Mubadalah.id – Seminggu lalu, seorang ayah di Gresik Jawa Timur tega membunuh buah hatinya sendiri karena depresi. Ketika ditindaklanjuti, kepada pihak berwajib pelaku menyampaikan bahwa ia ingin anaknya segera masuk surga. Keinginan tersebut berdasar karena istrinya yang bekerja sebagai pemandu karaoke tak akan bisa mengasuh anaknya dengan baik. Ia khawatir akan membawa mereka ke jalan dosa.
Meski berlindung di balik alasan ‘kebaikan’ anak, perlakuan laki-laki pembunuh tersebut tak bisa kita benarkan. Bisa jadi, ia sendiri yang tidak bisa mengasuh anak dan akhirnya berujung pada tingkat frustasi, hingga memutuskan untuk melakukan tindak kejahatan.
Fenomena ayah yang tak berperan optimal dalam pengasuhan ini kita sebut dengan istilah fatherless. Fatherless merujuk pada sebuah situasi di mana anak kehilangan sosok ayah yang menjalankan peran dan fungsi sebagai orangtua. Fatherless tidak semata-mata terjadi karena perceraian, kematian, atau ketidaksetiaan ayah dalam menjalankan perannya sebagai figur paternil. Bisa juga raga atau sosok sang ayah hadir tapi tidak pernah berperan dalam pengasuhan anak. Singkatnya, tidak ada keterikatan emosial antara ayah dan anak.
Fenomena fatherless sendiri tidak hanya terbatas terjadi di Indonesia, di Amerika, hal ini bahkan menjadi problem nasional yang kemudian mendorong perdebatan luas bagaimana pengasuhan yang ideal. Menurut data sensus Pemerintah Amerika Serikat, anak-anak yang tinggal di rumah tanpa sosok ayah secara fisik, memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan pendapatan lebih rendah ketika ia beranjak dewasa. Tidak hanya itu, anak yang diasuh oleh orangtua tunggal di sana hampir 40% nya berada dalam jurang kemiskinan.
Dampak Fatherless
Lebih lanjut, anak dengan kondisi fatherless berhadapan dengan risiko yang lebih besar untuk terjerumus pada adiksi alkohol dan obat-obatan dibandingkan dengan anak yang orangtuanya dapat memenuhi kebutuhan fisik serta emosional. Mereka juga lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan koleganya yang mendapatkan pengasuhan secara penuh.
Berbeda dengan Indonesia dan Amerika, di Finlandia justru ayah sangat dekat dengan anak-anak mereka. Data dari OECD mengungkapkan bahwa ayah di Finlandia bahkan menghabiskan waktu lebih banyak daripada sang ibu ketika anak berada dalam usia sekolah. Sang ayah akan berusaha menemani sang anak melakukan hobinya. Apakah itu melakukan kegiatan seni atau melakukan aktivitas olahraga. Semua itu mereka jalankan dengan gembira, bersama-sama sang ibu.
Yang menarik, penguatan peran ayah tidak hanya dilakukan oleh lingkungan keluarga saja, tapi juga melibatkan pemerintah. Di Finlandia, pemerintah melakukan banyak kampanye untuk mendorong warganya agar dapat menyeimbangkan waktu antara dunia kerja dengan keluarga. Cuti melahirkan tidak hanya ibu yang mendapatkannya, tapi juga ayah.
Pada kondisi ini, jika mereka bekerja, mereka akan tetap mendapat gaji yang sama. Harapannya, ayah dapat meluangkan waktu semaksimal mungkin dalam perawatan bayi yang baru lahir. Selain itu, ada kampanye yang bernama “daddy’s time”. Di mana ayah didorong untuk menguatkan bonding dengan anak, sehingga baik ayah dan ibu sama-sama menjalankan peran pengasuhan dengan maksimal.
Fakta Pengasuhan Anak di Indonesia
Di Indonesia, urusan pengasuhan anak seringkali terbebankan pada pihak ibu. Ayah kerap kali absen karena memandang tugasnya hanya sebatas mencari nafkah semata. Sehingga, ketika anak berada dalam masa tumbuh kembang, ia hanya berperan sebagai pemberi uang jajan, tapi tidak terlibat banyak dalam pengembangan emosional dan psikologis.
Padahal menurut penelitian, peran ibu dan ayah sama pentingnya. Peran keduanya juga tidak dapat tergantikan satu sama lain. Pada awal kehidupan seorang anak, ibu memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak. Sedangkan peran utama ayah adalah untuk mendukung dan merawat ibu (Gezova, 2015).
Namun, ketika anak-anak tumbuh dari masa balita, peran ibu dan ayah menjadi lebih setara. Ibu memainkan peran penting dalam menjadi contoh perempuan untuk putri mereka. Sedangkan ayah memainkan peran penting dalam menjadi contoh laki-laki untuk putra mereka. Dalam tahap ini, harapannya ayah dapat mendorong anak-anak mereka untuk menjelajahi dan mengambil risiko dalam bermain fisik dan sosial (Freeman et al., 2010).
Keterlibatan aktif ayah dalam pengasuhan juga berdampak positif, penelitian Grossman et al. (2008) menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan pengasuhan seimbang dari kedua orangtua memperlihatkan kematangan sosial dan emosional hingga ia beranjak dewasa. Dengan kata lain, ayah sejatinya memainkan peran penting dalam pengasuhan. Ia bertugas untuk memperkenalkan, membimbing, dan melindungi anak dalam berinteraksi dengan dunia luar, serta menjadi contoh perilaku yang tegas dan mendorong prestasi anak (Gezova, 2015). []