• Login
  • Register
Sabtu, 1 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Moderasi Beragama Melalui Sufisme: Sebuah Tawaran

Ajaran sufi dalam tasawuf menawarkan metode penyucian diri dari multipotensi destruktif dan anasir buruk dalam internal individu

M. Naufal Waliyuddin M. Naufal Waliyuddin
05/05/2022
in Publik
0
Moderasi Beragama Melalui Sufisme: Sebuah Tawaran

Moderasi Beragama Melalui Sufisme: Sebuah Tawaran

135
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Moderasi beragama melalui sufisme adalah sebuah tawaran yang penting untuk dibicarakan. Telah banyak disuguhkan pada kita berita-berita mengenai keterlibatan anak muda di Indonesia dalam arus konservatisme, radikalisme sampai violent-extremisme.  Survey lampau dari BNPT (2017) mengutarakan bahwa 39% mahasiswa Indonesia di 15 provinsi tertarik pada paham radikal.

Di tahun yang sama, PPIM UIN Jakarta merilis laporan peninjauan mereka terhadap 2.181 responden (guru, siswa, dan mahasiswa) dari 34 provinsi tentang agama, negara, dan intoleransi. Hasilnya cukup menggiriskan; 37,71% setuju bahwa jihad sama dengan perang dan membunuh (qitāl). Kemudian 23,35% sepakat kalau bom bunuh diri adalah jihad Islam. Responden riset ini, ironisnya, didominasi oleh anak muda.

Ini menegaskan bukti bahwa, pada dasarnya, gairah keagamaan generasi muda Indonesia cukup besar. Hanya saja, itu tidak dibarengi oleh pemahaman lengkap mereka dan rasa kasih sayang antarsesama. Sebagai konsekuensi, tidak sedikit dari kalangan muda yang terjerumus ke kelompok ekstremisme keagamaan.

Daftar Isi

  • Munculnya Inisiatif P/CVE
  • Baca Juga:
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan
  • Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia
  • Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan
  • Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya
  • Anak Muda dan Perilaku Keagamaan yang Narsis
  • Berebut Klaim Kebenaran Hingga di Jagat Maya
  • Tawaran Nilai-nilai Ajaran Sufistik

Munculnya Inisiatif P/CVE

Tidak aneh jika kemudian banyak narasi dominan dan inisiatif sipil yang mengarusutamakan moderasi beragama untuk mencegah peningkatan gejala tersebut. Salah satu di antaranya dikemas secara strategis dan berkelanjutan dalam format gerakan internasional bertema “preventing & countering violent extremism” (disingkat P/CVE).

Respons tersebut tentu beririsan dekat dengan multi-istilah seperti xenophobia (perasaan takut dan benci terhadap orang asing atau yang belum dikenal) dan radikalisme—yang menuai cukup banyak sawala diskursif. Mengenai penggunaan term terakhir ini, di sejumlah forum akademik dan non-akademik banyak dibahas dan diperdebatkan.

Baca Juga:

Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya

Di Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan BNPT 11 November 2019 ada poin ketidaksepakatan dengan diksi “radikalisme” dan menyarankan agar menggantinya dengan violent extremism. Berkaca dari sini, tampak ada kesinambungan wacana internasional mengenai kewaspadaan pada masalah ekstremisme kekerasan.

Otomatis, isu tersebut memang menagih keseriusan banyak pihak dalam memproduksi strategi (preventif dan kuratif) yang jitu dan berdampak. Terlebih dalam menyasar dan melibatkan generasi muda selaku aktor sekaligus golongan yang rawan menjadi ‘target market’ dari kelompok ekstrem.

Anak Muda dan Perilaku Keagamaan yang Narsis

Salah satu faktor yang menimbulkan anak muda tertarik kepada paham ekstremisme kekerasan yang berbasis doktrin keagamaan adalah tendensi narsisisme. Dengan adanya atmosfer sosial dan infrastruktur teknologi digital masa kini, semua itu ikut mewadahi kecenderungan narsisisme dalam diri mereka. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia belaka, melainkan di penjuru bumi.

Kata narsisisme sebagai term psikologi, sebelum terdistorsi makna dan menjadi peyoratif sebagai aktivitas gemar selfie dan posting, bukan sekadar perilaku mencintai diri sendiri semata. Lebih dari itu, narsisisme merupakan gejala permulaan dari gangguan kepribadian yang membuat individu merasa superior, egois, kagum akan diri sendiri, dan kurang rasa empatinya.

Secara dramatis, gejala ini merebak di abad digital sampai bahkan bisa memuai dan membengkak menjadi narsisisme kolektif. Agnieszka Golec de Zavala menamainya “collective narcissism” yang dapat merambah ke multisektor mulai dari nasionalisme, etnosentrisme, hingga keagamaan.

Dengan begitu, narsisisme religius kolektif dapat dipandang sebagai sebuah kecenderungan sosial-psikologis kelompok yang merasa superior, istimewa, paling benar, kagum akan kelompok sendiri, dan menegasikan kelompok liyan hingga mendiskriminasi. Secara garis besar, karakteristik utamanya: asserting superiority, devaluing others, egoistically motivated, higher in rivalry, over admiration of themselves, dan lack of empathy.

Imbas dari ini tentu saja dapat memicu sikap dan perlakuan yang menghinakan sesama manusia. Sebagaimana kita amati sendiri, banyak kelompok terkini yang berlaku senewen dengan menuduh orang-orang di luar kelompoknya sebagai kaum bid’ah, sesat, layak dinistakan, bahkan dibunuh—contoh ekstremnya: kasus ISIS. Dan tidak sedikit anak muda yang tersurupi kecenderungan semacam ini dan sudah tampak di jagat maya.

Berebut Klaim Kebenaran Hingga di Jagat Maya

Dalam praktiknya di ruang publik, narsisisme religius kolektif ini dapat mengambil beragam wujud. Ada yang secara sikap sosial sudah menutup diri (eksklusif), ada juga yang masih terbuka namun mendiskriminasi orang lain (intoleran) hingga terpantau di medsos.

Faktor-faktor yang menyebabkannya cukup variatif. Dalam ranah keagamaan, beberapa hal yang melatarinya antara lain: beban historis yang serupa, common enemy, aspek sosial politik, penafsiran doktrin teologis, dan logika kelompok yang sempit.

Sebagai contoh ilustratif mengenai penafsiran eksklusif dan logika parsial-eksklusif di atas, dalam dunia Muslim terdapat hadis tentang firqah. Bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 akan celaka, yang 1 selamat.

Ada beberapa kelompok ekstrem yang memaknainya secara ‘egois’ dengan logika in-group yang parsial dan merasa ge-er bahwa mereka-lah yang satu itu, sehingga layak selamat. Jarang ada yang mengafiliasikan ke dalam 72 golongan yang akan celaka dan dengan begitu mereka akan memiliki semangat besar untuk membenahi diri dan kelompok agar kelak selamat dan terpilih sebagai golongan yang selamat itu.

Tawaran Nilai-nilai Ajaran Sufistik

Ada beberapa catatan atas tawaran moderasi beragama melalui sufisme. Menengarai serangkaian konflik keagamaan dan tantangan sosial di atas, memang sudah banyak upaya moderasi beragama dalam aneka format, namun baru sedikit yang mendayagunakan nilai-nilai tasawuf sebagai strategi implementatif. Padahal sebagai suatu ‘jalan spiritual menuju Tuhan’, ajaran sufi dalam tasawuf menawarkan metode penyucian diri dari multipotensi destruktif dan anasir buruk dalam internal individu.

Beberapa di antara tawaran moderasi beragama melalui sufisme atau nilai-nilai sufistik yang potensial dijadikan instrumen P/CVE sekaligus strategi moderasi beragama—minimal dalam internal umat Islam sendiri, antara lain:

  1. Muḥāsabah : Upaya instrospeksi, menghitung diri sendiri atau evaluasi personal mengenai baik dan buruk dalam semua aspek kehidupan yang telah dijalani. Melalui ini, individu atau kelompok akan lebih optimal dalam meredam sifat ‘ujub dan rasa superior mereka.
  2. Al-ḥazm : Sebuah tekad, keteguhan, atau juga kehati-hatian (circumspection) dalam menghukumi sesuatu. Ini potensial untuk mencegah over-generalization dan misjudgement yang keliru. Dengan kualitas ini pula kita tidak akan tergesa-gesa menjatuhi hukuman sesat atau bid’ah ke kalangan di luar kelompok kita (out-group).
  3. Tawāḍu’ : Sikap rendah hati yang akan menekan kecenderungan psikologis (individu maupun kelompok) yang gemar memaksakan klaim mereka dan mendevaluasi yang lainnya.
  4. Maḥabbah : Cinta, sebuah hal yang disepakati universal sebagai sesuatu yang mulia dan luhur. Dengannya, seseorang atau kelompok lebih bersifat empatik, altruis, dan tidak ringan hati untuk mendiskriminasi orang lain.

Apabila keempat tawaran moderasi beragama melalui sufisme atau nilai sufistik di atas diberdayakan sebagai langkah gradual, disisipkan ke modul P/CVE dengan penyesuaian model pelatihan, tidak menutup kemungkinan hal-hal tersebut dapat menepis potensi ekstremisme dan menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Dampaknya boleh jadi akan terasa dengan minimnya kecenderungan menuding sesat dan bersikap intoleran.

Demikian tulisan tentang tawaran moderasi beragama melalui sufisme. Semoga bermanfaat.[]

 

 

Tags: Anak MudaIndonesiaModerasi BeragamaPencegahan EkstremismePerilaku KeagamaanSufitasawuf
M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Founder metafor.id. Alumni Tasawuf Psikoterapi dan Interdisciplinary Islamic Studies. Pegiat literasi dan seni yang kerap menulis dengan nama pena Madno Wanakuncoro.

Terkait Posts

Sepak Bola Indonesia

Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

1 April 2023
Keberkahan Ramadan, Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

31 Maret 2023
Konsep Ekoteologi

Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam

30 Maret 2023
Kasih Sayang Islam

Membangun Kasih Sayang Dalam Relasi Laki-laki dan Perempuan Ala Islam

29 Maret 2023
Ruang Anak Muda

Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya

29 Maret 2023
Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerjaan rumah tangga suami istri

    Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan
  • Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist