• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Kita Perlu Fatwa yang Merujuk Pengalaman Perempuan

Ke depan, kita perlu fatwa-fatwa, terutama yang menyangkut perempuan, dengan benar-benar merujuk dan mempertimbangkan pengalaman nyata yang dialami dan dirasakan perempuan. Berfatwa dengan cara ini adalah teladan Nabi Muhammad Saw.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
08/05/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Pengalaman Perempuan

Idul Fitri

313
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Fatwa adalah pandangan hukum Islam yang dikeluarkan individu maupun lembaga yang dianggap memiliki otoritas mengenai hal ini. Biasanya diawali oleh pertanyaan atas apa yang dialami seseorang. Jika yang mengajukan perempuan, berarti fatwa yang dikeluarkan adalah yang didasarkan pada pengalaman mereka.

Pertanyaannya: sejauhmana seseorang atau lembaga memahami pengalaman perempuan, sehingga jawaban yang dikeluarkannya, lalu, adalah benar-benar relevan? Di artikel ini, saya akan menjelaskan soal pentingnya fatwa yang merujuk pengalaman perempuan.

Dalam disiplin fiqh dan ushul fiqh kita mengenal metode istiqra, penelitian berbasis pengalaman. Dalam Mazhab Syafi’i, dipopulerkan kisah bahwa Imam Syafi’i sendiri, sebagai peletak dasar-dasar Mazhab ini, telah menggunakan metode istiqra untuk fiqh terkait haid atau menstruasi.

Dalam merumuskan fiqh ini, beliau bertanya terlebih dahulu kepada para perempuan, tentang pengalaman mereka terkait menstruasi ini. Sayangnya, metode ini tidak ada yang mengembangkan lebih lanjut. Jangankan untuk masalah-masalah kehidupan yang lebih luas yang dihadapi perempuan, bahkan untuk masalah menstruasipun, fiqh kita tidak lagi diverifikasi kembali dengan merujuk pada pengalaman perempuan yang terus berkembang dan beragam.

Kita tahu, ilmu pengetahuan terkait anatomi tubuh dan temuan-temuan medis terkait reproduksi perempuan berkembang begitu pesat. Tetapi, fiqh haid kita masih merujuk pada detail pandangan ulama yang begitu kompleks, yang entah masih valid kah jika dirujukan pada ilmu biologi anatomi tubuh, temuan medis, dan terutama pengalaman nyata para perempuan. Dampak dari penggunaan alat kontrasepsi hormonal misalnya, banyak perempuan yang mengalami kekacauan daur menstruasi.

Jika pengalaman-pengalaman ini dijawab dengan pandangan fiqh Mazhab Syafi’i –misalnya yang tertulis dalam Risalah al-Mahidh- justru akan membingungkan dan menyulitkan para perempuan. Alih-alih meringankan dan memudahkan, karena perempuan sedang sakit menstruasi, sebagaimana itu prinsip syari’at Islam, fiqh haid yang ada malah memberi beban berat, yang sulit ditanggung kebanyakan perempuan. Dan kesulitan ini akan dialami perempuan setiap bulan dan sepanjang hidup mereka.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Untuk itu, kita perlu menghidupkan kembali metode istiqra ini, yang telah diawali Imam Syafi’i rahimahullah. Tidak hanya urusan menstruasi, tetapi seluruh kehidupan yang dialami perempuan harus menjadi basis perumusan fatwa-fatwa yang dikeluarkan individu maupun lembaga pada konteks kita sekarang ini.

Kita bisa belajar, bahkan dari semangat Nabi Muhammad Saw ketika mendengar para perempuan, dan mengeluarkan fatwa dan pandangan hukum yang relevan dengan pengalaman mereka. Keputusan Nabi Saw, dalam hal ini, yang disebut sebagai Hadits, tentu saja lebih tinggi dan menjadi rujukan yang otoritatif bagi semua produk fiqh dan fatwa yang lahir kemudian hari.

