Mubadalah.id – Desember lalu, hujan deras dengan intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan debit Sungai Krueng Jambo Aye di Aceh meluap. Akibatnya beberapa wilayah di Kabupaten Aceh Utara dan Bener Meriah, Provinsi Aceh mengalami banjir, dan kondisi ini memaksa warga setempat mengungsi ke tempat yang lebih aman. Selain disebabkan oleh kurangnya daya tampung sungai, bencana alam banjir yang sudah berkali-kali menerjang pemukiman warga, ditengarai pembalakan liar dan perambah hutan yang semena-mena adalah penyebabnya.
Kondisi ini lantas membuat geram warga yang menjadi korban, termasuk sekelompok ibu yang tinggal di dekat kawasan hutan. Mereka tak bisa lagi hanya berpangku tangan. Didorong oleh masalah yang kian kompleks, dan perolehan legalitas dari Kementerian Lingkungan Hidup, Lembaga Pelindung Hutan Kampung MpU Uteun akhirnya mendorong warga lokal, termasuk ibu-ibu untuk tergabung dalam tim penjaga hutan. Menyebut diri mereka, ‘ranger’, mereka bersepakat untuk melakukan patroli bersama untuk mencegah pengrusakan hutan yang semakin masif.
Salah satu dari mereka bercerita bahwa peran rutinnya selama ini sebenarnya sudah dijalankan dari dua tahun lalu. Bersama sekelompok ibu lainnya, berseragam mengenakan kaos hijau lengan panjang dan sepatu bot, mereka akan berkumpul di satu titik ketika jadwal patroli tiba.
Dan, jangan dikira kegiatan itu mudah dilakukan. Perbukitan menjulang di belakang mereka. Kawasan ini memang kerap dikenal sebagai negeri di atas awan, karena letaknya yang tinggi, sekitar 100-2.500 meter di atas permukaan laut. Namun, medan yang berat tak pernah membuat mereka gentar.
“selama ini telah terjadi perambahan merajalela oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk dijadikan kebun kopi. Makanya sekarang, sudah banyak terjadi longsor, bencana alam terus terjadi di kampung kami. Jadi MpU Uteun ini sangat bersemangat untuk menjaga hutan, agar tidak terus terjadi banjir bandang yang sangat mengerikan.”
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, para ranger perempuan ini dibagi dalam dua tim. Tidak ada seleksi, semua boleh bergabung asal mendapatkan izin dari suami atau orangtua. Untuk frekuensinya sendiri, biasanya selama lima hari dalam satu bulan, dengan dibagi dua regu. Jadi dalam satu bulan itu bisa disimpulkan lamanya bisa sampai 10 hari melakukan patroli.
Mereka biasanya mendampingi tim bapak-bapak atau anak muda yang juga mendapatkan tugas menjaga hutan. Namun, jangan salah… kehadiran para ranger perempuan ini dinilai memudahkan para penjaga hutan dalam memberikan arahan bagi pelaku penebangan liar dan perambah hutan. Mereka acap kali lebih didengar nasihatnya oleh komplotan perambah hutan illegal.
Sebelum ibu-ibu ini bergabung, patrol pembalakan liar seringkali memicu pertikaian fisik terutama ketika kedua belah pihak yang terlibat adalah laki-laki semua. Namun, kini ketika ranger-ranger perempuan terlibat dan terjun langsung ke lapangan, justru pembalak liar yang berniat hutan urung melakukan aksinya. Rata-rata para pelaku tidak berani menantang duel fisik sekelompok ibu separuh baya tersebut. Walhasil, hal ini membantu pencegahan perusakan hutan yang akan dilakukan.
Meski menghadapi risiko yang cukup besar dari pembalak liar, maupun dari curamnya medan, tapi tiap kali patrol mereka selalu tampak bersemangat. Tak pernah ada sesal atas keputusan yang diambil sebagai penjaga hutan. Terlebih, hutan bagi mereka sudah menjadi sumber kehidupan. Tanpa hutan yang lestari, pasokan air mereka akan kering, dan bahkan ancaman bencana akan semakin tampak di depan mata.
Tak heran, meski diupah seratus ribu per patroli, mereka tak juga gentar. Bagi mereka hutan adalah segalanya, “karena kalau sudah terus terjadi bencana, sumber air minum kita sudah pasti terganggu. Dari situ kami terus ingin bersemangat dengan ibu-ibunya, gimana terus menerus kami akan menjaga hutan, agar tetap sumber air minum kami, sumber kehidupan kami itu tetap terjaga terus menerus.” []