Mubadalah.id – Dalam teori Imam asy-Syathibi ayat tentang kesetaraan manusia (QS. al-Hujurat (49) : 13) bersifat pasti, tetap, dan berlaku universal, oleh karena itu harus diutamakan.
Sedangkan ayat tentang kepemimpinan laki-laki (QS. an-Nisa (4) : 34) adalah partikular, bersifat khusus, dan sosiologis, maka dari itu ia berlaku kontekstual. Karena kontekstualitas ini bukan berarti teks partikular tidak kita pakai atau hapuskan. Melainkan kita maknai kembali sejalan dengan konteks sosialnya yang berubah.
Hal seperti ini telah dilakukan oleh para ulama generasi sahabat dan generasi selanjutnya. Terutama generasi para mujtahid besar.
Dengan perspektif kemanusiaan ini, perempuan sebagaimana juga laki-laki dipandang sebagai manusia yang memiliki akal budi yang sama. Lalu yang dipanggil oleh Islam secara setara untuk menjadi orang-orang yang beriman, yang satu sama lain.
Kemudian keduanya harus menjadi mitra (awliya) yang bekerja sama dalam segala kerja-kerja sosial dan keagamaan, seperti mengajak kepada kebaikan (amar ma’ruf), menghalau keburukan (nahy munkar), mendirikan ibadah keagamaan (seperti shalat), mewujudkan keadilan sosial (seperti melalui zakat), dan menegakkan panji-panji ketuhanan dan ajaran kenabian.
Panggilan Islam tentang kesetaraan ini secara tegas tertulis di dalam al-Qur’an surat at-Taubah:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling menolong, satu kepada yang lain: dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mentaati Allah dan rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah (9) : 71).
Kemaslahatan versus Nash dan Ijma‘
Pertanyaan mendasar yang selalu menjadi perdebatan para ulama adalah bagaimana jika kemaslahatan bertentangan dengan nash. “Nash” dalam konteks ini dimaknai sebagai teks yang sangat jelas yang tidak bisa diinterpretasi. Banyak orang menyebutnya sebagai “lafadh qath’iy.” Dalam bahasa Imam al-Ghazali:
“Teks yang tidak mengandung kemungkinan ditafsirkan sama sekali.”
Pandangan mayoritas ahli fikih menegaskan bahwa apabila kemaslahatan bertentangan dengan nash, maka nash harus kita unggulkan. []