Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu dilansir dari kompas.com, di sebuah pedesaan negara bagian New South Wales, Australia, Felicity Bourke menceritakan kekejaman James Davis, mantan pacarnya. Laki-laki yang dipanggil “master” ini diketahui memiliki 6 perempuan yang dijadikan budak seks. Felicity pun juga menjadi korban dari perbudakan seks dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan pacarnya tersebut.
Diceritakan oleh Felycity, ia mengalami berbagai kekejaman terhadap dirinya. Mulai dari terkurung di sangkar besi dengan kalung baja di lehernya, yang menyebabkannya tidak bisa melakukan tindakan apapun untuk melawan Davis. Dalam keadaan tersebut, ia mengalami trauma luar biasa, gangguan psikologis yang amat besar terhadap kesehatan mentalnya.
Beberapa waktu silam, Davis ditahan oleh Polisi Federal Australia (AFP) dengan tuduhan melakukan perbudakan, seperti yang dilansir dari ABC Indonesia pada Selasa (16/3/2021). AFP dapat bergerak setelah program ABC Four Corners dan ABC Investigations memberikan informasi dari penyelidikan selama lima bulan. Ratusan foto, video, dokumen, dan informasi lebih dari puluhan orang perempuan menggambarkan tindak kekerasan dan sisi gelap James Davis terhadap perempuan yang menjadi korban.
Keberanian Felicity mengungkap kejahatan tersebut perlu diapresiasi oleh publik. Sebab kesadaran tersebut lahir dari empati yang ia miliki atas tindak kejahatan Davis, agar tidak semakin banyak perempuan yang menjadi korban predator seks. Tidak banyak perempuan seperti Felicity yang berani speak-up untuk menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya. Selain menanggung beban menjadi korban, respon masyarakat turut menjadi bagian dari kehidupannya.
Kisah Felicity belum sebanding dengan apa yang terjadi di Australia beberapa waktu terakhir ini. Munculnya dugaan pemerkosaan yang terjadi di gedung parlemen pemerintah Australia, melahirkan asumsi dan tuduhan bahwa gedung parlemen tidak ramah terhadap pekerja perempuan. Kekerasan seksual yang terjadi memicu berbagai respon masyarakat.
Hal ini terbukti pada tanggal 15/03/21 terjadi aksi protes besar-besaran dalam rangka menentang kekerasan seksual dan ketidaksetaraan gender di Canberra, ibu kota Australia. Dengan mengenakan kaos hitam yang tertulis “enough enough” nyatanya menjadi pesan amat mendalam dari para perempuan yang hadir pada aksi tersebut. Mereka menuntut pemerintah untuk lebih responsif tehradap kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan.
Memperkuat Undang-Undang, Jalan Keluar Penanganan Kasus Kekerasan
Salah satu hal yang bisa disoroti dari aksi yang digencarkan oleh para demonstran di Canberra, Australia, mereka menuntut penguatan undang-undang diskriminasi seks. Kenyataan tersebut berbanding lurus dengan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kasus kekerasan terhadap perempuan yang tinggi. Dilansir dari Catahu Komnas Perempuan pada tahun 2020 kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 299.911 kasus.
Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan yang dapat dirinci, yakni kasus yang paling menonjol adalah di ranah personal (RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31%) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1.983 kasus (30%), psikis 1.792 (28%), dan ekonomi 680 kasus (10%).
Ranah Publik atau Komunitas sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus.
Pertanyaan yang muncul, mengapa harus memperkuat undang-undang? Sebab di negara hukum, undang-udang/aturan merupakan kekuatan utama untuk menerapkan sebuah kebijakan dengan berbagai kejadian yang dialami oleh masyarakat.
Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, juga untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Undang-undang dikatakan pula sebagai sekumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita pahami bahwa mengapa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi penting untuk segera disahkan sebagai undang-undang yang mengikat masyarakat. Hal ini karena persoalan-persoalan yang sifatnya genting dan menyangkut hajat kehidupan orang banyak, harus segera diselesaikan dan diutamakan. []