Mubadalah.id – Siapa di sini yang suka menonton film? Tentu hampir semua orang suka menonton film dengan beragam genrenya. Film tidak hanya menjadi sarana hiburan semata, akan tetapi juga menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kepada penonton atau masyarakat.
Melalui audio-visual, alur cerita, penokohan dan suasana emosional, menjadikan film sebagai salah satu produk budaya populer yang banyak digemari oleh masyarakat.
Demikian juga dengan dunia perfilman Indonesia yang akhir-akhir ini tengah ramai karena hadirnya film ‘Ipar Adalah Maut’. Film yang Deva Mahenra bintangi sebagai Aris, Michelle Ziudith sebagai Nisa dan Davina Karamoy sebagai Rani ini adalah film adaptasi dari kisah nyata yang mengisahkan kehidupan rumah tangga yang hancur akibat adanya perselingkuhan. Yang lebih menyakitkan adalah perselingkuhan tersebut justru dilakukan oleh Aris dan Rani, yang mana Rani adalah adik kandung Nisa dan merupakan adik iparnya Aris.
Penulis sebenarnya tidak akan membahas lebih lanjut bagaimana alur dan kisah dalam film tersebut. Yang ingin penulis tekankan dalam pembahasan tulisan ini adalah sosok perempuan yang bernama Nisa. Nisa kita kenal sebagai perempuan yang lemah lembut, cerdas dan mandiri.
Dulunya ia merupakan mahasiswi di tempat suaminya bekerja. Nisa juga mempunyai keterampilan dalam membangun usaha kue. Sosok Nisa ini digambarkan sebagai perempuan yang cukup sukses dalam bidang karir.
Namun, kehancuran rumah tangganya dianggap sebagai kegagalan dia dalam mengurus rumah tangga dan keluarganya. Padahal kegagalan rumah tangga merupakan tanggung jawab bersama, yaitu suami dan istri.
Bahkan perselingkuhan yang Aris dan Rani lakukan berdalih pada ketidakbecusan Nisa dalam mengurus rumah tangga. Nyatanya, perselingkuhan mereka adalah murni kesalahan dua manusia tersebut dan merupakan pengkhianatan terbesar bagi Nisa dan rumah tangganya.
Beban Ganda Perempuan
Dalam stigma masyarakat patriarki, perempuan selalu kita tempatkan dalam ranah domestik belaka. Kegiatannya hanya seputar memasak, mengurus anak, mencuci baju, dan bebersih rumah. Dan ketika perempuan mulai menjejaki ranah publik dengan berbagai alasan dan keadaan yang mengharuskan hal tersebut.
Seperti halnya ingin mengembangkan hobi dan keilmuan, membantu suami mencari nafkah, atau bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan akhirnya terjebak dalam lingkaran double burden (beban ganda). Beban ganda perempuan menempatkannya dalam berbagai peran dan urusan pekerjaan sekaligus urusan rumah tangga yang harus terselesaikan dengan baik.
Perempuan yang telah bekerja dari pagi hingga sore, harus memikirkan bagaimana tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga dapat ia jalankan. Segala urusan domestik harus ia kerjakan meski raga dan jiwanya kadang sudah begitu lelah setelah bekerja.
Sementara laki-laki? Kewajiban mencari nafkah memang terletak pada laki-laki dan ketika ia berangkat bekerja, pernahkah ia berpikir tanggung jawab dalam mengurus rumah dan segala pekerjaan domestik lainnya? Stigma dalam budaya patriarki menempatkan tanggung jawab pekerjaan domestik hanya pada perempuan, baik perempuan tersebut bekerja di ranah publik ataupun tidak. Sungguh ironi.
Beban ganda perempuan (double burden) inilah salah satu ketidakadilan gender yang masih terus mengakar kuat di masyarakat. Budaya masyarakat yang mengarah pada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, masih begitu sullit untuk kita musnahkan.
Terlebih, ketika ada urusan rumah tangga yang tidak terselesaikan, suami berselingkuh saja, yang kita salahkan karena ketidakbecusan perempuan dalam mengurus rumah tangga atau terlalu sibuk bekerja di ranah publik.
Mendobrak Beban Ganda Perempuan
Poin penting dari tulisan ini yaitu mendobrak beban ganda (double burden) yang perempuan alami. Bagaimana caranya? Secara singkat kita akan mengatakan dengan adanya kesetaraan gender. Maknanya, konsep kesetaraan gender ini melihat peran perempuan dan laki-laki bukan dari jenis kelamin, melainkan dari kemampuan masing-masing.
Urusan rumah tangga dan segala pekerjaan domestik adalah tugas bersama. Jika laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja sekalipun, maka urusan domestik menjadi tanggung jawab bersama.
Sekali lagi bahwa urusan domestik adalah basic life skill yang sebenarnya harus bisa dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Bahkan meskipun di antaranya ada yang lebih dominan dalam suatu pekerjaan. Prinsip kesalingan menjadi kunci tanggung jawab rumah tangga.
Terakhir, untuk mencapai upaya mendobrak stigma beban ganda ini. Laki-laki dan perempuan harus sama-sama belajar, mencari pemahaman dari konsep yang sudah saya sebutkan di atas. Kemudian kita terapkan dalam kehidupan rumah tangga. Agar nantinya benar-benar tercipta rumah tangga yang tenang, nyaman, dan bahagia.
Wahai laki-laki, jika kalian tidak ingin perempuan yang kalian cintai lalu nikahi merasakan beban ganda. Mari belajar bersama-sama! Wallahu A’lam bi ash-Shawab. []