• Login
  • Register
Sabtu, 1 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kerudung Petani: Kekangan atau Alat Perlawanan?

Feminisme Barat sangat sinis terhadap kerudung. Tapi petani perempuan membuktikan yang sebaliknya.

Miftahul Huda Miftahul Huda
16/10/2020
in Kolom, Personal
0
Kisah Ngasirah

Kisah Ngasirah, ibu dari Sosrokartono dan Raden Ajeng Kartini

228
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Malam semakin menggulita, tapi rapalan dzikir terus digemakan oleh ratusan petani di bawah tratak menghadap panggung. Di atas panggung berdiri seorang agamawan yang sedang memimpin istighasah. Di samping kanan kiri panggung telah berbaris para simpatisan dari berbagai daerah—mungkin juga berbagai agama—ada dari Bandung, Garut, Maluku, Kanada (seorang mahasiswi program pertukaran pelajar), dan saya sendiri dari Demak; sedang mengikuti khusuknya acara bersama petani di Kulon Progo.

Acara tersebut berlangsung selama dua hari (13-14/3/2019) yang diselenggarakan PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Panta Kulon Progo) dalam menyambut ulang tahunnya yang ke-13. Malam hari diawali dengan istighasah dan disambung ceramah dari kiai; lalu pagi sampai siang hari diisi dengan refleksi sesama petani dari berbagai komunitas di Jawa. Itu bukan sekedar acara doa bersama atau pengajian yang umum di panggung-panggung desa; melainkan sebuah acara untuk menguatkan memori bersama sebagai masyarakat yang tertindas—mustadz’afin.

Ratusan petani dari empat desa, baik laki-laki atau perempuan—bahkan selain petani, berkumpul dalam satu tempat di mana mereka menelurkan semangat melawan tambang pasir besi. Suasana malam seketika berubah seperti berselimut beludru, nuansa perlawanan menghangatkan panggung rakyat.

Umumnya masyarakat pedesaan, khususnya yang menjadikan Islam sebagai keyakinan, kerudung menjadi sehelai kain yang menempel di manapun perempuan beraktivitas—kecuali di dalam rumah. Saya selalu melihat kerudung ketika mereka berkumpul dalam rapat, ketika bertani di ladang, atau ketika menjamu saya sebagai tamu di rumah mereka. Namun, “arti penting” kerudung sering luput dari tatapan mata para penikmat dinamika gerakan.

Saya mencoba mengesampingkan kecurigaan feminisme Barat perihal kerudung, yang mereka anggap sebagai pengekangan/pembatasan/perbudakan. Ini sepenuhnya konteks Indonesia, di mana posisi kerudung menjadi simbol perlawanan pada pra-reformasi dan menjadi simbol pengekangan pada pasca-reformasi.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh
  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja
  • Bisakah Perempuan Haid atau Nifas Mendapat Pahala Ibadah di Bulan Ramadan?
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Baca Juga:

Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh

Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Bisakah Perempuan Haid atau Nifas Mendapat Pahala Ibadah di Bulan Ramadan?

Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Merancang Kerudung Perlawanan untuk Petani

Petani perempuan dalam konteks ini adalah objek konstruksi: harus menutup auratnya. Dengan demikian level kenyamanan perempuan di ruang publik adalah bentukan budaya, bukan terberi—menurut pandangan konstruktivis.

Pada diskursus ini saya meminjam dua gagasan Marie Mc Andrew dalam Muslim Diaspora  (Andrew 2006). Pertama tentang konstruktivisme heterosentris, yaitu anggapan kerudung sebagai bentuk warisan budaya yang bernuansa ideologis. Dengan kata lain, setiap perempuan yang menggunakan kerudung adalah korban dari hegemoni kuasa patriarki yang bercokol pada budaya. Oleh karenanya, perempuan dianggap teralienasi dari niat tulus mereka mengenakan kerudung.

Para aktivis yang menggunakan pandangan pertama ini berusaha keras mendekonstruksi ideologi yang tersemat di balik kerudung. Alih-alih membebaskan perempuan dari “ketertindasan”, gerakan aktivisme malah tersesat dalam usaha menciptakan identitas bersama daripada mempertahankan pluralisme.

Perempuan akan dianggap belum menempati posisi setara dalam ruang sosial atau agama, dan mereka—perempuan muslim—telah gagal mencetak identitas asli mereka, karena kerudung ditakar sebagai warisan etnis/budaya yang kuat nuansa ideologi dominatifnya.

Pada tahap yang mengkhawatirkan, gerakan aktivisme tersebut akan jatuh pada islamophobia. Kerudung menjadi plot seksis dan fundamentalis sebagai dasar menggerakkan opini publik untuk melarang ekspresi keragaman agama di muka umum. Tetapi saya membatasi pada tahap paling mengkhawatirkan tersebut (islamophobia), karena di Indonesia Islam menjadi kepercayaan mayoritas.

Pandangan konstruktivisme heterosentris menjadi tidak kompatibel dengan apa yang terjadi pada petani perempuan Kulon Progo. Sebab ketika di ruang publik dan melakukan penolakan proyek pertambangan, kerudung melekat erat di kepala mereka. Kalau dianggap belum setara, kenyataanya mereka bisa hadir dalam aksi penolakan, beraktivitas di ladang bersama laki-laki, dan mengikuti rapat menentukan gerak organisasi. Bahkan, satu petani perempuan berkesempatan berbicara di atas panggung mewakili petani Kulon Progo pada acara siang itu.

Pandangan yang kedua adalah konstruktivisme individualistis. Pandangan ini mengakui budaya (dan etnis) adalah hasil konstruksi, namun yang membuatnya berbeda dengan konstruktivis heterosentris adalah pengakuannya terhadap hak prerogatif individu. Artinya, seseorang sebagai subjek aktif dalam membentuk identitasnya seperti yang ia inginkan dengan mengaitkan otonomi moral orang lain terhadap dirinya sendiri. Ini seperti ada rasa tubuh individu menjadi milik sosial.

Pandangan yang kedua ini mengakui secara penuh perempuan sebagai subjek sosial yang mampu memutuskan pilihan untuk tubuhnya sendiri. Sebagaimana petani perempuan, mengenakan kerudung adalah pilihan individu—seperti yang sudah saya sebut di atas—secara tulus. Dan kerudung membersamai mereka di setiap aksi reclaiming dan mempertahankan ruang hidup; tak jarang mereka bersuara menyampaikan pengalaman pahit yang tak terbantahkan.

Bagian pilihan ini—memakai kerudung—bukan sekedar memburu pengakuan moral, tapi juga pengakuan atas keagamaan mereka di ruang publik. Pilihan ini juga pernah dipraktikkan oleh dua organisasi feminis di Quebec:  Fédération des femmes du Québec dan devout Muslim Women, dalam memperjuangkan pengakuan keberagamaan dan hak-hak mereka sebagai perempuan muslim.

Dalam konteks yang berbeda, slametan (istighasah) sebagai representasi keadaan selamat. “Dadi Wong Wadon: Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern”, (Permanadeli 2015). Yakni selamat dari perampasan ruang hidup, menjadi ruang pengakuan moral-keagamaan dan eksistensi perempuan di ruang publik.

Saya perlu mengakui, bahwa konstruktivisme individualistis memiliki kelemahan—yang merugikan bagi perempuan. Karena berbasis interaksionisme sosial, pandangan tersebut syarat akan relasi kuasa sebagai penentu nilai moral. Bahkan, pilihan pribadi untuk mengenakan atau melepas kerudung terkadang tidak direstui oleh kelompok masyarakat.

Jadi, tidak menutup kemungkinan terjadinya stereotipe terhadap petani perempuan yang tidak mengenakan kerudung. Namun sejauh bersama para petani, saya tidak menemukan gesekan di antara mereka: perempuan berkerudung dan beberapa tidak berkerudung berkerumun dengan laki-laki. Mereka semua adalah sama. []

 

 

Tags: Hijabkemanusiaankerudungperempuanpetani
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Kasus KDRT

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

1 April 2023
Sepak Bola Indonesia

Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

1 April 2023
Keberkahan Ramadan, Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

31 Maret 2023
Agama Perempuan Separuh Lelaki

Pantas Saja, Agama Perempuan Separuh Lelaki

31 Maret 2023
Resep Awet Muda Istri

Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri

31 Maret 2023
Konsep Ekoteologi

Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam

30 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Melestarikan Tradisi Nyadran

    Gerakan Perempuan Melestarikan Tradisi Nyadran

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hadis Relasi Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri
  • Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist