• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Kita Bersaudara, Manusia dan Semua Mahluk Tuhan itu Sama (Part II)

Tidak hanya manusia saja yang mengalami kesakitan, semua mahluk di alam semesta, bumi dan segala isinya sama-sama merasakan sakit seperti halnya kita.

Rizki Eka Kurniawan Rizki Eka Kurniawan
20/05/2021
in Hikmah
0
Manusia

Manusia

114
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Manusia sangat membutuhkan moral. Ilmu pengetahuan tanpa moral akan menjadikan keniscayaan bagi kehancuran, keserakahan, dan kerakusan umat manusia. Harus ada tahapan penyeleksian bahwa apa yang dilakukan seseorang merupakan suatu bentuk kebaikan.

Ada tiga tahap suatu kebenaran bisa disebut kebaikan. Tahap pertama, kebenaran harus dianggap baik oleh akal. Apabila akal telah menerima bahwa itu adalah kebaikan maka kebenaran tersebut harus dianggap baik secara universal, dalam arti diterima secara umum oleh masyarakat sekitar dan tidak menimbulkan kegaduhan. Dan apabila kebenaran tersebut sudah dianggap baik secara universal, maka yang terakhir kebenaran tersebut harus dianggap baik oleh agama. Ketika kebenaran sudah bisa dianggap baik oleh ketiga tahapan, kebenaran baru bisa diakui sebagai sebuah bentuk kebaikan.

Akan tetapi dalam perkembangan sains modern, moralitas yang mereka pakai tidak melewati tiga tahapan ini. Moralitas yang dipakai sains modern hanya menggunakan akal sebagai bahan perbandingan tanpa memperdulikan keseluruhan, mengabaikan penerimaan universal dan menolak kebenaran agama sehingga yang terjadi sains membuat moral mereka sendiri untuk mendukung penemuan-penemuan mereka.

Meskipun sains modern menggunakan kerangka berpikir yang cenderung empiris dan objektif dalam mengkonsepkan sesuatu namun, keputusan-keputusan sains modern lebih terkesan subjektif yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Hal semacam ini bisa mengancam keselamatan bersama, sebab perkembangan sanis dan teknologi secara tidak langsung mengendalikan kehidupan kita.

Semisal di tahun 2019 saat kita membeli smartphone A, smartphone tersebut merupakan salah satu barang yang memiliki kualitas bagus dibandingkan dengan smartphone lainnya kala itu, namun kurang dari lima tahun smartphone A sudah merupakan barang kuno yang jadul dan ketinggalan zaman.

Baca Juga:

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

Menakar Ekoteologi Kemenag Sebagai Kritik Antroposentrisme

Perusahaan smatphone mulai mengeluarkan smartphone dengan spesifikasi yang lebih bagus, namun peningkatan spesifikasi tersebut dilakukan secara bertahap. Sedikit demi sedikit mengupdate kualitas kamera, ram dan kapasitas memori.

Belum lagi aplikasi-aplikasi yang kita install dalam smartphone kita yang sering melakukan pengupdatetan hampir beberapa bulan sekali membuat smartphone  yang tadinya hanya dengan kapasitas memori internal 12 GB sudah mampu menampung banyak aplikasi, tiba-tiba mengalami penurunan kinerja. Smartphone kita jadi lemot karena tak mampu memuat beban penyimpanan dari aplikasi yang terus mengalami pengupdatetan.

Mau tak mau kita harus menghapus beberapa aplikasi dari smartphone kita untuk melonggarkan kembali ruang penyimpanan, dan pada akhirnya nanti ketika hal ini terus terjadi. Mau tak mau kita harus membeli smartphone baru untuk menggantikan smartphone lama yang sudah tidak mampu menjalankan banyak aplikasi.