Sebagaimana dicatat Imam Bukhari dalam Sahihnya, juga kitab-kitab hadits lain, ada keputusan Nabi Saw yang begitu empatik dan suportif terhadap pengalaman perempuan. Adalah seorang perempuan bernama Habibah bint Sahl radhiallahu ‘anha. Dia adalah istri seorang sahabat terpandang, tokoh panutan, dan orator ulung penduduk Madinah, Tsabit bin Qays bin Syammas al-Anshari al-Khazraji. Habibah tiba-tiba datang ke rumah Rasulullah Saw.

Saat Nabi Saw membuka pintu rumah, dijumpai ada seorang perempuan. “Siapa ini? Kata Nabi Saw. “Habibah bint Sahl”, jawab sang perempuan. “Ada keperluan apakah gerangan?. “Aku istri Tsabit bin Qays ra. Ya Rasul, aku tidak sanggup lagi menjadi istri dia. Sekalipun akhlak dia baik dan ibadah dia juga bagus, tetapi aku tidak sanggup serumah dengannya”. “Mau kamu apa? Tanya Nabi Saw. “Aku tidak menyalahkannya, tetapi aku sendiri yang ingin bercerai darinya, karena tidak sanggup hidup bersama. Khawatir malah aku berperangai buruk kepadanya”, jawab tegas Habibah.

Lalu Nabi Saw memanggil suaminya, Tsabit bin Qays ra, dan menyarankannya untuk menceraikan istrinya tersebut. Perceraianpun terjadi dengan tebusan sebidang tanah yang awalnya diterima Habibah sebagai mahar, yang dikembalikan kepada Tsabit. Inilah kisah cerai tebus pertama dalam Islam, yang dalam fiqh disebut sebagai khulu’. Kisah lengkap ini dari berbagai versi hadits yang dicatat Imam Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (juz 10, halaman 500-501).

Dalam kisah ini jelas sekali Nabi Saw mendengar dan merujuk pada apa yang dialami dan dirasakan perempuan dalam kehidupan pernikahannya. Karena prinsip pernikahan itu untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, dan ketika seorang perempuan menemukan yang sebaliknya, Nabi Saw memutuskan hukum yang merujuk pada pengalamannya yang nyata itu.

Lebih dramatis lagi yang disampaikan Barirah ra istri dari Mughits ra (Lihat Sahih Bukhari, no. 5338 dan Sunan Abu Dawud, no. 2233). Semua sahabat tahu betapa besar cinta Mughith kepada istrinya. Tetapi sang istri, Barirah, bersikeras minta cerai, karena alasan dia tidak sanggup menjadi istrinya. Sang suami menangis dan memohon-mohon kepada istrinya untuk mengurungkan niat cerainya. Barirah tetap tidak bergeming. Akhirnya, Mughits menghadap Nabi Saw dan memohon pertolongan untuk menasihati Barirah.

“Bartakwalah kepada Allah, wahai Barirah, dia itu suamimu dan ayah dari anakmu, kembalilah kepadanya”, kata Nabi Saw. “Apakah ini perintah panjenengan wahai Rasul, atau saran saja”, tanya Barirah. “Bukan perintah, ini ingin membantu Mughits agar diterima kembali oleh kamu”, jawab Nabi Saw. “Kalau begitu, maaf, aku tidak bisa memenuhi kebutuhanku jika bersamanya, ya Rasul”, jawab tegas Barirah. Dan Nabi Saw membiarkan perceraian itu terjadi atas inisiatif perempuan, yang justru sangat dicintai dan digandrungi suaminya.

Tentu saja masih banyak keputusan-keputusan Nabi Saw, dalam berbagai hadits, yang didasarkan pada pengalaman nyata yang dialami perempuan. Ke depan, kita perlu fatwa-fatwa, terutama yang menyangkut perempuan, dengan benar-benar merujuk dan mempertimbangkan pengalaman nyata yang dialami dan dirasakan perempuan. Berfatwa dengan cara ini adalah teladan Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam. []

 

Tags: FatwaFiqih PerempuanHaidKongres Ulama Perempuan IndonesiaMenstruasiMetode Istiqra'pengalaman perempuanulama perempuan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version