• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Lintas Makhluk, Puasa Bukan Hanya Milik Umat Islam

Pada dasarnya kebudayaan dan peradaban, serta agama di masa silam jauh-jauh hari telah juga diperintah berpuasa

M. Naufal Waliyuddin M. Naufal Waliyuddin
02/04/2024
in Featured, Hikmah
0
Puasa Bukan Hanya Milik Umat Islam

Puasa Bukan Hanya Milik Umat Islam

728
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagai Muslim, apakah boleh saya mengklaim bahwa puasa milik umat Islam semata? Jangankan boleh, berani dan nekat berkata begitu saja tidak. Sekalipun untuk perihal puasa umat Islam memiliki romantisme dan estetika tersendiri terhadap bulan suci Ramadan, namun esensi puasa tetaplah universal dan tidak dapat dimiliki secara sepihak.

Bahkan secara gamblang Al-Qur’an menguraikan dalam QS. Al-Baqarah ayat 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ  ١٨٣

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Lafadz kama kutiba ‘alalladzina min qablikum jelas merujuk kepada bangsa, kaum, generasi sebelum kita dan sebelum Rasulullah Muhammad terlahirkan sebagai putra Mbah Kung Abdullah dan Mbah Uti Aminah. Itu bukti bahwa pada dasarnya kebudayaan dan peradaban, dan agama di masa silam jauh-jauh hari telah juga diperintah berpuasa. Adalah hal yang tidak berdasar jika puasa dimonopoli sebagai kepunyaan suatu kaum belaka.

Baca Juga:

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

Noble Silence: Seni Menghormati Waktu Hening untuk Refleksi Keimanan

Lelaku Lintas-Makhluk

Puasa sebagai suatu ibadah, sekaligus penggemblengan lahir-batin untuk meraih peningkatan kualitas diri dan keselamatan, pada hakikatnya tidak pandang agama. Bahkan puasa secara esensial—dalam konteks menahan dan mengendalikan diri—telah telanjur sublim ke dalam hampir semua aspek kehidupan. Puasa hewan, engkau akan ingat dengan puasa ular, ulat dan kepompong.

Hewan lain juga punya kecenderungan naluriah yang khas terkait puasa sesuai Sunnatullah. Sebagaimana beberapa mamalia berhibernasi, menjalani lockdown, physical distancing, menempuh tirakat ash-habul kahfi dalam rentang waktu tertentu.

Puasa laut, pasang-surutnya dan tenang-tsunaminya. Lalu puasa angin, hembus sepoi dan dera badainya. Puasa air, rintik damainya sampai banjir bandangnya. Selain itu, puasa api, hangat-mematangkan hingga membumi-hanguskan. Semesta sejatinya berpuasa. Bahkan Tuhan pun juga berpuasa.

“Dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa peduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya matahari atau tidak. Allah memelihara kesehatan tubuh kita dari detik ke detik meskipun ketika bangun pagi hanya ada satu dua belaka hamba-Nya yang mengucapkan syukur bahwa matanya masih bisa melek. Allah sendiri ‘berpuasa’. Kalau tidak, kita sudah dilenyapkan oleh-Nya hari ini, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu.”

(Emha Ainun Nadjib, dalam buku “Tuhan pun Berpuasa”, hlm. 52)

Maka puasa tidak hanya tak pandang agama. Bahkan ia juga tidak hanya manusia yang menjalaninya. Namun lebih jauh dari itu, hewan, tetumbuhan, seluruh semesta dan bahkan Tuhan sendiri juga ‘berpuasa’.

Puasa dan Laku Manusia Agung

Siddhartha Gautama berpuasa dengan mentidakkan istana dan memilih ‘terjun bebas’ ke ladang tandus kehidupan rakyat kecil. Ibrahim bin Adham seorang sufi yang mantan sultan pun melakukan hal yang mirip. Terlebih para Nabi, puasa telah merasuk ke dalam seluruh tindak perilaku agung beliau-beliau. Juga mohon tidak kaget, sssttt…akan saya bisiki dan jangan bilang-bilang: bahkan orang gila pun selalu berpuasa.

Tidak peduli gondrong compang-camping, atau rapi klimis berdasi sekalipun, puasa siapa saja bisa melakukannya. Tanpa pandang suku, ras, agama, warna kulit, corak bola-mata, selera pakaian, preferensi channel kesukaan, dan drakor genre apa. Puasa sangat membuka diri dan siap menerima untuk siapapun bisa menjalaninya.

Dialektika Puasa-Berbuka

Dasarnya, dialektika puasa-berbuka dapat kita temukan di mana saja. Umpamanya dengan pertanyaan ini: bukankah bersikap ramah di tengah gelombang amarah itu merupakan puasa? Sama halnya saat kita memilih saling mengasihi sesama di tengah pusaran permusuhan dan perseteruan antarumat manusia, adalah juga puasa.

Silakan sebutkan satu hal positif apa saja, engkau akan terantuk kesadaran kecil bahwa itu puasa. Kejujuran, tidak lain adalah puasa dari kebohongan. Atau boleh engkau berikan satu sifat yang engkau sangka negatif, akan saya ungkap bahwa itu juga puasa. Saat engkau marah, sejatinya engkau berpuasa dari kesabaran dan keramahan—atau pada sayap makna lain, tindakan tersebut menunjukkan bahwa engkau sedang berbuka.

Ketika engkau “geram” pada ketidakadilan, “berontak” pada segala bentuk penindasan, bukankah itu adalah sekaligus puasa dari kesabaran diperlakukan tidak adil dan berbuka dengan menu ‘geram dan berontak’? Mengamuk pada pelbagai jenis diskriminasi dan pelecehan, juga bisa kita artikan sebagai puasa dari rasa nriman dan legowo atas segala warna nasib. Bukankah itu hakikatnya sama saja puasa?

Kemudian jika mengacu pada Al-Qur’an, puncak pencapaian dari puasa adalah taqwa. Kualitas ruhaniah yang senantiasa berkesadaran secara utuh, taat dan waspada dengan dan kepada Allah—yang kemudian kita terjemahkan menjadi i’tikad melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi seluruh laranganNya.

Meski begitu, metadinamika ulang-aling antara puasa-berbuka akan tetap memerlukan reorientasi kiblat hati ke mana akan menuju. Sangkan paraning dumadi. Asal muasal segala (kejadian) dan penciptaan: Allah. Maka kualitas taqwa hanya bersifat tersemogakan dan karenanya Allah menyuruh umat Muslim rutin melisankan ihdinas-shirathal mustaqim sekurang-kurangnya 17 kali sehari.

Kebenaran Bersifat Relatif

Hal itu mengandung suatu simbolisme bahwa kebenaran kita, sehebat apapun kedudukan kita, ternyata pada dasarnya bersifat relatif. Yang bisa kita usahakan adalah melanggengkan etos berpuasa kita agar la’allakum tattaqun lebih memungkinkan diberikan Allah kepada kita.

Dan sejauh apapun langkah pikiran, pencapaian spiritual, dan setinggi apapun maqam kita, hanya rendah hati—sebagai bentuk puasa—yang mampu menyelamatkan kita dari dosa favorit Iblis yang bernama “kesombongan”. Sebab karena kesombongannyalah, Iblis diusir dan dihukum menyesatkan manusia hingga hari kiamat.

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ  ٢١٦

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. []

Tags: agamaHikmah PuasapuasaramadanTradisi Ramadan
M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Redaktur metafor.id. Peneliti swadaya seputar generasi muda dan sosial keagamaan. Alumni Tasawuf Psikoterapi dan Interdisciplinary Islamic Studies. Pegiat literasi dan seni yang kerap menulis dengan nama pena Madno Wanakuncoro.

Terkait Posts

KB

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

20 Mei 2025
KB

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

20 Mei 2025
KB dalam Islam

KB dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
Bersyukur

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

19 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version