Mubadalah.id – “Postur tubuhmu jelek sekali, bungkuk!” kata salah seorang terdekatku. Aku mencoba tersenyum meskipun hati bagai teriris. Aku tidak tersinggung dikatai bungkuk, karena akupun mengetahuinya. Tapi ada cerita mengapa aku bungkuk, cerita yang mungkin membuat dokter orthopedi geleng-geleng kepala. Ini berkaitan dengan pengalaman tubuhku.
Salah satu fase yang luar biasa membingungkan dalam hidup manusia adalah pubertas. Selain perubahan mood dan kecenderungan memberontak, masa remaja tertandai dengan perubahan fisik. Perubahan yang menonjol dari anak perempuan adalah menstruasi, pinggul melebar, dan payudara membesar. Perubahan tersebut juga aku rasakan, namun aku merasa malu dengan perubahan itu, terutama tumbuhnya payudara.
Awalnya, tidak ada perubahan drastis yang kurasakan selain harus lebih berhati-hati saat berlari, melompat, dan bersepeda kencang melewati polisi tidur karena payudaraku mulai terasa sakit. Tetapi, bukan itu masalahnya. Aku justru terganggu dengan kasak-kusuk yang kudengar dari laki-laki di sekitarku. Aku merasa tidak nyaman dengan arah pandangan mata serta tawa kecil mereka. Rasa tidak nyaman itu lambat laun justru menjadi perasaan jijik pada tubuhku sendiri.
Fungsi Jilbab
Aku teringat pernyataan mentorku yang menyatakan “Itulah fungsi jilbab, untuk melindungi perempuan dari tatapan laki-laki penuh nafsu terhadap tubuh mereka.” Jilbab yang diperdebatkan mulai menyeruak. Karena itulah, maka kujulurkan jilbabku menutupi dada. Namun, rasa jijikku tidak hilang. Aku tetap menunduk, dan tidak nyaman dengan tatapan laki-laki saat berpapasan denganku. Kuasumsikan mereka semua tidak sabar untuk menghakimi tubuhku.
Terlebih, saat aku mendapatkan konfirmasi dari murid laki-laki di kelasku tentang bagaimana mereka membicarakan tubuh prempuan. Terlalu hitam, terlalu putih, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu tinggi, terlalu pendek, tiada habisnya aku mendengar mereka bergosip tentang tubuh Perempuan, terkhusus para murid Perempuan di sekolah.
Meskipun semua murid perempuan di sekolahku berjilbab, tapi tanpa melihat pun ternyata mereka masih bisa tergelak membicarakan sambil membayangkan tubuh perempuan di balik balutan kain.
Aku marah. Mentor pengajianku berbohong. Ternyata juga Jilbab tidak melindungiku, entah dari tatapan laki-laki maupun rasa jijikku terhadap tubuhku sendiri. Selama menyimpan kemarahan itu, tanpa sadar kebiasaanku berjalan menunduk untuk menghalangi tatapan orang lain dari dadaku membuat postur tubuhku bungkuk.
Timbul ketidakpuasan dalam diriku. Narasi agama yang selama ini dijejalkan padaku tidak sinkron dengan apa yang telah kualami. Maka aku memulai perjalanan mencari tafsir yang berbeda.
Merantau
Ketika merantau untuk kuliah, aku mengambil berbagai kesempatan yang dulu tidak kudapatkan. Aku menghadiri berbagai forum diskusi, berjumpa dengan berbagai macam orang, dan terlibat dalam berbagai komunitas. Salah satu topik yang selalu antusias kuikuti adalah Perempuan dan Keadilan gender.
Melalui berbagai diskusi dan rekomendasi referensi, aku berusaha untuk semakin memahami diriku sebagai perempuan. Aku tidak menyangka bahwa keresahanku rupanya merupakan tema yang cukup sering terbahas: Tubuh Perempuan.
Tafsir Tentang Tubuh Perempuan dan Pemaknaan Jilbab
Ada dua dalil yang biasa kita jadikan dasar berjilbab, pertama, QS An-Nur:31
“Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”
Kedua, QS Al-Ahzab:59
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu…”
Dalil pertama memunculkan bahasan tentang apa yang kita sebut dengan “aurat”. Perbedaan pendapat tentang aurat muncul Ketika ulama menafsirkan kalimat “apa yang biasa nampak dari tubuh perempuan”. Redaksi inilah yang menjadi titik perbedaan karena batasan apa yang tampak berbeda-beda menurut masing-masing ulama.
