Surat Al-Baqarah diawali dengan tiga huruf (a-l-m) ditulis tersambung tetapi dibaca terpisah. Ia dibaca terpisah karena ketiganya tidak membentuk satu kata yang bermakna. Ia dibaca satu persatu sebagai huruf yang terpisah (al-ahruf al-muqaththa’ah): alif-laam-miiim (ayat 1). Ulama berbeda pendapat tentang makna ketiga huruf ini. Mayoritas ulama menyerahkan maknanya kepada Allah Swt: “Kita tidak tahu, Allah Maha tahu”.
Beberapa menerka dan mengira-ngira makna ketiga huruf ini. Di antara penjelasan yang paling memuaskan, menurut saya, adalah pandangan bahwa ketiga huruf itu (alif-laam-miim) hadir untuk mengambil perhatian para pendengar dan pembaca. Bahwa ada hal penting yang akan disampaian, setelah ini, dan itu perlu diperhatikan dari semua pendengar dan pembaca. Semacam halo, hey, wooi, atau yang lain. Tetapi ketiga huruf ini lebih kuat dan sangat menghentak, karena belum pernah digunakan masyarakat Arab sama sekali.
Ayat yang kedua menegaskan bahwa “Kitab ini tanpa ragu menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”. Dzaalika al-kitaab laa raiba fiihi, hudal lil muttaqiin (ayat 2).
Frase “dzalika al-kitaab” sendiri secara bahasa berarti “kitab itu”, menunjuk pada sesuatu yang jauh. Tetapi banyak ulama yang mengartikannya “kitab ini”, menunjuk pada sesuatu yang lebih dekat. Kalau jauh berarti kitab (buku) yang ada di atas yang tidak terlihat (ghaib) yang sudah sempurna, atau kitab-kitab terdahulu. Kalau dekat, ia berarti sesuatu yang ada di hadapan pembaca, yaitu kitab al-Qur’an yang di tangan yang, saat itu, masih berproses dan belum diturunkan semua.
Tetapi yang pasti, jika menggunakan interpretasi kronologis, maka “kitab ini” juga tidak merujuk pada kitab lengkap al-Qur’an sebagaimana yang kita kenal sekarang. Karena saat itu, al-Qur’an belum diturunkan semua dan belum dikumpulkan menjadi satu kitab utuh. Surat al-Baqarah sendiri adalah surat pertama yang turun ketika Nabi Muhammad Saw mengawali hidup di Madinah. Masih ada sepuluh tahun lagi Nabi Saw hidup di Madinah dan masih banyak lagi surat dan ayat yang turun setelah ayat kedua al-Baqarah itu (dzaalika al-kitaab).
Ulama berbeda pendapat tentang makna “dzalika al-kitaab” kemana arah tujuannya. Kitab apa atau buku yang mana. Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya menjelaskan ada lebih dari sepuluh pendapat ulama tentang makna “dzalika al-kitaab”. Di antaranya adalah kitab (ketentuan) kasih sayang, catatan takdir yang azali, lauh al-mahfudz, kitab al-Qur’an yang masih di langit sebelum turun ke bumi, ayat-ayat al-Qur’an yang sudah diturunkan di Mekkah, ayat-ayat al-Qur’an yang baru turun di Madinah, Kitab Taurat, Kitab Injil, kedua Kitab (Taurat dan Injil), dan makna dari ketiga huruf terpisah itu (alif-laam-miim) (Lihat: al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal. 111).
Dalam konteks tafsir mubadalah, pendapat pertama lebih tepat dan akan dipakai di tulisan pendek ini. Pertama karena kitab (ketentuan) kasih sayang memiliki landasan hadits yang sahih (Sahih Muslim, no. hadits: 7147). Dalam hadits itu, disebutkan ada kitab yang ditulis Allah Swt berupa tentang kasih sayang-Nya yang melampaui kebencian-Nya.
Kedua, kata “dzalika al-kitab” berarti kitab itu atau kitab ini harus definitif dan sudah disebutkan. Ketentuan kasih sayang sudah disebutkan sebagai substansi dari Surat al-Fatihah yang turun lebih dahulu dari al-Baqarah, dan dalam Mushaf juga ditempatkan sebelum al-Baqarah. Ini sudah definitif karena sudah turun sebelum al-Baqarah.
Ketiga, ketentuan ini juga menjadi substansi dari kalimat Bismilah yang diulang jutaan kali dalam sehari oleh umat Islam dunia dari dulu sampai sekarang.
Keempat, ajaran kasih sayang juga menjadi substansi utama dari seluruh ayat-ayat al-Qur’an (QS. Ad-Dukhan, 44: 1-6), dan menjadi misi utama perutusan Nabi Muhammad Saw (QS. Al-Anbiya, 21: 107).
Kelima, kasih sayang merupakan akhlak mulia Nabi Muhammad Saw (QS. Ali Imran, 3: 139 dan QS at-Taubah, 9: 128).
Kata “Dzalika al-kitaab” merujuk pada suatu kitab (“itu” atau “ini” sama saja) tertentu. Kitab di sini mengambil salah satu arti literal dalam Bahasa Arab, yaitu ketentuan atau kewajiban, seperti pada ayat an-Nisa (QS. 4: 103). Ketentuan di sini, seperti ditegaskan pada hadits Sahih Muslim adalah prinsip kasih sayang yang menjadi sifat Allah Swt, yang juga diperintahkan agar menjadi sifat para hamba-Nya. Ketentuan ini, tentu saja, tanpa ada keraguan (laa raiba fiih), menjadi panduan (hidayah) bagi orang-orang yang bertakwa dalam menjalani kehidupannya, agar sukses (al-muflihuun), baik di dunia (fid dunya hasanah), maupuan di akhirat (fil akhirati hasanah).
