“Tolong Pak Jokowi, Saya tak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI, saya trauma buah zakar dicoret spidol oleh mereka.”
Mubadalah.id – Begitu salah satu kutipan surat terbuka dari MS, seorang pegawai lembaga Komisi Penyiaran Indonesia terkait pelecehan seksual yang dialaminya. Terlihat sekali ia sangat tertekan dan menderita akibat perundungan dari sesama rekan kerjanya.
Namun, ketika isu ini mencuat, alih-alih mendapatkan banyak dukungan, ia masih saja mendapatkan cemoohan dari warganet. Hal ini tergambar dari beberapa komentar yang dilontarkan netizen di kanal-kanal media sosial, “duh, si MS ini laki bukan sih?! Cemen banget.”
Tak hanya meragukan kesaksian MS, mereka juga melihat bahwa hal-hal yang dialami oleh MS seharusnya dianggap sebagai keisengan belaka, bukan sebagai bentuk pelecehan seksual. Padahal dalam kamus pelecehan seksual, laki-laki maupun perempuan bisa saja menjadi korban.
Merujuk konsep dari the Equal Employment Opportunity Commission (EEOC), tindakan pelecehan seksual di tempat kerja sendiri dapat dijabarkan melalui bentuk-bentuk tindakan berikut: rayuan seksual yang tidak diinginkan, permintaan paksa untuk melakukan rangsangan seksual, dan perilaku verbal atau fisik lainnya yang bersifat seksual yang secara eksplisit atau implisit yang selanjutnya berpengaruh pada jaminan pekerjaan seseorang/mengganggu kinerja kerja seseorang secara tidak wajar; atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan, atau menyinggung yang menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Tentu, dari rincian tadi, apa yang MS sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan pelecehaan seksual. Terlebih hal itu menimbulkan depresi dan trauma mendalam bagi korban. Namun, dibandingkan dengan pelecehan seksual kepada perempuan, kasus pelecehan terhadap laki-laki terhitung jarang mengemuka di hadapan publik. Selain karena kepedulian lebih diarahkan kepada perempuan yang dari waktu ke waktu telah mengalami perlakuan seksis dan merendahkan, alasan lainnya adalah karena tidak banyak dari mereka yang mau angkat suara terkait hal ini.
Laki-laki korban pelecehan seksual lainnya yang mau terbuka dengan inisial G mengatakan bahwa ia sejujurnya malas bercerita karena apa yang ia alami selalu dianggap sebagai jokes, tak pernah dianggap serius oleh lingkungan sekitarnya. Bahkan ia sempat dianggap berlebihan ketika ia mengeluhkan perlakuan rekan kerjanya yang dengan sembarangan menciumi lehernya dari belakang. Saat tindakan itu berlangsung, beberapa koleganya malah tertawa, dan menimpali bahwa itu hanya sekadar perbandingan agar ia juga tahu perasaan perempuan korban pelecehan seksual.
Gambaran pengalaman MS dan G tersebut seakan menunjukkan bahwa PR kita untuk meminimalisir dampak negatif budaya perkosaan atau rape culture agaknya butuh perjuangan panjang. Terlebih, mayoritas masyarakat masih memaklumi berbagai tindakan pelecehan seksual yang terjadi di sekitar kita. Contoh kecilnya saja catcalling. Banyak dari warga justru dengan entengnya bersiul-siul menggoda atau melontarkan kata-kata tak pantas dan menganggap bahwa apa yang mereka lakukan tak perlu diambil hati.
Sebab itu hanya metode penghiburan diri. Tak heran, ketika catcalling terus menerus dinormalisasi, tindakan tak senonoh lainnya pun dijustifikasi dengan alasan sama. Seperti kesaksian pelaku pelecehan terhadap MS yang menyatakan bahwa mereka hanya iseng, sehingga MS tak perlu repot-repot melapor kepada polisi.
Secara tidak langsung, para pelaku dalam hal ini sedang mengarahkan masyarakat untuk mempersalahkan korban dengan dalih bahwa MS terlalu lebay, agar selanjutnya kasus tersebut dapat lewat begitu saja bagaikan angina lalu. Dengan kata lain, pegawai senior KPI itu ingin menghindari pertanggungjawaban atas tindakannya.
Dari kisah MS, ke depannya kita tidak bisa menutup mata bahwa pelecehan maupun kekerasan seksual terhadap laki-laki memang ada dan butuh diberantas layaknya kekerasan seksual terhadap perempuan. Seperti yang dialami perempuan, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap laki-laki terbagi menjadi dua jenis, yaitu child sexual abuse (CSA) dan adult sexual abuse (ASA).
Berdasarkan data dari Department of Justice Canada dalam jurnal “Male Survivors of Sexual Abuse and Assault: Their Experiences”, 57 dari 59 partisipan mengalami pelecehan seksual ketika masih dalam usia kanak-kanak. Data yang lebih mengejutkan lagi, 53 dari 57 partisipan tersebut menjadi korban pelecehan dari orang-orang yang telah mereka kenal, seperti anggota keluarga.
Hasil ini senada dengan laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami anak laki-laki. Pada 2018, KPAI mencatat terdapat 122 anak laki-laki serta 32 anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual, dimana semua pelakunya adalah laki-laki. Meski dalam beberapa kasus yang tak banyak dilaporkan, ada juga pelaku perempuan dalam pelecehan seksual, terutama mereka yang memiliki otoritas lebih tinggi dalam relasi kuasa.
Meski persentase korban laki-laki dalam kasus pelecehan seksual jauh lebih rendah dari perempuan, mengabaikan apa yang mereka alami dan rasakan justru akan memperburuk keadaan dan semakin melanggengkan rape culture yang telah mengakar kuat di lingkungan kita.
Oleh karenanya, selain masyarakat Indonesia harus lebih terbuka dan peka terhadap isu ini. Kita juga perlu media konseling bagi para korban laki-laki, dengan harapan bahwa bantuan tersebut akan dapat meningkatkan kewaspadaan, membuka ruang dukungan terhadap para korban, dan memberikan hukuman yang adil bagi para pelaku. []