• Login
  • Register
Sabtu, 23 September 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Malaikat Jaduk Menyamar Pagebluk 2

admin admin
19/03/2020
in Sastra
0
24
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Berhari-hari sudah, lagi-lagi, malaikat Jaduk menghilang dari joglo penjagaannya. Sejak bertandang ke joglo malaikat Darmo, malaikat Jaduk terlihat kian resah. Sebelum menghilang kembali itu, berkali-kali sudah cahaya malaikat-malaikat yang kebetulan melewati joglo malaikat Jaduk itu melihat malaikat Jaduk hanya termenung duduk, melamun dan tak menyapakan diri sebagai cahaya seperti biasanya.

Yang tampak pada dirinya hanyalah kerlap-kerlip yang timbul tenggelam, bercahaya sekilas lalu redup kemudian. Sampai kemudian malaikat Jaduk benar-benar hilang. Padahal jagad-jagad penjagaannya masih bernapas meskipun tersengal-sengal.

“Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan kali ini, Un. Aku akan sowan dulu kepada Gusti, jika memang Gusti menyetujui, kamu jangan kaget kalau aku akan menghilang sementara waktu. Aku akan turun ke negeri bawah barang beberapa waktu, aku hendak menyamar sebagai sesuatu.”

Begitu kalimat terakhir yang didengar malaikat Jamiun dari malaikat Jaduk sebelum kawan karibnya itu menghilang dari joglo penjagaannya. Malaikat Jamiun tak tahu apa yang hendak disampaikan sahabatnya itu kepada Tuhan, perbincangan apa yang terjadi antara sahabatnya dengan Tuhan. Atau apa rencana yang tengah disusun olehnya. Yang ia tahu, setiap malaikat memiliki laku tirakatnya sendiri-sendiri.

“Mungkin Jaduk sudah menemukan jawaban dari kedalaman batinnya sendiri. Mungkin ia sudah tahu laku tirakat apa yang harus dilakukannya kali ini.”

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • 4 Cara Kreatif Penghijauan di Ruang-ruang Terbuka
  • Dukungan Kiai Sahal terhadap Kiprah Nyai Nafisah
  • Buku Perempuan bukan Sumber Fitnah: Akikah bagi Anak Laki-laki dan Perempuan Cukup Satu
  • Ronggeng Gunung: Hakikat Penari Perempuan Sunda

Baca Juga:

4 Cara Kreatif Penghijauan di Ruang-ruang Terbuka

Dukungan Kiai Sahal terhadap Kiprah Nyai Nafisah

Buku Perempuan bukan Sumber Fitnah: Akikah bagi Anak Laki-laki dan Perempuan Cukup Satu

Ronggeng Gunung: Hakikat Penari Perempuan Sunda

—-

Duh, Gusti. Engkau tentu tahu betapa nelangsanya hamba ini, sebagai malaikat yang kadung jatuh sayang kepada jagad yang hamba jaga, melihat jagad-jagad kecil itu mulai terbatuk-batuk, napasnya tersengal-sengal, mereka sekarat lantaran jari-jari mungil para makhluk kecil itu telah merusak secara perlahan-lahan.

Menyamar sabagai tubuh yang berbicara sungguh tidak mungkin. Hamba harus menjadi sesuatu, menyamar sebagai sesuatu yang lain. Maka ijinkanlah hamba mengikuti laku tirakat beberapa malaikat yang lain, yang turun ke negeri bawah dan menjelma sesuatu. Kali ini, hamba ingin menyamar sebagai yang sungguh kecil dari debu, lebih mungil dari sebutir tanah, jauh lebih kerdil dari seiris zarah.

Ijinkanlah hamba membelah diri, merendahkan diri. Ijinkanlah menjadi…

—

“Pagebluk! Inilah yang disebut pagebluk! Inilah azab Tuhan kepada para pembangkang Tuhan, inilah azab kepada ras tertentu, karena mereka sudah berulang kali menzalimi kita, berlaku culas, tidak tahu diri, tidak pernah beribadah kepada Tuhan.

Maka beruntunglah kita yang masih punya iman, kita akan terjaga dari pagebluk. Pagebluk itu tak mungkin menyerang kita yang tiap hari menyembah, membela dan meneriakkan nama Tuhan. Pagebluk tak mungkin menempel pada diri yang suci seperti kita. Pagebluk hanya menyerang pendosa seperti mereka! Jangan takut kepada pagebluk. Takutlah kepada Tuhan!”

Seorang pemuka agama menyampaikan ceramahnya dengan nada yang memekikkan telinga, hingga cekung otot-otot pada lehernya menjumbul kentara. Malaikat Jaduk yang tengah menyamar sebagai sesuatu, perlahan-lahan dan dalam cara yang paling sunyi tak bersuara tak kentara, meneteskan air mata.

Ia tengah bertengger pada pipi seseorang di tengah keramaian pada sebuah helatan acara di mana sang pemuka agama itu mendakwahkan kata-katanya. Ada hening telaga pada pipi malaikat Jaduk, meskipun pipi seseorang yang tengah ditempelinya itu kering belaka.

“Nampaknya, penyamaranku kali ini akan berujung pada sedikit kekecewaan. Memang malaikat hanya bisa berencana, Gusti dan semesta juga yang menentukan ujung akhirnya,” begitu kata malaikat Jaduk dengan hati yang sedikit sakit. Bukan sekali itu malaikat Jaduk mendengar orang-orang memaki sesama mereka sembari menyebut nyebut penyamarannya.

Sesungguhnya, mula-mula ia senang bahwa penyamarannya sebagai pagebluk di suatu jagad berujung pada hal-hal baik yang ia tangkap dan dengar dari jagad itu sendiri. Sejak mendapat ijin dari Tuhan, malaikat Jaduk menyamar sebagai pagebluk dengan rentetan harapan bahwa makhluk-makhluk kecil di jagad-jagad penjagaannya bisa sedikit berbenah dari segala ketamakan dan ketaksabarannya dalam menjalani kehidupan. Sebab tubuh yang berbicara tak lagi bisa mempan melawan ketamakan.

“Terima kasih, Jaduk. Aku bisa sedikit bernapas kali ini. Lihatlah, di beberapa titik pada tubuhku, asap-asap yang terbuang dari mesin-mesin buatan si makhluk kecil itu kini agak berkurang. Jalan-jalan lengang, hewan-hewan, dedaunan dan pasir menggelar pesta berhari-hari di udara, merayakan kemerdekaankku, kemerdekaan mereka, sesuatu yang tak kami lakukan sejak lama,” kata suatu jagad kepadanya suatu ketika.

Tapi malaikat Jaduk baru menyadari, bahwa titik-titik yang menyuci dan melengang itu hanya beberapa saja di bagian tubuh si jagad. Sebab pada titik lainnya, penyamarannya sebagai pagebluk justru memunculkan kericuhan baru. Padahal sejak mula ia tujukan penyamarannya agar jagad lengang dari segalanya, agar jagad menjadi sunyi dan mampu berzikir dengan cara yang paling teduh, bersih dari segala kericuhan, kebencian dan ketamakan.

Maka mendapati berbagai teriakan yang tersebar di berbagai titik, berbagai suara yang berupa kebohongan belaka, juga tudingan-tudingan amarah yang dilakukan suatu makhluk kepada makhluk lainnya dengan embel-embel kesucian Tuhan dan agama, sembari menyebut-nyebut penyamarannya, malaikat Jaduk kembali menyelam dalam duka.

Ia lantas teringat betul dengan apa yang pernah disampaikan malaikat yang berpapasan dengannya usai sowan dan permohonan ijinnya kepada Tuhan di padepokan utama negeri langit.

“Kau boleh berencana dan melakukan rencana itu, sebab itulah tugas kita, tapi ingatlah kata-kataku ini, bukan sekali ini malaikat menyamar sebagai pagebluk. Kau mungkin yang kesekian ratus kali, atau keribuan kali, aku tak tahu pastinya. Tapi, pagebluk itu hanya akan menyembuhkan kericuhan yang kasat mata, yang jasmani, itupun barang sementara.

Ketika pagebluk hilang, jagadmu akan kembali disakiti. Napasnya akan kembali tersengal-sengal. Sebab kerusakan yang dilakukan makhluk kecil itu tak sekadar pada tangan mereka, pada kaki mereka, tubuh mereka. Semua ketamakan, ketimpangan dan kebencian, akar segala kerusakan itu, terletak pada batin mereka, sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh pagebluk, oleh apapun.

Kau harus mendekatinya dengan cara lain, dengan jalan cahaya, jalan cinta. Yang memang sampai saat ini belum pernah berhasil dilakukan oleh malaikat manapun di negeri langit. Sekalipun kita terbuat dari cahaya dan cinta, tapi makhluk-makhluk kecil itu sulit menangkap dan memahaminya.”

Kata-kata malaikat yang berpapasan dengannya kini berputar-putar pada kesadaran malaikat Jaduk. Ia ragu dengan dirinya, dengan penyamarannya. Tapi ia harus melanjutkan rencananya. Ia tak bisa pergi begitu saja.

“Kalau penyamaranku ini memang gagal separuh, paling tidak aku sudah melaksanakan tugasku. Entah akan berpangkal di mana, aku tak tahu. Aku hanya harus tetap menuju. Kalau-kalau aku berhasil, aku akan menjadi malaikat pertama yang berhasil menyembuhkan jagad kesayanganku, meskipun kemungkinannya sangat sedikit.

Kalau aku gagal, artinya aku akan kembali ke langit dan merencanakan penyamaran yang lain, mungkin aku menyerah saja dan memilih ditugaskan di negeri langit yang lain. Tapi sungguh aku tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.”

Demikian malaikat Jaduk berbicara dengan dirinya sendiri. Di tengah-tengah keraguan dan kebimbangannya, cahaya dan cinta dalam dirinya juga yang menuntunnya untuk tetap bertanya-tanya, sembari tetap menjadi. Ia tak tahu sampai kapan ia harus menyamar. Ia tak tahu apakah ada batasan dalam bersabar. Tapi kepada jagad yang dijaganya, ia hanya ingin tetap membersamai, bertabah dalam mencintai. []

admin

admin

Terkait Posts

Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Refleksi Kesehatan Seksual dan Reproduksi: Jangan Ada Rania yang Lain

10 September 2023
Hidup Minimalis

Memulai Hidup Minimalis dengan Berlatih Melepas Kepemilikan

20 Agustus 2023
Hari Asyura

Cara Mereka Berlomba-lomba dalam Kebajikan Menyambut Hari Asyura

6 Agustus 2023
Stasiun Roma Street

Stasiun Roma Street

2 Juli 2023
Hari Raya Iduladha

Menjumpai Siti Hajar di Hari Raya Iduladha

25 Juni 2023
Jilbab

Jilbab, Bukan Indikasi Kesalihanku

14 Mei 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mahnaz Afkhami

    Perjalanan Mahnaz Afkhami dalam Advokasi Hak-Hak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ronggeng Gunung: Hakikat Penari Perempuan Sunda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Buku Perempuan bukan Sumber Fitnah: Akikah bagi Anak Laki-laki dan Perempuan Cukup Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 4 Cara Kreatif Penghijauan di Ruang-ruang Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lagu Satu-Satu: Pentingnya Berdamai dengan Diri Sendiri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 4 Cara Kreatif Penghijauan di Ruang-ruang Terbuka
  • Dukungan Kiai Sahal terhadap Kiprah Nyai Nafisah
  • Buku Perempuan bukan Sumber Fitnah: Akikah bagi Anak Laki-laki dan Perempuan Cukup Satu
  • Ronggeng Gunung: Hakikat Penari Perempuan Sunda
  • Buku Bapak Tionghoa Nusantara: Ini Alasan Gus Dur Membela Orang Tionghoa

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist