• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Kambing, Hujan dan Guyonan NUMU; Sebuah Refleksi atas Novel Kambing dan Hujan

Ria AS Ria AS
23/07/2020
in Sastra
0
novel, kambing dan hujan
114
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Ada alasan tersendiri mengapa Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan menjadi salah satu novel favorit saya : karena buku ini membuat saya tertawa tanpa henti selama perjalanan pulang pergi menuju bandara Juanda. Saya tertawa membaca dialog-dialog yang dibuat penulis tentang “MU vs NU”.

Tidak. Novel ini tidak sedang membicarakan klub sepakbola, tapi sedang membicarakan dua ormas islam terbesar di Indonesia yang sering berselisih paham. Untuk efisiensi di tulisan ini, saya menghilangkan kata ‘vs’ dan membuat istilah NUMU.

Novel pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014 ini bercerita tentang kisah cinta antara Fauzia dan Miftah. Dua anak muda yang berasal dari desa yang sama namun dari ormas yang berbeda, yaitu NUMU. Keduanya merupakan putra dari dua orang paling penting dari NUMU yang disimbolkan dengan adanya dua masjid di desa tersebut, yaitu Masjid Utara dan Masjid Selatan.

Bisa diduga, perjalanan mereka menuju jenjang pernikahan menjadi tidak mudah karena perbedaan tersebut. Tapi justru karena keduanya jatuh cinta, akhirnya membuka cerita lama yang tidak terduga tentang persahabatan antara ayah Fauzia dan ayah Miftah.

Awalnya, saya ilfil dengan judul novel ini. Kambing dan Hujan. Judulnya mengingatkan saya pada buku best seller pertama karya Raditya Dika, yaitu Kambing Jantan. Tapi setelah menamatkan novel ini, saya jadi tahu benang merahnya.

Baca Juga:

Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

Kambing, adalah awal mula kisah antara Moek dan Is (ayah Fauzia dan ayah Miftah) yang menjalin persahabatan sejak kecil karena mereka sama-sama mengembala kambing. Hujan, adalah harapan Fauzia dan Miftah yang kandas untuk merayakan lebaran Idul Fitri pada hari yang sama karena perbedaan metode penentuan 1 Syawal di antara NUMU.

Novel ini merupakan miniatur dari konflik-konflik yang terjadi ketika Islam yang sudah ada di Indonesia dianggap masih menyimpang sehingga memunculkan gerakan pembaharu yang berusaha mengembalikan keislaman yang benar versi mereka. Konflik-konflik yang terjadi antara kelompok tetua di desa dan anak muda pembaharu diceritakan dengan ringan namun mengena. Dialog-dialog, guyonan, dan sindiran ala NUMU disajikan dengan tepat sasaran.

Tidak berat dan menegangkan seperti perdebatan-perdebatan yang saya ikuti di media sosial. Mungkin untuk pembaca yang tidak mengenal baik dua ormas ini dan tidak biasa menghadapi masalah-masalah perbedaan yang biasa diperdebatkan antara NUMU, akan kebingungan untuk menemukan dimana letak sisi kocak dari buku ini. Tapi untuk saya yang besar dilingkungan NU dan sempat mencecap pendidikan ala pesantren, tradisi-tradisi dan kitab-kitab yang disebutkan di buku ini membuat saya kembali bernostalgia.

Novel ini diakhiri dengan happy ending. Seperti harapan semua orang. Mereka menikah namun perbedaan di antara NUMU selalu tetap ada. Penulis berusaha menyajikan cerita dari sudut pandang berimbang antara NU dan MU. Novel ini membuat saya berfikir kembali tentang banyak hal yang membuat saya merasa menjadi anak NU yang durhaka selama ini.

Saya kadang menganggap beberapa hal di NU sudah tidak menarik untuk orang seperti saya. Saya teringat suami dan keluarganya yang begitu bersemangat menjaga nyala semangat NU di Batang. Saya teringat pertanyaan pada ayah saat saya masih remaja dulu , “Yah, kita ini NU apa Muhammadiyah?” Dan walaupun tercatat sebagai pengurus NU ranting Tambak beras, ayah saya menjawab : kita adalah orang Islam.

Saya tertegun waktu itu dengan jawaban beliau. Ayah juga langsung menyetujui ketika adik saya diterima di Universitas Muhammadiyah Malang. Ayah saya menganggap bahwa ini adalah saat yang tepat bagi adik saya untuk belajar agama (meskipun berbeda dengan kakaknya di pesantren) karena selama ini adik saya tidak pernah mau mondok dan belajar ngaji. Ah, betapa saya bersyukur memiliki ayah seperti beliau ketika menuliskan ini.

Novel ini mengajarkan saya dua hal. Pertama, bagaimanapun, sesuatu yang datang lebih dulu dianggap salah oleh sesuatu yang datang belakangan. NU mungkin dianggap salah oleh MU, lalu sekarang NUMU mungkin dianggap salah oleh ormas islam yang datang belakangan dan booming akhir-akhir ini. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Mungkin, berpuluh tahun lagi, akan ada ormas Islam yang menyalahkan semua ormas Islam di Indonesia saat ini. Kedua, saya mengutip kalimat di dalam buku ini “cara itu sama pentingnya dengan tujuan”. Jadi, kalau kita menyuguhkan kopi kepada orang lain dengan menyiramkan kopi di mukanya, maka niat kita untuk menyuguhkan kopi akan berubah menjadi ajakan untuk berkelahi.

Akhirnya, sampai juga saya pada bagian paragraf sejenis ‘pesan moral’ pada tulisan ini. Sebagai anak muda labil yang lebih suka update status dan upload foto daripada memperdalam ilmu agama, saya sering menganggap perdebatan di antara NUMU sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Daripada berdebat tentang penggunaan qunut di sholat subuh, mending mencari cara agar generasi muda NUMU malas seperti saya bisa sholat subuh tepat waktu dan tidak bercampur menjadi solat subha alias subuh dhuha.

Atau bagaimana agar generasi muda NUMU tidak lagi suka sembarangan nge-share berita dan pelajaran agama dari media dan situs yang tidak jelas kebenarannya. Atau bagaimana cara agar NUMU bergandengan tangan dalam menghadapi kekerasan-kekerasan atas nama agama yang sedang marak saat ini.

Oiya, saya lupa satu hal. Saya hampir tidak menemukan buku ini ketika saya mencari novel ini pada rak novel sastra di salah satu toko buku di Malang. Dengan bantuan komputer toko, saya tertawa ketika akhirnya menemukan buku ini pada rak yang tidak saya duga : rak novel Islami. Setelah membacanya, saya jadi sadar mengapa toko buku tersebut mengelompokkan novel ini pada rak novel islami : ini adalah novel tentang Islam di Indonesia terbaik versi saya. Saya merekomendasikan novel ini untuk kalian yang ingin memahami perbedaan di antara NUMU dengan cara yang lebih asyik dan kekinian. []

Ria AS

Ria AS

Terkait Posts

Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Tidak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

11 Mei 2025
Tak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

4 Mei 2025
Kartini Tanpa Kebaya

Kartini Tanpa Kebaya

27 April 2025
Hujan

Laki-laki yang Menjelma Hujan

13 April 2025
Negara tanpa Ibu

Negara tanpa Ibu

23 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyusui Anak dalam Pandangan Islam
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version