Persis dengan yang dikatakan oleh Skinner: “Kita hanya beralih dari mode pengalihan yang satu ke mode pengalihan lainnya”. Teknologi yang kita bangun untuk memudahkan pekerjaan kita malah mengendalikan diri kita sendiri. Kita benar-benar lemah dan tak berdaya atas perkembangan teknologi yang terlalu cepat. Kita menjadi tawanan bagi temuan-temuan kita sendiri. Kehidupan kita tak lagi bebas, harus memenuhi tuntutan dari perkembangan teknologi.

Tak hanya alam yang tereksploitasi habis-habisan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan industri yang tiada habisnya. Manusia juga menjadi korban dari produk dan iklan-iklan yang diproduksi oleh industri. Manusia seharusnya bisa berperan sebagaimana mestinya sebagai pengelola alam semesta dan bisa bekerjasama dengan alam untuk keselamatan bersama.

Seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jawa zaman dulu, mereka bisa sangat dekat sekali dengan alam. Mereka memanfaatkan alam sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Tidak mengeruk habis sumber daya alam untuk memperoleh keuntungan.

Dalam sebuah perbincangan antara Emha Ainun Nadjib dengan K.R.T Manu J Widyaseputra, seorang filolog Jawa Kuna dan Sansekerta. Orang yang akrab dipanggil oleh Emha dengan sebutan Pak Manu itu menceritakan bahwa sebegitu dekatnya orang-orang Jawa dulu dengan alam mereka menyebut binatang-binatang dan gunung dengan sebutan yang biasanya disematkan untuk manusia.

Seperti ketika orang Jawa Kuno dulu menyebut anjing dengan Den Baguse, tikus dengan den bene, harimau dengan kyaine, dan gunung Merapi dengan nan dalem. Orang-orang modern seharusnya bisa memiliki hubungan yang dekat dengan alam. Tidak sekedar menjadikan alam sebagai objek pelampiasan untuk mendapatkan keuntungan. Orang modern harus mulai belajar untuk menghargai tumbuhan, binatang dan benda-benda mati yang ada di sekitar. Sebab hubungan alam dengan manusia kini sangat kejam!

Kekejaman manusia terhadap alam ini digambarkan oleh Erich Fromm dalam To Have or To Be:

“…kita berusaha memecahkan problem eksistensial kita dengan membuang visi mesianik tentang keselarasan antara umat manusia dan alam, dengan mengubahnya menjadi tujuan kita sendiri, hingga penaklukan makin mendekati penghancuran. Semangat menaklukkan dan kekejaman itu telah membutakan kita. Padahal, sumber daya alam memiliki batasannya dan bisa lelah, dan pada akhirnya alam akan melawan balik kerakusan manusia.”

Oleh karena manusia adalah bagian dari alam, maka apabila alam merasa sakit, manusia juga akan terkena efeknya. Bencana alam tak hadir secara tiba-tiba, segala sesuatu memiliki sebab akibat yang terikat. Kebanyakan banjir diakibatkan oleh tumpukan sampah manusia. Kita harus memiliki kesadaran bahwa semua mahluk diciptakan oleh satu bahan yang sama jadi apabila ada satu makhluk yang menyakiti makhluk lain berarti mereka sedang menyakiti dirinya sendiri.

Tidak hanya manusia saja yang mengalami kesakitan, semua mahluk di alam semesta, bumi dan segala isinya sama-sama merasakan sakit seperti halnya kita. []

 

 

Tags: EtikaIlmu PengetahuanKeadilan EkologiskemanusiaanmanusiaperadabanSejarah Duniateknologi
Rizki Eka Kurniawan

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang Pembelajar Psikoanalisis dan Filsafat Islam

Terkait Posts

Wahabi

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

30 Juni 2025
Taman Eden

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

30 Juni 2025
Beda Keyakinan

Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

30 Juni 2025
Seksualitas Perempuan

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

29 Juni 2025
Sakinah

Tafsir Sakinah

28 Juni 2025
Seksualitas Perempuan

Mari Hentikan Pengontrolan Seksualitas Perempuan

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID