• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Kawin Anak dalam Perspektif Islam

Kawin Anak jelas fenomena lama yang telah berlangsung selama berabad-abad. Bahkan jauh sebelum Islam hadir. Dalam sebuah sistem sosial patriarki garis keras yang meletakkan perempuan sebagai objek, perempuan adalah milik mutlak ayah selama belum menikah.

Nur Rofiah Nur Rofiah
26/02/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Kawin Anak

Kawin Anak

119
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Saya ingat kadang dia gendong saya sepulang sekolah. Kadang juga kasih uang jajan. Setelah agak besar saya baru tahu bahwa dia ternyata adalah suami saya.” Ini adalah testimoni salah satu narasumber tentang kawin anak yang dialaminya saat masih SD saat saya dan Ibu Kustini Kosasih melakukan penelitian tentang nikah di bawah umur.

Mendengar pengalaman perempuan-perempuan dewasa yang dulu mengalami dipaksa menikah di usia sangat muda, rata-rata masih SD, ini rasanya campur aduk. Ada yang mengalami nikah berkali-kali di bawah umur dengan suami bukan pilihan sendiri. Dipaksa nikah, ditelantarkan atau diceraikan secara sepihak, kemudian dinikahkan lagi hingga akhirnya punya beberapa anak dengan bapak berbeda dan semua anak dia asuh sendiri tanpa bantuan para mantan suami.

PERBEDAAN DAMPAK

Perkawinan bisa memberikan dampak biologis yang berbeda pada laki-laki dan perempuan. Dinikahkan di usia berapapun laki-laki tidak akan mengalami hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Sebaliknya perempuan sangat mungkin mengalaminya. Kawin anak memberikan dampak berbeda atas kualitas kesehatan reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

Demikian pula dampak secara sosial. Kewajiban memberi nafkah bagi laki-laki sangat mungkin diwakilkan pada ayah atau kerabat laki-laki lainnya. sementara hamil, melahirkan, dan nifas yang dipandang sebagai kewajiban istri tidak mungkin diwakilkan oleh siapapun.

Baca Juga:

Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Tafsir Sakinah

Karenanya, laki-laki bisa tetap sekolah saat terpaksa kawin anak. Bahkan bisa melanjutkan hingga jenjang pendidikan tertinggi, sedangkan perempuan pada umumnya putus sekolah karena mesti hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui secara berkali-kali. Kawin anak selanjutnya bisa memberikan dampak pada daya saing keduanya dalam bursa kerja, terutama sektor yang menghendaki pendidikan formal.

Perbedaan dampak kawin anak semakin signifikan jika terjadi antara laki-laki dewasa yang dengan kemauannya sendiri menikahi anak perempuan yang dipaksa nikah oleh ayahnya. Sementara, al-Qur’an sendiri menggambarikan pengalaman beruntun ini sebagai sesuatu yang memayahkan (kurhan) dan sakit/payah/resiko yang berlipat-lipat (wahnan ala wahnin).

Perempuan dewasa yang hamil karena suami yang sangat dicintainya bahkan hamil anak yang sudah lama sangat dinantikannya pun bisa mengalami kurhan dan wahnan ala wahnin. Apalagi jika dialami oleh perempuan yang masih berusia anak-anak, hamil karena laki-laki yang tidak dikehendakinya sebagai suami, dan usia anak menyebabkannya sama sekali belum menginginkan punya anak?

Pertanyaannya, bukankah kemaslahatan Islam juga ditujukan pada perempuan? Apa pandangan Islam atas tindakan yang bersifat mutual atau meniscayakan keterlibatan laki-laki dan perempuan seperti perkawinan ini saat ia tidak berdampak buruk (mafsadat) pada laki-laki, sedangkan ia berdampak buruk bahkan berbahaya (mudlarat) bagi perempuan?

SEJARAH

Kawin Anak jelas fenomena lama yang telah berlangsung selama berabad-abad. Bahkan jauh sebelum Islam hadir. Dalam sebuah sistem sosial patriarki garis keras yang meletakkan perempuan sebagai objek, perempuan adalah milik mutlak ayah selama belum menikah.

Setelah menikah, mereka adalah milik suaminya. Jika suami meninggal, perempuan adalah milik anak atau kerabat lelaki yang mewarisi dari suaminya. Perkawinan dengan demikian dimaknai sebagai perpindahan hak milik mutlak atas seorang perempuan dari ayah kepada suami dengan nilai ekonomi tertentu yang disepakati sebagai sebuah mahar.

