Mubadalah.id – Bagaimana ketulusan cinta digambarkan? “Dua makhluk yg berbeda, ternyata bisa saling jatuh cinta. Dua pihak yang tidak sempurna, bisa saling menautkan hati. Cinta itu terkadang tidak butuh penafsiran, apalagi daftar pustaka.” * Gus Nadirsyah Hosen.
Dalam perjalanannya “Hanya ada satu seni yang dimahiri perempuan, yaitu mencintai dan dicintai” itulah agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah menganugerahi perempuan kemampuan menangis, cemburu, dan berduka serta kesediaan berkorban untuk kekasih melebihi anugerah-Nya kepada lelaki. Seperti halnya cerita dalam pewayangan yang sering kita dengar bahkan mendapatinya cerita yang serupa dikehidupan nyata.
Gatotkaca merupakan salah satu tokoh dalam dunia pewayangan, lebih dikenal degan julukan “otot kawat tulang besi”, dengan kesaktianya ia mampu terbang ke angkasa seperti kilat dan halilintar. Tidak banyak diketahui, tokoh yang satu ini merupakan buah dari perkawinan Bima atau Werkudara dengan putri raksasa Dewi Arimbi.
Banyak versi yang mengulas pertemuan diantara keduanya. Pertemuan pertama kalinya dimulai ketika Bima dan saudara-saudaranya diusir ke hutan karena kalah judi dengan Kurawa untuk yang kesekian kalinya. Dengan berat hati dan terpaksa, Bima beserta saudara-saudaranya mengungsi ke hutan.
Ketika sedang membuka hutan yang terkenal angker dihuni beberapa raksasa dan jin penunggu. Singkat cerita Bima bertemu dengan raksasa wanita bernama Hidhimbi atau Arimbi. Seketika itu Dewi Arimbi mulai terkesima dengan kegagahan Bima. Walaupun itu melanggar kodrat raksasa, Dewi Arimbi mulai jatuh hati.
Saking cintanya Arimbi tanpa ragu untuk mendekati, dan harus menyatakan cintanya untuk beberapa kali kepada Bima, tetapi Bima menolak dan tak pernah ada rasa sedikitpun terhadapnya. Melihat cintanya tak digubris, Arimbi pun mulai putus asa dan mengiba sampai bertekuk lutut di kaki Bima di hadapan Ibundanya (Dewi Kunti).
Dewi Kunti tidak kuasa melihat anaknya seperti itu, akhirnya berbicara pada Bima bahwa Arimbi adalah wanita yang tulus dan memiliki hati yang cantik, mungkin saja rupa tak secantik hatinya, tapi jika hatinya setulus dan sebaik itu maka rupanya akan tampak menjadi cantik. Arimbi tak bergeming, dia malah memeluk kaki Bima dengan begitu tulusnya.
Bagai kata-kata yang diaminkan oleh para dewa di kayangan, ucapan Dewi Kunti menjadi nyata, sungguh keajaiban yang luar biasa, wajah Arimbi perlahan berubah menjadi puteri yang sangat cantik jelita nan rupawan. Setelah dinasehati Bima pun menuruti, akhirnya Arimbi menikah dengan Bima. Dari pernikahan mereka-lah terlahir pahlawan pembela kebenaran, Gatotkaca.
Kisah antara Bima dan Arimbi berakhir dgn bahagia, tak kalah jika dibandingkan degan kisah pada novel-novel yang bertemakan cinta. Begitu pun juga dalam dunia Islam seperti cerita Abu Muhammad Ibnu Hazm al-Andalusi (994-1064 M) dalam bukunya Thauq al-Hamamah berpandangan bahwa: “Tidak diketahui sesuatu yang begitu diperhatikan dan mantap pada diri perempuan melebihi cinta”, pendapat ini tentu saja bukan berarti bahwa lelaki tidak bercinta atau kurang memerhatikan lawan jenisnya.
Bahkan dalam bukunya, Ibnu Hazm sendiri mengakui ia pernah jatuh cinta sebanyak tiga kali. Cintanya yang pertama ia tumpahkan kepada jariat (pembantunya), lalu menikahinya ketika Ibnu Hazm berusia dibawah 20 tahun. Ketika istrinya meninggal, Ibnu Hazm larut dalam kesedihan dan menangis berbulan-bulan. Ia jatuh sakit bahkan kehilangan sebagian ingatanya -sampai kemudian sembuh.
Perlu diingat bahwa cinta yang dimaksud di sini, bukan saja cinta kepada lelaki sebagai pacar atau suami, tetapi juga kepada anak, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi perempuan, cinta adalah harapan, bahkan hidup adalah cinta, sehingga perempuan rela berkorban demi cintanya, pengorbanan demi cinta bukanlah kematian, tetapi kehidupan. Kematian bagi mereka adalah hidup tanpa cinta.
Lelaki yang mencintai biasanya menuntut yang banyak atau memberi dengan perhitungan, tetapi perempuan yang mencintai mempersembahkan tanpa batas, karena mereka tidak mengenal batas dalam pemberian, bahka mereka menyerahkan diri mereka kepada siapa yang mereka cintai.
Lantas apa sebenarnya cinta itu dan bagaimanakah ia diukur? Banyak sekali uraian tentang itu dan yang berusaha menjelaskanya. Namun kesemuanya belum cukup jelas untuk menjelaskan hakikat cinta, hal ini agaknya disebabkan cinta tidak dapat dideteksi, kecuali melalui gejala-gejala psikologis, sifat-sifat, perilaku, dan pengaruhnya pada diri seseorang yang mengalaminya.
Akhirnya tulisan inipun ditutup dengan perkataan Ibnu Hazm: “Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariat pun tidak melarangnya. Karena itu, kata sebagian pakar, keterangan tentang cinta bukanlah cinta.[]