Konsekuensinya, busana perempuan yang kita anggap sesuai aturan agama akan berbeda pula. Ada yang tidak menutupi rambutnya karena rambut dianggap sebagai bagian tubuh yang biasa tampak. Lalu ada yang menggunakan kain untuk menutupi rambut tapi membiarkan wajah karena yang demikian tidak termasuk aurat.
Ada yang menjulurkan kain hingga menutupi seluruh wajah, tangan dan kaki, karena bagian tubuh tersebut kita pandang sebagai aurat.
Jika yang menjadi pokok bahasan pada dalil pertama adalah batas bagian tubuh perempuan yang boleh terlihat, maka dalil kedua memantik pembahasan mengenai alasan berjilbab. Sama seperti mentorku, banyak orang menjadikan “perlindungan diri dari hawa nafsu” sebagai alasan terkuat untuk perempuan mengenakan jilbab.
Benarkah demikian?
Jika kita cermati, ayat yang menjadi dalil kedua kita buka dengan seruan, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri orang-orang mukmin…” seruan ini dapat mengantarkan kita pada pertanyaan, apakah seruan untuk menjulurkan kain (berjilbab) ini berlaku khusus untuk perempuan mukmin pada masa itu atau sepanjang masa?
Lanjut di ayat setelahnya, “… agar mereka mudah dikenali dan tidak diganggu” menggiring kita pada pertanyaan selanjutnya yaitu apakah dengan demikian perempuan yang tidak menjulurkan kain sebagai “tanda pengenal” layak kita ganggu?
Dalam menafsirkan dalil, konteks sosio-historis menjadi salah satu hal yang harus kita perhatikan. Mengapa ini penting? Karena umat Islam di seluruh dunia tidak berwajah tunggal, sehingga hal yang kita anggap biasa, umum, atau normal bisa sangat bervariasi.
Bisa saja suatu kelompok tidak punya larangan menampakkan bagian tubuh tertentu atas dasar kesopanan, tetapi tetap melakukannya untuk melindungi tubuh mereka dari musim dingin di daerahnya. Ada banyak dimensi mengapa sesuatu bisa kita anggap normal atau tidak normal bagi masyarakat tertentu.
Mempertimbangkan konteks sosio-historis berarti bersedia membuka diri untuk menangkap hikmah dari suatu anjuran atau larangan, alih-alih menerimanya begitu saja. Sebagai contoh, dalil kedua turun dalam masyarakat yang masih mempraktikkan perbudakan.
Busana kemudian menjadi salah satu tanda untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan budak. Maka, diharapkan, orang menjadi segan atau takut mengganggu perempuan yang berjilbab.
Aku Masih Berjilbab
Bagaimana dengan konteks sekarang di mana perbudakan dianggap sebagai kejahatan? Bukankah perbedaan perlakuan atas dasar busana malah bisa kita pandang sebagai tindakan diskriminatif? Kita terlalu sibuk mendiskreditkan tubuh perempuan sehingga lupa mengkritik sistem yang mengondisikan penghinaan terhadap tubuh perempuan itu sendiri.
Kesadaran kita belum beranjak dari “perempuan secara default pantas diganggu dengan pengecualian tertentu” dan pengecualian itu berupa status sosial, ekonomi, agama. Apakah ini hikmah yang hendak tersampaikan dari dalil tersebut?
Aku masih berjilbab. Aku masih bungkuk. Tapi ada yang berubah dariku, yaitu soal pemaknaan tubuhku dan jilbab. Aku berjilbab tidak lagi untuk menutupi rasa jijik dengan tubuhku, tidak pula untuk merasa lebih mulia atau berbeda dari yang lain.
Jilbab kumaknai sebagai simbol perjuangan sebagai perempuan yang berusaha memahami dirinya sendiri. Aku mengenakan jilbab dengan kesadaran, bahwa keputusanku ini memiliki banyak lapisan dan perdebatan yang panjang. []