetapi, sosial budaya dan cara berpikir masyarakatlah yang kemudian selalu mempersoalkan hingga menyebabkan perbincangan jilbab ini tidak kunjung selesai, apalagi jika dikaitkan dengan fenomena cadar.

Padahal, begitu banyak urgensi lain yang kemudian harus dibahas dan dikaji oleh umat Islam daripada sekedar membahas mengenai fenomena jilbab.

Terlepas dari definisi ’jilbab’ yang ditafsirkan oleh para ulama, dalam tulisan ini, penulis memposisikan jilbab dalam sebuah pengertian sederhana, yaitu kain yang biasa digunakan perempuan muslimah untuk menutup kepala, atau juga biasa disebut masyarakat dengan ‘kerudung’.

Jilbab juga biasa digunakan oleh perempuan muslim sebagai suatu tanda identitas seorang ‘perempuan muslimah’. Akan tetapi, dalam realitasnya, masyarakat acap kali memberikan doktrinasi ‘penggunaan jilbab’ sebagai suatu alat ukur tingkat keshalehahan seorang perempuan muslimah.

Baca Juga:

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Jilbab dan Realitasnya di Masyarakat

Dalam realitasnya di tengah masyarakat, terdapat euforia mengenai fenomena jilbab syar’i dan tidak syar’i yang hingga sekarang selalu diperbincangkan. Istilah ‘jilbab syar’i’ sering kali dikaitkan dengan penggunaan jilbab yang warnanya tidak mencolok, panjang, dan longgar.

Uniknya, hal itu kemudian jilbab memunculkan stigma di masyarakat bahwa yang perempuan berjilbab besar dan panjang serta longgar dianggap mempunyai tingkat keimanan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan yang makai jilbab lebih kecil atau dengan warna yang mencolok.

Padahal kita sebagai manusia tidak pernah tahu terkait tingkat keimanan seseorang, bahkan sangat tidak etis apabila kita menilai tingkat keimanan seseorang dari cara mereka mengenakan pakaian, dalam hal ini jilbab.

Tidak berhenti di situ, dari euforia tersebut kemudian muncul pengusaha jilbab yang menandai atau memeberi label beberapa produk jilbabnya dengan label syar’i dan jilbab tidak syar’i.

Kemudian, sempat muncul juga fenomena ‘artis hijrah’. Aktor layar kaca yang mulai menggunakan jilbab, belakangan ini disebut dengan fenomena ‘artis hijrah’. Mereka kemudian hadir dalam suatu talkshow, siaran infotainment, bahkan seminar dan memberikan kesan bahwa jilbab merupakan satu-satunya simbol hijrah.

Jika ‘hijrah’ diartikan masyarakat kita hanya sekedar suatu ‘simbol keagamaan’ secara kasat mata, dalam hal ini perempuan dan jilbabnya, maka bagaimana dengan kadar ruh, akal sehat, serta hati nurani?

Selain itu, realitas penggunaan jilbab ada juga yang karena tuntutan suatu instansi, seperti kampus Islam, Kantor, dan instansi lainnya. Misalnya, mahasiswi yang tidak pernah berjilbab saat duduk di bangku sekolah menengah, lalu memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kampus Islam yang mewajibkannya memakai jilbab, maka setuju atau tidak, mau tidak mau, harus mengikuti aturan kampus tersebut.

Penggunaan jilbab juga sering kita jumpai sebagai properti dalam sebuah  film. Misalnya, dalam sinetron atau film Indonesia yang banyak menampilkan figure perempuan berjilbab dengan lebih menunjukkan perempuan yang fundamental dan tidak mengikuti zaman.

Dalam sinetron Indonesia, kebanyakan perempuan yang memakai jilbab berperan sebagai perempuan yang shalehah, tetapi lemah dan tidak mampu mengambil keputusan. Mungkin tidak semua film Indonesia, tapi kemudian masyarakat secara perlahan terseret doktrin film semacam itu.

Dapat kita lihat juga dalam tayangan berita televisi, politisi perempuan yang menjadi tersangka korupsi atau kasus lain yang menjeratnya, kemudian hadir di persidangan dengan menangis dengan menggunakan kain kerudung yang ada di kepalanya.

