Mubadalah.id – Hari Perempuan Internasional selalu mengingatkan kita tentang pentingnya memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah kondisi masyarakat yang masih belum sepenuhnya merekognisi dan mengafirmasi eksistensi perempuan. Namun, perlu kita ingat bahwa problem perempuan dalam sejarah Islam tidak terjadi hanya dalam satu malam atau satu tahun, tetapi sudah terjadi sejak lama sebelum Islam datang.
Sejarah mencatat bagaimana perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki, bahkan tidak dianggap sebagai manusia yang punya ruh. Hal ini terbaca dalam konferensi Kristen di Perancis Tahun 286 M yang membahas apakah perempuan adalah manusia yang punya ruh atau tidak.
Bagaimana mungkin ada manusia yang tidak memiliki ruh?
Namun, hasilnya mereka sepakati bahwa perempuan punya ruh, tetapi tidak setara dengan ruh laki-laki. Karena perempuan tercipta untuk melayani keinginan/birahi laki-laki. Begitu pun kondisi perempuan di Arab sebelum Islam datang. Mereka mengawinkan perempuan sebelum menstruasi dan dicerai, menjadi simbol kehinaan, dikawin dengan dijadikan jaminan hutang, alat pemuas seksual laki-laki, bahkan menanggung anak sendirian karena tidak diakui ayahnya.
Namun, Islam datang dengan misi yang jelas dan tegas dalam pembebasan perempuan. Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara dan bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa, tidak membedakan jenis kelamin (QS. al-Hujurat, 49/13).
Perempuan dalam Pandangan Islam
Dalam ajaran Islam, perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi pemimpin atas makhluk lain (QS. al-Ahzab 33/72) dan sama-sama menjadi hamba Allah (adz-Dzariyat/51:56). Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki independen dan akan kembali kepada Allah sendiri-sendiri secara otonom (QS. al-An’am/6:94).
Dalam konteks sosial, Islam memberikan perlindungan dan membebaskan perempuan dari perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Sebelumnya, bayi perempuan dikubur hidup-hidup, namun setelah Islam datang hal ini dilarang dan dianggap sebagai kejahatan. Ayah tidak lagi bisa mengabaikan anaknya dan harus mengaitkan anak dengan nasab orang tuanya.
Perempuan juga tidak lagi dikawinkan sebelum menstruasi, tapi harus sudah baligh dan atas persetujuan perempuan. Islam juga menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam warisan, bisa mewarisi dan mewariskan. Yang paling penting lagi, Islam melarang tindakan kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual.
Meskipun Islam sudah merespons problem perempuan secara serius, namun dalam 15 abad perjuangannya, problem tersebut tidak sepenuhnya sirna. Problem ini masih terus menggelayut dalam kehidupan umat manusia. Data WHO menunjukkan bahwa setidaknya 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan selama hidup mereka, mulai dari perdagangan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak, hingga kekerasan seksual.
Data Catahu Komnas Perempuan
Di Indonesia, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2022 mencatat terdapat 4.660 kasus kekerasan seksual. Bahkan di lingkungan pendidikan keagamaan Islam, terdapat banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi dari tahun ke tahun.
Sebagai contoh, antara tahun 2009 hingga 2012 di daerah Jawa Tengah tercatat ada 85 anak menjadi korban sodomi, perkosaan, kawin paksa, dan pelecehan seksual di pendidikan agama Islam. Kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 2015, LBH Jakarta mengungkapkan kasus perkosaan seorang ustaz kepada 7 santriwatinya yang masih di bawah umur dengan modus ‘minta dipijat’.
Pada tahun 2018, media sosial gempar dengan pemberitaan perilaku pencabulan terhadap 6 santriwati di pondok pesantren Lampung Timur. Selain itu, pada tahun 2019, 15 anak-anak santri berusia 13-14 tahun mengalami trauma akibat pencabulan oleh guru di pesantrennya di Kota Lhokseumawe.
Pada tahun 2020, terjadi kasus perkosaan beberapa santriwati Pesantren Majmaal Bahrain Shiddiqiyyah Jombang oleh MSAT yang merupakan putra dari pimpinan pesantren. Bahkan tahun ini 2023, media heboh dengan berita tentang pimpinan pesantren asal Jember. Di mana sang istri yang melaporkan perilaku suaminya, karena diduga mencabuli santri.
Meski begitu, terdapat banyak prestasi yang patut kita catat. Di antaranya, sejumlah negara Islam telah memiliki regulasi yang mengharamkan poligami atau poligami dipandang sebagai tindak pidana yang pelakunya harus dihukum.
Khidmah KUPI
Indonesia sejak Reformasi memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komnas Perempuan. Kemudian sejak 2017, juga telah memiliki ruang perjumpaan ulama perempuan Indonesia yang terorganisir, yaitu Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
KUPI mengambil peran khidmah dalam melakukan transformasi sosial yang perempuan alami. Antara lain, melalui Musyawarah Keagamaan. Misalnya, dalam Hasil Musyawarah Keagamaan KUPI ke-2 di Jepara membahas lima isu utama.
Pertama, peminggiran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama.
Kedua, pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan.
Ketiga, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.
Keempat, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan.
Kelima, perlindungan perempuan dari bahaya pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan tanpa alasan medis.
Metodologi Fatwa KUPI
Hasil Musyawarah Keagamaan ini kita refleksikan salah satunya dengan perspektif keadilan gender Islam. Atau biasa kita sebut dengan keadilan hakiki. Prinisip dasar dalam keadilan hakiki bagi perempuan terdiri dari lima aspek.
Pertama, memandang proses turunnya al-Qur’an secara berangsur dan bertahap (tadrij) sebagai hidayah (petunjuk) tentang pentingnya dialog antara nash agama dengan realitas kehidupan.
Kedua, mempertimbangkan pengalaman nyata perempuan sekaligus sebagai individu, umat Islam, warga negara Indonesia, dan warga dunia dalam memahami nash agama dan realitas kehidupan.
Ketiga, menempatkan nilai-nilai keislaman secara tidak terlepas dari nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Ajaran Islam tidak diperbolehkan menjadi justifikasi atas tindakan tidak manusiawi dan perpecahan bangsa.
Keempat, memperhatikan perlunya membangun secara sekaligus kesalehan individual dan struktural.
Kelima, memastikan metode apa pun yang digunakan dalam memahami nash agama dan realitas kehidupan mesti memperhatikan kondisi khas perempuan. Baik secara biologis maupun sosial yang berbeda dari laki-laki.
Keadilan Gender di Indonesia
Lebih dari itu, studi keadilan gender juga telah menjadi Pusat Studi di hampir semua perguruan tinggi. Indonesia juga telah meningkatkan usia minimal menikah menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Yakni melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU ini diterbitkan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan perkawinan anak. Selain itu juga memastikan bahwa anak-anak di bawah usia 19 tahun tidak kita nikahkan. Baik secara sukarela apalagi dengan paksa.
Indonesia juga telah menerbitkan undang-undang dan peraturan untuk memerangi kekerasan seksual. Pelarangan kekerasan seksual di satuan pendidikan telah diatur dengan tegas dalam Peraturan Menteri Dikbudristek dan Peraturan Menteri Agama.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan-peraturan Menteri ini memberikan pengertian yang jelas tentang kekerasan seksual. Di mana ada aturan tentang pemberian sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual, dan melindungi korban dari stigmatisasi atau diskriminasi.
Semua ini menunjukkan kemajuan dalam upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi kekerasan seksual. Khususnya dalam lingkup pendidikan dan kehidupan masyarakat secara umum.
Tantangan
Namun, masih ada tantangan besar yang perlu kita atasi. Di antaranya adalah meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pencegahan kekerasan seksual. Lalu meningkatkan perlindungan bagi korban, dan menjamin penegakan hukum yang adil dan tegas bagi para pelaku kekerasan seksual.
Tantangan-tantangan ini perlu kita atasi dalam mewujudkan kesetaraan gender, dan perjuangan ini tidak akan berhenti karena generasi akan terus berganti.
Dalam Hari Perempuan Internasional 2023 ini, kita perlu merenungkan kembali perjuangan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Terutama dalam menghadapi problem kekerasan seksual yang masih sering terjadi. Kita juga perlu mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi Undang-undang.
Dengan mengambil langkah konkret ini, kita dapat bersama-sama menciptakan dunia yang lebih adil dan setara bagi semua perempuan. []
*Artikel ini bagian dari program “Alternative Narrative” yang diinsiasi oleh Podcastren dan didukung oleh Indika Foundation