Mubadalah.id – Kesadaran keadilan gender adalah kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan harus sama-sama bersikap dan diperlakukan adil secara sosial. Manusia memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan hidup.
Ada masa mereka bertumpu pada kekuatan fisik. Siapa yang lebih kuat secara fisik, dia lebih bernilai. Siapa yang bisa berburu dan memperoleh makanan, dia lebih dihormati.
Standar kekuatan fisik pun bukan dinilai dari sekuat apa bisa bertahan hidup. Padahal perempuan berkali-kali mengalami pendarahan selama seminggu atau dua minggu karena menstruasi (bayangkan ketika pembalut belum ada). Atau berbulan-bulan hamil, di rahim ada janin yang tumbuh, mengeluarkan bayi dari vagina saat melahirkan.
Lalu pendarahan selama nifas, rahim mengalami normalisasi setelah hamil, menyusui bayi, dan mengasuh sambil melanjutkan tugas-tugas hidup lainnya. Sayangnya, kemampuan bertahan hidup seperti ini tidak ia anggap sebagai kekuatan fisik.
Bernilai
Akhirnya, laki-laki secara sosial ia lebih bernilai dari perempuan. Bahkan perempuan pernah tidak mereka anggap sebagai manusia.
Bahasa Inggris dan Arab meninggalkan jejak tentang kemanusiaan perempuan. Kata man/men dalam bahasa Inggris bisa berarti laki-laki dan manusia. Begitu pun dalam baha, sa Arab, kata rajul/rijal bisa berarti laki-laki dan manusia. Apakah ini menunjukkan bahwa bangsa Inggris dan Arab, dalam waktu sangat lama memandang manusia identik dengan laki-laki?
Untuk menjawab pertanyaan,
“Keadilan gender lebih dulu muncul di Barat atau Arab? mari kita simak informasi berikut. Islam hadir di Arab pada 611-634 M. Ketika itu, tidak hanya di Arab tetapi juga di belahan dunia lain, perempuan masih mereka perlakukan seperti benda. Seumur hidup mereka dalam kepemilikan mutlak laki-laki. Sebelum menikah dalam kepemilikan mutlak ayah dan setelah menikah menjadi milik suami.”
Kepemilikan mutlak artinya laki-laki boleh menyiksa, mengusir, menjadikan hadiah, jaminan utang, menjual, bahkan menyetubuhinya. Ayah menyetubuhi anak perempuan kandungnya, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, mewariskannya, dan memoligami dalam jumlah tak terbatas.
Pada abad ketujuh Masehi, Islam menegaskan bahwa: Pertama, perempuan adalah manusia. Kedua, setiap manusia hanyalah hamba Allah Swt. Ketiga, setiap manusia adalah khalifah fil ardh yang punya mandat mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi.
Artinya, laki-laki dan perempuan hanya hamba Allah Swt. Perempuan bukan hamba laki-laki, dan keduanya mesti aktif bekerja sama mewujudkan kemaslahatan seluasnya di muka bumi. []