Bahkan, fenomena politisi berjilbab sering kita temui juga pada masa kampanye pemilihan umum, baik di baliho, pamflet, atau tayangan media sosial. Terlepas dari apa motifnya, hal tersebut kemudiaan memunculkan komentar masyarakat dengan anggapan bahwa politisi tersebut layak untuk dipilih karena memakai jilbab yang menandakan keshalehahannya.

Jilbab hari ini mulai menjelma sebagai suatu ‘bahasa komunikasi publik’. Para politisi sering berpikir bahwa simbol-simbol agama seperti jilbab seseorang membuatnya menjadi tampak lebih shalih. Sehingga, layak mendapatkan banyak suara masyarakat dalam pemilihan umum, mengingat negara ini masih kuat dengan norma agamanya.

Akan tetapi, Fenomena tersebut juga terjadi dengan politisi laki-laki. sama halnya dengan politisi perempuan tadi, mereka tiba-tiba memakai baju koko, peci, sorban di pamflet atau baliho kampanye, atau bahkan ada yang lengkap dengan melampirkan foto kunjungan ke pesantren.

Jilbab Bukanlah Standarisasi Tingkat Keshalehan Perempuan

Dari beberapa realita diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa ukuran keshalehan seorang perempuan muslimah tidak bisa diukur dengan hanya dilihat pada simbol agama yang menempel pada dirinya. Begitu pun laki-laki, parameter keshalehannya juga tidak mudah untuk disimpulkan, sebab keduanya memiliki tolak ukur dari keshalehan itu sendiri.

Misalnya, ketika kita menemukan seorang perempuan yang berjilbab, kemudian melakukan kejahatan, baik itu dalam skala kecil atau besar, secara langsung yang menjadi perhatian masyarakat ialah jilbabnya. Seolah-olah perempuan yang menggunakan berjilbab tidak boleh luput dari kesalahan.

Secara subjektif, jilbab sebaiknya dipandang dalam bentuknya secara fungsional, yaitu misalnya sebagai pakaian kesopanan. Hal ini menjadi penting supaya masyarakat tidak kaget terhadap berita atau fenomena sosial yang menyangkut perempuan berjilbab. Apabila perempuan berjilbab ikut memberikan sumbangsih terhadap negara, maka hal tersebut dikarenakan mereka mampu mengambil perannya, dan bukanlah sebab dari jilbab yang digunakannya.

Sebaliknya, jika seorang perempuan berjilbab melakukan kesalahan ataupun kejahatan, maka hal itu merupakan kecacatan dari dirinya sendiri, bukan disebabkan jilbabnya. Kita mungkin tidak bisa mengubah realitas yang sudah terjadi di tengah masyarakat secara cepat, akan tetapi hal itu dapat kita mulai dari bagaimana pola pikir kita.

Apabila menurut perspektif kebanyakan masyarakat terkait jilbab diartikan sebagai suatu simbol keshalihahan seorang perempuan muslimah, maka seharusnya dapat meningkatkan kesadaran perempuan berjilbab untuk lebih memperbaiki diri. Hal tersebut juga berlaku untuk kaum laki-laki dengan peci, baju koko, sarung, dan simbol lainnya.

Sebagai seorang suami, penulis juga sering menyarankan istri untuk dapat menjadi seorang muslimah yang produktif, progresif, dan bertaqwa kepada Allah SWT selaku Tuhan tunggal dalam agama yang kami anut. Jangan sampai dengan menggunakan jilbab, ia membatasi diri untuk bergerak, seolah ruang geraknya menjadi lebih sempit, atau bahkan hanya fokus melakukan urusan domestik.

Bagi penulis, hal itu sangat penting. Mengingat begitu banyak mimpi istri penulis yang belum terrealisasi. Dengan statusnya sebagai seorang istri, atau sebagai seorang perempuan muslimah berjilbab, jangan sampai menjadi penghalang untuk mengejar mimpi. Hal ini juga mungkin bisa dilakukan di lingkup yang lebih luas di tengah masyarakat, supaya jilbab tidak lagi dijadikan suatu stigma atau bahkan standarisasi tingkat keshalihahan seorang perempuan muslimah. []

Tags: JilbabMuslimahpakaianperempuanstigma
Irfan Hidayat

Irfan Hidayat

Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version