• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Latah Ekosufisme: Sebuah Refleksi

Eco-sufism, sebagai kesadaran praksis, adalah daya-penghayatan atas hidup beserta semesta di sekitarnya dengan kesadaran spiritual.

M. Naufal Waliyuddin M. Naufal Waliyuddin
05/01/2025
in Pernak-pernik
0
Ekosufisme

Ekosufisme

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – September tahun lalu, teman-teman Tasawuf Psikoterapi UIN SATU Tulungagung seperti sedang “tersesat”. Mereka mengundang saya untuk berbagi materi di acara Education Sufism Camp (28-29/09/2024) di dataran tinggi sejuk bumi Tulungagung. Tema yang diusung pun cukup gegar, yakni ekosufisme dengan redaksi tajuk berbunyi “Sufi Sang Penjaga Bumi”. Waduh. Berat juga.

Judul itu cukup ampuh membikin kening saya mengkerut sambil sedikit menahan senyum getir bercampur geli. Namun, setelah desakan salah seorang teman yang menjadi senior para panitia, saya menyanggupi hadir. Ini semata saya niatkan untuk menyapa dan berkenalan dengan sesama murid jurusan terunik se-Indonesia bernama Tasawuf Psikoterapi (TP)—yang mana diri saya jebolan dari UIN Bandung.

Menariknya, begitu bertemu teman-teman peserta yang mayoritas semester 3 dan 5 strata satu di UIN Tulungagung itu, saya mendapat fakta mencengangkan. Hampir 90% dari mereka mengaku bahwa menjadi mahasiswa TP merupakan ‘kecelakaan sejarah’. Dengan kata lain, itu bukan pilihan tulus mereka. Bisa kita bilang aslinya mereka tidak minat dan terjerumus di jurusan itu.

Tak heran kalau hawa kebingungan, raut penasaran sambil merasa aneh, juga rasa menertawakan pilihan sendiri muncul dari ekspresi wajah, gerak mata, bibir, dan pengakuan langsung dari para peserta hari itu. Banyak dari mereka bertanya-tanya.

Sufi itu apa sih aslinya? Apa pula zuhud itu? Masihkah relevan di zaman sekarang? Realistis untuk kita praktikkan? Emang cocok buat anak muda? Ciri seorang Zahid yang asli dan mana yang kamuflase atau gimmick itu apa saja? Hingga apa peran sufi dan tasawuf dalam masalah ekologis hari ini?

Baca Juga:

Kisah Rumi, Aktivis, dan Suara Keledai

Tasawuf Perspektif Buya Syakur Yasin

Keterlibatan Disabilitas dalam Menghadapi Krisis Iklim dan Lingkungan

Teologi Cinta Ibnu Sina: Semua Bermula dari Cinta

Perjumpaan dengan para peserta yang punya rasa penasaran genuine itu membuat batin saya terenyuh. Saya merasa gembira sekaligus bersyukur mengiyakan ajakan panitia, sambil di saat yang sama mengaku gusar pada sejumlah hal. Ini yang saya rasa penting untuk saya bagikan pada pembaca.

Tak Perlu Zuhud, Hidup Sederhana Saja Sudah Prestasi bagi Anak Muda

Baik laki-laki maupun perempuan, banyak dari peserta acara kemah edukasi itu bertanya soal praktik zuhud di zaman ini apakah memungkinkan. Dan ini sudah menjadi pertanyaan saya sendiri sejak studi S1 di TP UIN Bandung, dan karenanya, perlu kita uraikan secara khusus.

Sudah banyak tokoh sufi yang menyumbangkan makna tentang zuhud. Imam Junaid al-Baghdadi (anak penjual kaca dan sufi yang juga berdagang sutera), misalnya, mengartikan zuhud sebagai kesadaran dan sikap untuk menganggap dunia “kecil” dan keberanian untuk mengikis pengaruhnya di dalam hati (batin). Sufyan Ats-Tsauri memaknainya sebagai membatasi keinginan, dan membuat skala prioritas antara mana yang utama, mana yang sepele.

