• Login
  • Register
Selasa, 8 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kemurnian Cinta Ibu

Ibu mencintai anak-anaknya bukan karena untuk kepuasan bagi dirinya melainkan seluruhnya untuk kebahagiaan anak-anaknya. Ibu tak meminta balasan apa pun pada anak-anaknya. Ia mencintai anak-anaknya tanpa pamrih dan memberikan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk kebahagiaan anaknya.

Rizki Eka Kurniawan Rizki Eka Kurniawan
01/03/2021
in Personal
0
Cinta Ibu

Cinta Ibu

259
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bagi yang gemar mempelajari psikologi mungkin tak asing lagi dengan Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis asal Austria yang mengembangkan teori bahwa prilaku manusia didasari oleh hasrat seksual (eros) yang disublimasi ke dalam bentuk lain. Berdasarkan teori tersebut Freud berpandangan bahwa tidak ada cinta murni, semua cinta selalu berujung pada pemenuhan hasrat seksual.

Satu-satunya cinta murni hanyalah cinta ibu kepada anaknya. Katanya: “Pada ibu dan anaklah dikatakan cinta murni, karena cinta seorang lelaki terhadap seorang perempuan dan begitu pula sebaliknya, walau bagaimana halusnya susunan kata yang diucapkan, maksudnya hanya satu, yaitu nafsu birahi.”

Tapi kali ini yang akan kita bahas bukanlah teori-teori psikoseksual Sigmund Freud yang menjadi perdebatan banyak ilmuwan dan  manjadi kontroversi dalam dunia keilmuan, melainkan sesuatu yang dianggap oleh Freud sebagai cinta murni—cinta ibu kepada anaknyalah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

Tak hanya Freud, seorang psikologi-sosial asal Jerman, Erich Fromm yang menggemari karya-karya Freud juga menyatakan kalau cinta ibu adalah cinta tanpa syarat. Ibu mencintai anak-anaknya bukan karena untuk kepuasan bagi dirinya melainkan seluruhnya untuk kebahagiaan anak-anaknya. Ibu tak meminta balasan apa pun pada anak-anaknya. Ia mencintai anak-anaknya tanpa pamrih dan memberikan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk kebahagiaan anaknya.

Hal ini berbeda dengan cinta ayah yang bersyarat. Cinta ayah bergantung pada prestasi dan prilaku baik anak-anaknya. Ayah akan mencintai seorang anak yang paling menyerupainya, yang diharapkan bisa mewariskan harta, moral, integritas dan karakter kepribadiannya pada kehidupan sosial.

Baca Juga:

Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis

Kasih Sayang Seorang Ibu

Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

Surat yang Kukirim pada Malam

Fromm juga menegaskan pendapatnya, menurutnya cinta ibu adalah ampunan dan kasih yang tak akan hilang karena perbuatan dosa dan tak akan bisa diraih karena perbuatan baik. Sedangkan cinta ayah adalah keadilan yang bisa hilang karena perbuatan dosa anak namun bisa kembali dengan bertobat dan memperbarui kepatuhan.

Cinta ibu memelihara dan mendewasakan anaknya yang berarti ia harus mengalami keterpisahan demi kemandirian dan kebahagiaan anaknya. Berbeda dari cinta lainnya yang cenderung untuk saling bersatu. Dalam semua kajian mengenai eksistensi manusia, keterpisahan adalah satu hal yang menyakitkan dan sangat dihindari agar mendapatkan kenyaman, ketentraman, ketenangam dan kebahagiaan di kehidupan

Namun dalam cinta keibuan, seorang ibu harus rela merasakan keterpisahan dengan anaknya saat anaknya telah beranjak dewasa. Ibu harus rela berpisah dengan anaknya demi kebahagiaan, kemandirian dan kedewasaan anaknnya dalam menjalani kehidupan.

Tak hanya manusia kasus semacam ini juga terjadi pada binatang, seekor kucing yang baru melahirkan akan merawat anaknya hingga memiliki usia yang cukup besar. Ibu kucing akan menyususi anaknya sampai sang anak bisa mencari makanan sendiri. Setelah sang anak telah dewasa, ibu kucing tersebut lantas tak akan lagi menyusui anaknya, bahkan ia akan meninggalkan anaknya agar si anak kucing bisa mandiri dan menghidupi dirinya sendiri.

Puncak dari cinta keibuan adalah keterpisahan untuk satu tujuan yaitu kedewasaan. Ibu mengalami kesakitan demi kesakitan ketika mencintai, mulai dari saat melahirkan sampai berujung pada keterpisahan. Bahkan setelah anaknya menikah sebagian besar kasih sayang anaknya akan dicurahkan kepada kekasihnya dari pada ibunya, meskipun ibu adalah orang yang telah merawatnya hingga dewasa.

Ibu rela mengobarkan nyawa saat melahirkannya, ia memberikan kehidupan bagi anaknya, merawat, menumbuhkan dan mendewasakannya hingga akhirnya anaknya bisa hidup secara mandiri. Ia rela tidak makan asalkan anaknya makan, ia rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya. Meskipun dari situ ia tak memperoleh kebahagiaan apa pun selain dari pada kebahagiaan untuk melihat anaknya bahagia.

Cinta ibu yang tanpa syarat pernah aku alami sendiri di kehidupan. Suatu hari aku pernah gagal dalam mencapai sesuatu dan ibuku berpesan demikian padaku “Nak kalau nanti kamu tidak menjadi apa-apa ibu tidak masalah, melihatmu saja ibu sudah bahagia”. Mendengar itu hatiku benar-benar terenyuh bercampur perasaan sedih dan terharu. Pasalnya tidak mungkin ada orang yang bisa berbicara demikian, semua orang pasti ingin mendapatkan imbalan atas perjuangannya membesarkan anak.

Tapi dengan penuh kasih dan ketabahan seorang ibu bisa selalu menerima anaknya dalam segala kondisi bahkan ketika anaknya tak memenuhi harapannya, ibu tetap mencintainya dan tetap bangga terhadap anaknya. Hanya cinta ibu yang memiliki kemampuan untuk memberikan segalanya dan tidak menghendaki apa-apa kecuali kebahagiaan orang yang dicintainya.

Ini menjadi sebab, kenapa di dalam Islam keberadaan seorang ibu sangat dihargai dan ditempatkan pada posisi tinggi. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kepada siapa saja dia harus berbakti. Lalu Rasulullah menjawab menjawab nama ibu sebanyak tiga kali sementara ayah hanya satu kali.

Sayiddina Ali bin Abi Tholib berkata: “Jangan pernah kamu menggunakan kefasihan bicaramu (mendebat) di hadapan ibumu yang telah mengajarkanmu bicara.”

Ibu memiliki posisi yang tinggi di kehidupan. Ibu adalah orang yang telah membesarkan kita hingga kita bisa tumbuh dewasa menjadi manusia, ia merawat kita sampai kita bisa merawat diri kita sendiri. Meskipun ia tak meminta imbalan apapun dari kita tapi sebagai seorang anak kita berkewajiban untuk membahagiakannya.

Ibu telah merasakan banyak kesakitan selama hidupnya dalam membesarkan kita, kini giliran kita yang berjuang untuk mengobati rasa sakitnya ketika kita telah dewasa, meskipun hal itu hanya kita wujudkan sebatas kehadiran kita di hadapannya. []

 

Tags: Cinta IbuErich FrommIbuperempuanpsikologi
Rizki Eka Kurniawan

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang Pembelajar Psikoanalisis dan Filsafat Islam

Terkait Posts

Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Retret di sukabumi

    Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menimbang Kebijakan Nikah Massal
  • Menggugat Batas Relasi Laki-Laki dan Perempuan di Era Modern-Industrialis
  • Sejarah Ulama Perempuan yang Membisu dalam Bayang-bayang Kolonialisme Ekonomi
  • Kasih Sayang Seorang Ibu
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID