Mubadalah.id – Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang banyak menceritakan kisah para Nabi berikut kebudayaan umat manusia masa lalu.
Kisah-kisah ini tidak sekedar menjadi cerita dan ungkapan sejarah perjalanan manusia, melainkan mengandung tujuan, pesan, dan norma kemanusiaan universal.
Dalam beberapa ayat yang berisi kisah dan perjalanan manusia tersebut. Allah biasanya menutup ayat dengan pernyataan bahwa kisah-kisah ini merupakan bahan pemikiran dan pelajaran bagi manusia.
“inna fi dzalika la’ibrah Ii uli al-albab.” atau “Inna fi dzalika la ayaat li qawm ya’qilun.” (Di situ ada tanda-tanda (pengetahuan) bagi orang-orang yang berpikir).
Inilah sesungguhnya poin paling utama dari seluruh kisah-kisah dalam al-Qur’an. Cara demikian dipandang paling efektif untuk mempengaruhi dan menyentuh kesadaran audien terhadap pesan-pesan yang dikandungnya.
Penggunaan media seperti ini bukan hanya menarik bagi masyarakat pada masa Nabi, tetapi juga dalam semua kebudayaan manusia.
Ibnu Thufail, misalnya, menulis karya sastra filsafat yang amat terkenal, berjudul Hayy bin Yaqazhan (hidup anak kesadaran).
Karya sastra tragedi juga dapat ditemukan dalam Oedipus atau Antigon yang ditulis oleh Sophokles. Karya percintaan yang agung, berjudul “Laila dan Majnun”, ditulis oleh sejumlah orang, antara lain Nizami dan Sa’di Syirazi.
Sastra Kemanusiaan
Sementara epik kepahlawanan dari Persia dengan judul Shah Nameh ditulis oleh Firdausi, dan masih banyak lagi karya sastra kemanusiaan yang ditulis banyak orang dari berbagai belahan dunia.
Para sarjana muslim mengembangkan metode sosialisasi nilai-nilai kemanusiaan al-Qur’an dengan media yang lain, tidak hanya melalui media sastra-naratif. Melainkan juga dalam bentuk sastra puisi yang tersusun dengan ritme-ritme tertentu yang beragam dan bisa kita nyanyikan dengan aneka langgam pula.
Tradisi kaum muslim Indonesia, misalnya, mengenal sejarah hidup Nabi Muhammad saw. melalui nyanyian berbagai langgam, seperti pembacaan Maulid al Barzanji atau Qasidah Burdah karya al-Busharri.
Konon, W.S. Rendra, seorang sastrawan terkemuka, menjadi pemeluk Islam setelah mendengar karya puisi al-Bushairi yang indah itu.
Media budaya dengan beragam jenisnya, adalah cara paling manis dan paling manusiawi sebagai upaya mengembangkan kompleksitas eksistensi manusia. Keberadaannya telah menyentuh ruang-ruang paling dalam dan menggetarkan nalar kognitif manusia. []