Panduan (hidayah) di sini sama persis dengan petunjuk yang diminta di Surat al-Fatiha (ihdinaa). Yaitu prinsip kasih sayang dalam relasi vertikal (‘ubuudiyah) maupun horizontal (mubaadalah) yang menjadi jalan kehidupan yang lurus (ash-shiroath al-mustaqiim). Karena itu, ciri-ciri orang bertakwa pada ayat berikutnya adalah mereka yang memiliki relasi vertikal yang kuat dengan Allah Swt, dengan selalu menegakkan shalat, dan relasi horizontal yang baik dengan sesama manusia, melalui perilaku selalu berbagi antar sesama dari rizki yang diterimanya dari Allah Swt.
Alladziina yu’minuuna bil-ghaibi wa yuqiimuna sh-sholaata wa mimma rozaqnaahum yunfiquun (ayat 3). Orang-orang bertakwa adalah mereka yang meyakini hal-hal yang tidak terlihat (ghaib), mendirikan shalat, dan berbagi kepada orang lain dari rizki yang Allah Swt berikan kepada mereka. Di sini, keimanan pada ghaib, shalat, dan perilaku berbagi laksana segitiga emas yang saling menguatkan satu sama lain. Ketiganya adalah ciri khas orang-orang bertakwa.
Takwa di sini, karena itu, bukanlah ketakutan pada Allah Swt, sebagaimana biasa diterjemahkan selama ini. Tetapi, takwa lebih merupakan kesadara diri akan kehadiran Allah Swt. Yaitu kesadaran bahwa Dia Allah Swt yang selalu berada bersama kita (QS. At-Taubah, 9: 40), melihat seluruh aktivitas kita (QS. Al-Hujurat, 49: 18), mengetahui suara hati kita bahkan bisa lebih dekat dari itu (QS. Qaaf, 50: 16), dan mendengar doa-doa kita (QS. Ali Imran, 3: 38). Kesadaran akan kehadiran Allah Swt termasuk pada keimanan pada hal-hal yang tidak terlihat (ghaib). Karena Allah Swt adalah Dzat yang melihat kita dan sama sekali tidak terlihat oleh kita.
Tetapi hal-hal yang tidak terlihat, sesungguhnya banyak sekali. Kita harus meyakini keberadaanya, sekalipun tidak terlihat, sebagai sumber keimanan, pengetahuan dan kebaikan. Ada hal-hal yang tidak terlihat pada masa lalu, seperti para rasul, nabi, dan kitab-kitab mereka yang diturunkan Allah Swt, juga orang-orang baik di masa lalu yang menginspirasi kebaikan-kebaikan untuk kita. Ada hal-hal yang tidak terlihat pada masa sekarang, seperti pengalaman orang-orang baik, yang tidak kita alami sendiri dan tidak kita lihat langsung. Juga ada hal-hal yang tidak terlihat, karena ia berada di masa depan, seperti balasan kebaikan dan keburukan yang kita lakukan, terutama hal-hal ghaib di hari akhir.
Walladziina yu’minuuna bimaa unzila ilaika wa maa unzila min qablika wa bil aakhirati yuqinuun (ayat 4). Dan orang-orang yang meyakini apa yang telah diturunkan Allah Swt kepadamu (wahai Muhammad) dan kepada orang-orang sebelum kamu. Mereka juga beriman pada kepastian datangnya hari akhir. Ulaa’ika ‘alaa hudan min rabbihim wa ulaa’iku hum ul-muflihuun (ayat 5). Mereka ini, yaitu orang-orang yang beriman pada hal ghaib, selalu shalat dan berbagi, adalah orang-orang yang terpandu hidayah Tuhan mereka, sehingga merekalah yang nanti akan menjadi orang-orang yang sukses dalam mencapai tujuan dan cita-cita mereka.
Seseorang dikatakan sukses hidup (al-muflihuun), di dunia dan di akhirat, adalah ketika ia berpandukan hidayah Allah Swt (hudan min rabbihim) dalam menjalankan seluruh aktivitasnya. Hidayah ini, seperti pada surat al-Fatihah, adalah jalan lurus dalam relasi seseorang dengan Allah Swt, yang dalam ayat al-Baqarah direpresentasikan dengan shalat (yuqiimuuna ash-sholaat), dan relasinya dengan sesama manusia, yang di sini berupa perilaku berbagi antar sesama (yunfiquun). Relasi vertikal dan horizontal ini harus bersumber pada ketentuan (dzaalika al-kitaab) kasih sayang, yang tanpa ragu sama sekali (laa raiba fiih), menjadi satu-satunya panduan bagi orang-orang bertakwa (hudan lil muttaqiin).
Dengan demikian, “kitab” kasih sayang adalah panduan kita semua, sebagai orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini. Baik dalam relasi kita dengan-Nya, maupun relasi kita sesama hamba-hamba-Nya. Dengan panduan “kitab” ini, insya Allah, kita semua akan menjadi orang-orang yang sukses dan bahagia hidup di dunia dan akhirat. Amiin. Wallahu a’lam.