Mubadalah.id – “Kalau nikah nanti, saya sih maunya pakai adat sunda. Kalau kamu, yu? Eh, kamu kan Feminis ya, nggak nikah.” Ucap seorang teman sambil mencolek lengan saya, disusul gelak tawa kawan-kawan lain. Saya hanya bisa terdiam, mencoba untuk tidak terlalu reaktif dengan komentar-komentar tidak penting.
Lagipula, apa yang salah dengan nyuci baju? Saat teknologi sudah modern, mereka tinggal memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci lalu menunggu waktu bilas sampai selesai, dan sampai kapan kita memperdebatkan pekerjaan domestik urusan laki-laki atau perempuan? apakah dengan mengurus rumah, nilai maskulinitas yang diagungkan laki-laki itu akan hilang?
Toxic masculinity yang lahir dari konstruksi sosial masyarakat patriarkal memberi beban kepada laki-laki untuk menjadi pihak yang selalu kuat dan dominan, termasuk dalam rumah tangga. Hal tersebut kemudian berpengaruh pada sulitnya penerimaan pandangan baru seperti feminisme yang menggugat hal-hal semacam itu.
Cara pandang seperti ini, biasanya datang karena kebiasaan-kebiasaan yang kita terima sejak kecil. Misalnya, anak laki-laki selalu kita tegur saat bergabung dengan kelompok anak perempuan untuk bermain boneka. Atau larangan menangis untuk anak laki-laki, karena tuntutan untuk harus selalu kuat dan tangguh.
Stigma tentang Feminis
Maskulinitas yang dibekali sejak dini menuntut laki-laki untuk lebih unggul dari perempuan, itu sebabnya banyak perempuan yang kehilangan ‘daya’ dan kendali diri saat sudah berumah tangga. Apalagi glorifikasi agama tentang tafsir dalil yang tidak ramah perempuan. Di beberapa akun sosmed dakwah, sering kita jumpai konten-konten serupa yang menempatkan posisi perempuan berada di bawah laki-laki.
Begitupun stigma tentang Feminis yang menolak untuk menikah. Saat ada yang mengatakan demikian, hal itu lantas kita anggap menjadi representasi feminis. Representasi tersebut kemudian digeneralisir oleh banyak orang, sehingga muncul sebuah stigma dan penggiringan opini.
Padahal, kalau belajar konteks spirit feminisme lebih dalam, feminis tidak hanya bicara soal perempuan dan patriarki. Feminis tidak hanya menempatkan perempuan sebagai korban patriarki, tetapi juga tentang bagaimana laki-laki pun bisa menjadi korban dari budaya patriarki. Karena toxic maskulinity itu tadi.
Konsep kesetaraan yang para feminis suarakan justru memberi ruang suami dan istri bisa bekerja sama agar tidak ada beban dan keretakan dalam rumah tangga. Memang, menikah adalah keputusan setiap orang dan itu harus kita ambil berdasarkan kesadaran penuh tanpa paksaan.
Ada perempuan yang menganggap bahwa pernikahan adalah penjara dan belenggu kebebasan, namun tidak sedikit yang melihat pernikahan sebagai pondasi untuk berelasi sehingga nilai-nilai kesetaraan bisa tertanam dari ruang lingkup terkecil yaitu keluarga.
Relasi Kemitraan Rumah Tangga
Dalam pengalaman berumah tangga saya saat ini misalnya, suami saya tahu betul bagaimana pandangan saya terhadap relasi kemitraan dalam rumah tangga. Sejak awal pernikahan kami bersepakat dalam banyak hal salah satunya pembagian peran domestik di rumah.
Saya memasak, suami mengepel lantai. Suami yang membayar tagihan, saya yang mengatur anggaran investasi. Pun dalam hal penyelesaian masalah, suami tidak menjadi pemeran tunggal dalam mengambil keputusan namun kita bicarakan bersama sampai menemukan sebuah solusi.
Contoh lain misalnya ketika Rina, salah satu teman saya, memutuskan untuk menjadi ibu bekerja. Dia merasa dia lebih bahagia saat bisa berdedikasi dalam karirnya, Sebaliknya suaminya memilih untuk menjadi “Bapak Rumah Tangga” yang mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah. Hal seperti itu sah-sah saja karena semuanya mereka lakukan atas kesepakatan bersama tanpa paksaan dari pihak manapun.
Di bukunya yang berjudul Perempuan [bukan] Makhluk Domestik. Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menegaskan bahwa dalam perspektif Mubadalah, Perempuan kita pandang sebagai subjek utuh dalam sebuah pernikahan. Artinya, tidak benar jika pernikahan adalah cara untuk merampas kemerdekaan salah satu pihak alias keduanya harus sama-sama enjoy dan bahagia.
Beliau menjelaskan, Laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri sama-sama kita dorong untuk aktif terlibat dalam kerja-kerja rumah tangga, sebagai kerja kebaikan. Keduanya berhak atas hasil baik dari kerja-kerja tersebut.
Siapa saja yang tenaga dan fisiknya lebih kuat, kesempatannya lebih terbuka, kapasitasnya lebih mumpuni harus lebih aktif untuk memfasilitasi dan memastikan semua anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya.
Spirit Feminisme
Jika kita memandang pernikahan sebagai upaya membangun komitmen, melakukan kerja-kerja domestik atau publik dengan kerja sama yang adil, maka mestinya siapapun berhak untuk memilih jalan menikah. Begitupun, jika ada yang memilih untuk tidak menikah dengan latar belakang yang beragam, kita harus menghargai keputusan itu.
Sayangnya, Stigma dan Stereotip bahwa feminis itu tidak butuh laki-laki seringkali dipermasalahkan oleh para lelaki. Yakni dengan menganggap hal itu sama saja dengan ketidakinginan untuk menikah atau jika menikah pun, pasti menindas suaminya sendiri. Saya sebagai Feminis garis bucin tentu saja menentang anggapan patriarkis ini.
Menikah atau tidak, tentu saja menjadi hak kebebasan perempuan untuk memilih, namun tak bijak rasanya saat satu stigma tersebut digeneralisir dan jadi kambing hitam bagi perempuan yang memilih jalannya sendiri. Jika menikah dengan spirit feminisme bisa membuat saya lebih bahagia dan berdaya, kenapa tidak? []
(Tulisan ini pernah dimuat dalam buku cetak Kumpulan esai dengan judul Menjadi Perempuan Setiap Hari)