Dalam banyak kasus, ada dua ekstrem pandangan terkait zuhud. Pertama, zuhud kita artikan mentalak-tiga dunia. Artinya kau cerai dengannya dan takkan pernah rujuk lagi. Kedua, ada pandangan bahwa untuk zuhud, kau musti kaya dulu. Zuhud, bagi pandangan ini, bukanlah justifikasi atas kemiskinan dan menyengsarakan keluarga batih, melainkan suatu sikap ksatria bahwa sekalipun kau kaya, kau takkan risau dan cengeng jikapun kehilangan segalanya. Terserah Anda mau menganut yang mana.

Namun begitu, di era terkini mungkinkah zuhud kita terapkan? Apalagi bagi kalangan muda-mudi yang dibanjiri konten “para sultan” pamer harta, influencer dan motivator promosi “kaya sebelum umur 30” dan merdeka finansial sebelum punya cucu.

Betapa malang generasi muda jika kita tuntut mereka secara berlebihan. Mereka tidak ikut merusak bumi, belum pernah merasakan kenikmatan-kenikmatannya, eh, malah sudah ditodong untuk zuhud—tanpa mengerti apa maksud dan modus politis serta persoalan struktural dari desakan itu semua.

Manusia Segala Cuaca

Terlepas dari ihwal pelik tersebut, ada hal yang dapat kita petik mengenai praktik zuhud. Setidaknya, secara kualitatif, nilai inti dari praktik zuhud adalah aspek kesederhanaan. Dan ini dapat kita ambil-terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh sederhananya, tidak memberhalakan merk branded. Tidak silau akan pangkat jabatan wa akhowatuha.

Bahwa antara manusia gus-kyai, professor, presiden, dengan tukang becak, pemulung, dan bakul pecel tiada bedanya. Mereka pernah bayi, ngompol, dan berasal dari air mani. Di level tertentu, kesadaran ini amat penting dan bermanfaat besar untuk menandaskan nilai-nilai kesetaraan sejak dalam pikiran.

Lagi pula, secara sederhananya, zuhud adalah sebuah sikap untuk tegas menghindari “kesementaraan” dan menuju “keabadian”. Pangkat, merk, dan simbol-simbol adalah kesementaraan. Yang abadi justru jauh tersembunyi di kedalaman lubuk batinmu.

Zuhud dalam sehari-hari dapat kita peras menjadi sikap sederhana dan sadar prioritas. Tahu mana yang perlu kita perjuangkan dan mana yang sekadar butuh atau bahkan layak untuk kita kesampingkan. Sikap ini akan mencegah anak muda dari menjadi pribadi “bermental balon”: mengembang ketika ditiup dan meletus ketika tertusuk jarum. Tiupan di situ dapat bermakna pujian, tusukan jarum bisa kita maknai celaan orang atau kritik.

Mereka yang terlatih berkesadaran ini akan punya kualitas manusia segala cuaca (human of all season). Dalam bahasa umat Islam, pada taraf tertentu yang memuncak, mereka akan matang menjadi pribadi berkualitas wali: la khoufun ‘alaihim wa la hum yahzanun. Tidak cemas, no overthinking, tidak pula bersedih hati.

Ekosufisme: Gerakan atau Sekadar Latah?

Selain aspek itu, ada hal yang membuat saya gusar. Ada potret ganjil yang saya temui di acara. Begitu membaca tema acara hari itu, saya tentu terkesima sambil geli. Betapa berat tema yang panitia usung: Eco-sufism dengan subjudul “Sufi Sang Penjaga Bumi: Menggali Tradisi Spiritual untuk Solusi Lingkungan”.

Menariknya, tema sebesar itu bersanding dengan konsumsi yang dibungkus serba plastik! Benda yang begitu isinya yang terbungkus itu sudah tuntas dan masuk ke perut, ia akan berakhir menjadi sampah dan polutan terbesar di muka bumi hari ini. Betapa kontras sekaligus ironis.

Dari sini saya bisa membaca bahwa semua ini, dan memang sering menjengkelkan, adalah dampak dari “latah jargon”. Begitu muncul istilah baru, orang secara norak beramai-ramai memakainya di seminar-seminar, di ruang-ruang kelas, di konferensi, hingga di media massa arus utama dan alternatif. Begitulah nasib “eco-sufism”. Mirip dengan Pancasila: kita lebih suka menghafalkannya, menyanyi-nyanyikannya, merapatkannya, alih-alih mewujudkan dan menerapkannya.

Tapi saya tahan kritik itu. Saya anggap sebagai ketidakmengertian. Toh, pejuang lingkungan yang sesungguhnya tidak mungkin lahir hanya dalam satu malam. Ia musti menyesapi hingga ke intisari pengalaman organik yang menyentuh hingga ke lubuk terdalam dan menubuh ke dalam laku sehari-hari.

Bahwa untuk sadar dan mau menjaga sungai, orang musti mengalami betapa sengsaranya tidak dapat minum air segar, betapa tidak asyiknya mandi di sungai keruh, kesulitan mencari air bersih untuk mencuci baju, atau untuk sekadar memancing dan melamunkan sejarah lahirnya bumi dan ruang antariksa. Bahwa untuk sedia menjaga kucing, burung-burung, orang musti mengenyam dulu betapa sepi dan muramnya hidup jika tanpa dihiasi tingkah lucu dan kicau-kicau merdu dari mereka.

Kesadaran Praksis Ekosufisme

Di sinilah pentingnya ekosufisme sebagai kesadaran praksis, bukan sekadar jargon yang eye-catchy dan laris di pasaran jurnal-jurnal. Dengan mempelajari kesadaran holistik dan kesalingterkaitan kosmologis dari para kaum sufi, kepekaan kita terhadap alam akan terasah.

Melihat dan menyimak gemerisik ranting-ranting bambu di halaman belakang, kita teringat napas yang kita serap dan semayam di dalam tubuhnya. Bahwa ada sehembus napas kita di ranting bambu itu. Begitu juga dengan dengus napas tak terlihat dari daun bambu itu, ia meresap ke dalam paru-paru dan menjadi denyut hidup dari tubuh kita.

Lalu saat memakan soto di hari Rabu yang acak, kau akan teringat jasa para petani, juga peran cacing, air, tanah, udara, sinar mentari, juga organisme-organisme mikroskopik yang tak kasat mata, yang berjasa menumbuhkannya. Juga jejak keringat dari para sopir, admin, bakul nasi untuk para buruh di dekat pabrik tekstil itu, diam-diam terkandung di sehelai benang di baju yang sedang kau kenakan sekarang.

Eco-sufism, sebagai kesadaran praksis, adalah daya-penghayatan atas hidup beserta semesta yang melingkupinya dengan kesadaran spiritual. Ia menandaskan makna bahwa dalam hidup ini kita benar-benar harus mengupayakan rahmatan lil-‘alamin. Suatu kasih kesemestaan yang tak bisa dipersempit hanya lil-muslimin, lil-mu’minin, atau lil-jawiyyin, lil-nahdliyyin, lil-muhamadiyyin, apalagi li-jokowi wa bahlil. Ia adalah rentangan tangan kasih ke seluruh semesta tak terhingga.

Dan untuk menerapkannya, kita perlu kualitas syaja’ah: keberanian berkata tidak pada perusakan bumi. Berani membersamai masyarakat sipil membela lingkungan hidup mereka yang direnggut orang-orang tak bertanggung jawab. Tangguh dan teguh pendirian dalam mengupayakan perlindungan bagi ruang hidup kita bersama (terra viva), bukan hanya ruang hidup buat segelintir pihak. []

_____________

Catatan: sejumlah poin isi di tulisan ini telah juga saya sampaikan dalam epilog buku kumpulan esai “Sufi Sang Penjaga Bumi” terbitan mandiri HMPS Tasawuf Psikoterapi UIN SATU Tulungagung.

Tags: Anak MudaEkologiFilsafat dan TasawufHidup SederhanaKrisis EkologisKrisis IklimSufiSufismetasawufWali Zuhud
M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Redaktur metafor.id. Peneliti swadaya seputar generasi muda dan sosial keagamaan. Alumni Tasawuf Psikoterapi dan Interdisciplinary Islamic Studies. Pegiat literasi dan seni yang kerap menulis dengan nama pena Madno Wanakuncoro.

Terkait Posts

Mengapa Bekerja

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

10 Mei 2025
perempuan di ruang domestik

Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

9 Mei 2025
PRT

Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

9 Mei 2025
Aurat dalam Islam

Aurat dalam Islam

9 Mei 2025
Menikah adalah Separuh Agama

Benarkah Menikah Menjadi Bagian dari Separuh Agama?

9 Mei 2025
Kopi Kamu

Kopi Kamu: Ruang Kerja Inklusif yang Mempekerjakan Teman Disabilitas

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT

    Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version