Laki-laki sebagai pemilik perempuan secara sosial mempunyai hak untuk menjualnya. Muhammad Haikal dalam Hayah Muhammad menyebutkan bahwa Imperium Romawi pernah memiliki UU yang membolehkan ayah menjual anak perempuan kendungnya. Prof M. Qurais Syihab dalam kata pengantar Argumen Kesetaraan Gender al-Qur’an milik Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA menyebutkan bahwa Inggris baru menghapuskan UU yang membolehkan suami menjual istrinya pada awal abad 19.

Perempuan selama berabad-abad diyakini oleh banyak bangsa, bahkan bangsa maju, sebagai harta laki-laki. Laki-laki tidak hanya bisa menjual, melainkan juga mengeksploitasi seksual perempuan yang menjadi miliknya, baik mengeksploitasi secara langsung dengan persetubuhan sedarah maupun secara tidak langsung dengan melepaskan kepemilikannya pada laki-laki lain antara lain melalui perkawinan. Bahkan saat perempuan belum mengalami haid yang pertama.

Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens menggambarkan tiga nasib mengenaskan yang bisa dialami perempuan dalam kondisi seperti ini saat mengalami kekerasan seksual. Pertama, meyakini adanya marital rape (perkosaan dalam perkawinan) atau mengatakan suami memperkosa istri itu sama anehnya dengan mengatakan suami mencuri uang dari dompetnya sendiri.

Kedua, memperkosa perempuan yang tidak punya pemilik (tidak punya ayah, suami, atau kerabat laki-laki) tidak dipandang sebagai kejahatan karena dipandang serupa dengan menemukan koin yang jatuh di jalan. Ketiga, jika seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan yang dimilikinya, tindakan ini dipandang sebagai kejahatan atas lak-laki yang memilikinya, bukan atas perempuan yang menjadi korban perkosaan. Serupa dengan orang yang merusak kendaraan orang lain adalah kejahatan atas pemilik kendaraan, bukan atas kendaraan itu sendiri.

Dalam masyarakat yang masih meletakkan perempuan sebagai objek/benda bukan sebagai subjek/manusia tentu saja kawin anak sangat lazim terjadi. Demikan pula perceraian sehingga menyebabkan anak-anak telah berstatus janda. Barangkali fenomena ini serupa dengan fenomena orang yang suka mangga lalu memetiknya dari pohon atau membelinya dari penjual padahal masih sangat muda atau belum matang sama sekali. Seteah dimakan ternyata belum enak sehingga dia lepehkan. Segitu doang perempuan dihargai.

Pada abad 7 Masehi saat Islam hadir, kondisi semacam ini lazim terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Jazirah Arabia. Kok tau?? Ayat-ayat tentang perbudakan manusia, penguburan bayi perempuan hidup-hidup, larangan menjadikan perempuan sebagai warisan, dan larangan persetubuhan inses, iddahnya perempuan yang belum haid, dll mengisyaratkan hal ini dengan sangat kuat sekali.

Lalu bagaimanakah Islam merespon tradisi kawin anak? Apa implikasi dari deklarasi Islam atas kemanusiaan perempuan pada kawin anak? Bagaimana Islam membangun konsep perkawinan? Apa saja perubahan revolusioner yang diperkenalkan dan bagaimana dampaknya pada kawin anak? Bagaimana memahami ayat tentang iddahnya perempuan yang belum haid?

Apa makna frasa hatta idzaa balaghunnikah pada surat an-Nisa dan hubungannya dengan nikah anak? Apa pula status sanad dan matan hadis tentang usia Aisyah saat menikah dengan Rasulullah Saw? Mengapa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memutuskan bahwa hukum mencegah perkawinan yang membahayakan anak dalam perwujudan kemaslahatan keluarga sakinah adalah wajib? Semua akan terjawab pada Ngaji KGI #6 Nikah Anak Perspektif (Keadilan Hakiki Perempuan dalam) Islam,  Jumat, 26 Februari 2021, Jam 19.00 wib. []

Tags: islamKongres Ulama Perempuan Indonesiaperkawinan anakulama perempuan
Nur Rofiah

Nur Rofiah

Nur Rofi'ah adalah alumni Pesantren Seblak Jombang dan Krapyak Yogyakarta, mengikuti pendidikan tinggi jenjang S1 di UIN Suka Yogyakarta, S2 dan S3 dari Universitas Ankara-Turki. Saat ini, sehari-hari sebagai dosen Tafsir al-Qur'an di Program Paskasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, di samping sebagai narasumber, fasilitator, dan penceramah isu-isu keislaman secara umum, dan isu keadilan relasi laki-laki serta perempuan secara khusus.

Terkait Posts

Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID