Mubadalah.id – Dalam bab terakhir bukuku “Qira’ah Mubadalah” (2019), aku jelaskan bahwa paradigma Mubadalah (relasi kesalingan antara laki-laki dan perempuan) ini masih pada langkah sangat awal. Ia memerlukan berbagai upaya akademik untuk menguatkan konsep dan metodologinya (tanzhir), maupun kerja-kerja konseptualisasinya pada kerangka pemikiran fiqh (taq’id) misalnya, atau implementasinya (tafri’) pada contoh-cotoh kasus hukum maupun yang lain. Di antara upaya lanjutannya adalah konseptualisasi kembali (i’adah at-tanzhir) kaidah-kaidah fiqh yang sudah ada dan mengaktualisasikannya (i’adah at-tafri’) pada isu-isu hukum keluarga saat ini, misalnya, dengan perspektif mubadalah.
Kita bisa berangkat dari khazanah agung fiqh mengenai kaidah induk yang dicetuskan Imam Izzuddin bin Abdussalam (w. 660 H/1262 M), seoang ulama fiqh yang zahid, tokoh besar Mazhab Syafi’i. Yaitu pernyataannya bahwa inti dari hukum Islam itu “mewujudkan segala kebaikan dan menolak segala keburukan (jalb al-mashalih wa dar’ al-mafasid)”. Pernyataan ini dijelaskan secara sistematis dalam magnum opusnya “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” (Kaidah-kaidah hukum Islam mengenai kemaslahatan manusia). Pernyataan fundamental ini, oleh berbagai ulama, dijadikan induk bagi semua kaidah-kaidah fiqh.
Fiqh sendiri, yang sering diterjemahkan sebagai hukum Islam, adalah pemahaman (ijtihād) parsial untuk kasus per-kasus hukum Islam, yang terkadang sangat spesifik (al-juz’iyyah). Tetapi kasus-kasus fiqh ini bisa ditarik ke dalam sebuah kesimpulan hukum (al-qawā’id al-kulliyah) yang bisa dirujuk oleh sejumlah kasus parsial dari berbagai bab yang berbeda dalam persoalan fiqh. Di dalam kajian fiqh, ini disebut sebagai kaidah fiqh. Kaidah ini, sedikit banyak bisa disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang memudahkan pemahaman lebih luas dan detail dalam persoalan hukum fiqh. Kaidah-kaidah fiqh ini biasa disebut sebagai formulasi dasar hukum Islam, atau legal maxims of Islamic law.
Lima kaidah utama (qawa’id al-khams al-asas) dalam fiqh adalah: (1) kaidah `al-umuru bi-maqashidiha‘ (bahwa segala sesuatu itu didasarkan pada); (2) kaidah al-yaqin la yuzal bi asy-syakk (bahwa sesuatu yang sudah bisa dipastikan, tidak bisa dianulir oleh sesuatu yang masih diragukan); (3) kaidah al-masyaqqah tajlib at-taysir (kondisi sulit menuntut adanya kemudahan); (4) kaidah adh-dharar yuzal (setiap kerusakan harus diketepikan); (5) al-`adah muhakkamah (bahwa adat kebiasaan masyarakat bisa dijadikan dasar hukum di antara mereka). Lima kaidah ini merupakan turunan dan bisa dirujukkan pada kaidah induk di atas, jalb al-mashalih wa dar’ al-mafasid.
Kaidah induk dan lima kaidah dasar dalam fiqh, termasuk sebagai kaidah fiqh isu keluarga, saat ini, perlu dikonseptualisasikan kembali (i’adah at-taq’id) dan diaktualiasikan (i’adah at-tafri’) dengan memasukkan pengalaman biologis dan sosiologis perempuan yang dinarasikan Nur Rofi’ah dalam konsepnya mengenai Keadilan Gender Islam (KGI) sehingga menjadi relevan dalam menggulirkan kaidah fiqh isu keluarga. Dengan upaya integrasi pengalaman perempuan ini, diharapkan norma atau hukum yang keluar dari kaidah-kaidah ini akan benar-benar memperkuat peluang perempuan untuk secara nyata memperoleh kemaslahatan hidup (jalb al-mashalih) dan terhindar dari keburukannya (dar’ al-mafasid).
Penerapan Mubadalah dalam Kaidah Fiqh Isu Keluarga
Perempuan yang mengalami menstruasi, misalnya, bagaimana norma dan hukum yang dinarasikan adalah bukan yang membuatnya malah semakin sakit, terkucil, disalahkan, sehingga mereka tidak memperoleh asupan energi yang cukup atau fasilitas yang memadai. Semua kondisi ini adalah keburukan yang harus diupayakan segala sistem syari’ah Islam yang berinduk pada kaidah “dar’ al-mafasid” untuk dihapuskan dalam kehidupan nyata perempuan. Sebaliknya, narasi norma dan hukum Islam justru harus mendukung pemenuhan perempuan yang menstruasi ini agar terlindungi dari kesakitan dan kekerasan, dapat memperoleh asupan energi yang prima dan fasilitas yang berkualitas, bisa mengakses kebaikan-kebaikan publik secara bermartabat, dan dapat mendekatkan diri, dengan amal yang dibenarkan, kepada Allah Swt tanpa stigma kotor dan memalukan. Semua kondisi baik ini adalah kemaslahatan yang harus didorong terpenuhi bagi perempuan oleh segala sistem syari’ah Islam yang berinduk pada kaidah “jalb al-mashalih”.
Begitupun perempuan yang mengalami kehamilan, yang disebut al-Qur’an sebagai kondisi “sangat lemah” (wahnan ‘ala wahnin, QS. Luqman, 31: 14) dan “sangat tidak nyaman” (kurhan, QS. Al-Ahqaf, 46: 15), harus didukung sistem norma dan hukum Islam saat ini, agar mereka dapat melakukan peran ini dengan perlindungan penuh secara spiritual, material, dan sosial. Semua dukungan dan perlindungan ini adalah aktualitasi kongkrit dari kaidah induk “jalb al-mashalih wa dar’ al-mafasid” dan kaidah dasar “adh-dharar yuzal”. Hal yang sama juga dengan pengalaman perempuan melahirkan, nifas, dan menyusui. Dalam konteks hukum keluarga Islam, norma-norma ini bisa dimasukkan dalam penjelasan mengenai pembagian peran yang fleksibel dalam kehidupa rumah tangga antara suami dan istri.
Kaidah induk ini juga bisa di-tanzhir, taq’id, dan tafri’ kembali untuk mengkonstruksi relasi pasangan suami istri yang lebih mencerminkan kemaslahatan kedua belah pihak, dengan relasi kesalingan, sinergi dan kerjasama. Definisi pernikahan, misalnya, harus diformulasikan kembali yang lebih merepresentasikan tujuan kemaslahatan bersama, suami dan istri. Misalnya, pernikahan adalah ikatan antara laki-laki (calon suami) dan perempuan (calon istri) untuk hidup bersama berumah tangga dalam relasi yang saling menopang, menguatkan, dan melengkapi satu sama lain. Definisi ini diperlukan agar kaidah induk jalb al-mashalih wa dar’ al-mafasih benar-benar dapat diimplementasikan pasutri dan kemudian dirasakan bersama, terutama oleh perempuan, dari pernikahan yang dijalankanya.
Kaidah “al-umur bi maqashidiha (segala sesuatu didasarkan pada tujuan-tujuannya)” juga bisa dikonseptualisasikan kembali untuk mengkonstruksi pilar-pilar pernikahan atau rumah tangga yang harus selalu dijaga dan diimplementasikan oleh pasangan suami istri. Setidaknya, ada lima pilar relasi pernikahan yang disebutkan al-Qur’an; (1) ikatan kokoh (mitsaqan ghalizan, QS. An-Nisa, 4: 21) yang harus dijaga bersama; (2) semangat berpasangan (zawaj atau hunna libasun lakkum wa antum libasun lahunn, QS. Al-Baqarah, 2: 187); (3) saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19); (4) saling bermusyawarah (tasyawurin, QS. Al-Baqarah, 2: 233); dan (5) saling rela satu sama lain (taradhin, QS. Al-Baqarah, 2: 233).
Ketika kita memastikan kelima pilar al-Qur’an ini hadir nyata dalam norma-norma hukum Islam, terutama dalam narasi-narasi ajaran keagamaan, terkait seluruh fase kehidupan pernikahan, sesungguhnya kita sedang mengaktualisasikan kaidah dasar “al-umur bi maqashidiha”. Yaitu, bahwa segala aspek kehidupan berumah tangga, terutama relasi pasangan suami istri, harus didasarkan pada tujuan dasarnya. Tujuan ini sudah terekam dalam dan akan terlindungi melalui kelima pilar pasutri yang digariskan al-Qur’an di atas. Melalui kelima pilar ini, tujuan-tujuan pernikahasen (maqashid an-nikah) yang disebutkan al-Qur’an (sakinah, mawaddah, rahmah, QS. Ar-Rum, 30: 21) akan mudah terpenuhi bagi kedua belah pihak, laki-lak dan perempuan.
Dengan cara demikian, kita bisa mengkonseptualisasikan kembali (i’adah at-tanzhir) semua kaidah-kaidah fiqh yang telah dirumuskan para ulama fiqh, mulai dari kaidah induk (qa’idah al-umm), lima kaidah dasar (qawa’id al-khams al-asas), kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-‘ammah), maupun kaidah-kaidah khusus yang sering disebut sebagai adh-dhawabith al-fiqhiyah. Bisa juga, kita melahirkan kaidah-kaidah baru yang lebih responsif terhadap pengalaman dan pengetahuan perempuan. Yang pasti, kita bisa mengaktualisasikannya pada norma-norma hukum yang lebih mubadalah, sehingga relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempun, dalam kehidupan berkeluarga, lebih sinergis dan kerjasama.
Melalui usaha-usaha konseptualisasi dan aktualisasi ini, yang bisa disebut sebagai “mainstreaming mubadalah”, harapan memiliki keluarga yang relasinya sehat, kuat, dan tangguh, serta bahagia dan membahagiakan akan lebih mudah tercapai. Dengan usaha ini secara serisu, masing-masing anggota keluarga akan lebih mudah terkondisikan menjadi individu yang baik (salih dan salihah) satu sama lain, sehingga akan terbangun generasi yang baik dan sejahtera (dzurriyah thayyibah), umat terbaik (khairu ummah) dan bangsa baik sejahtera yang diridhoi Allah Swt (baldah thayyibah wa rabbun ghafur). Amin ya rabbal ‘alamin. []