• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Membaca Perintah Birrul Walidain Secara Mubadalah

Hasil pembacaan ini menuntut peran aktif dari anak dan orang tua dalam ayat-ayat relasional. Sehingga tidak ada lagi bentuk kewajiban yang mutlak menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja

Kholifah Rahmawati Kholifah Rahmawati
21/12/2022
in Hikmah
0
Perintah Birrul Walidain

Perintah Birrul Walidain

502
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perintah Birrul Walidain selama ini selalu dipahami sebagai perintah berbakti bagi seorang anak kepada orang tuanya. Konsep tentang birrul walidain menjadi salah satu tema pembahasan yang cukup populer karena memiliki banyak redaksi dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an Bicara Tentang Birrul Walidain

Redaksi ayat-ayat tentang birrul walidain  dalam Al-Qur’an kebanyakan memiliki redaksi yang tegas. Bahkan beberapa diantaranya disandingan dengan ayat-ayat tauhid. Kurang lebih terdapat tujuh ayat yang membahas konsep birrul walidain dengan tegas. Yaitu pada Qur’an surah Al-Baqarah: 83, Al-Nisa’: 36, Al-An’am: 151, Al-Isra’: 23, Al-Ankabut: 8, Luqman: 14, dan Al-Ahqaf: 15. Dari beberapa ayat  tersebut,  pembahasan paling banyak dan rinci penjelasannya dalam QS. Al-Isra’ ayat 23-24

۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ

“Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.” (QS. Al-Isra /17 : 23-24)

Penafsiran Ayat Birrul Walidain

Pada ayat 23 Allah memerintahkan manusia untuk berbakti  kepada orang tuanya. Perintah tersebut bahkan bersanding dengan perintah untuk tidak menyekutukan Allah. Hal ini tentu saja menunjukan betapa pentingnya berbakti kepada orang tua.[ Menurut Ibnu Asyur kata اِحْسٰنًاۗ pada kalimat awal merupakan sebuah keumuman yang mencakup seluruh rincian pada ayat berikutnya. Adapun rincian bentuk birrul walidain telah ditafsirkan beberapa ulama sebagai berikut.

Baca Juga:

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Peran Penting Ayah di Masa Ibu Menyusui

Buya Hamka menjelaskan bahwa kita diharuskan untuk bersabar dan menahan diri saat mengasuh orang tua yang sudah lanjut usia. Karena tabiat orang tua yang seringkali kembali seperti anak kecil  terkadang membuat kita kesal. Oleh karena itu, kita dituntut untuk bersabar dan menahan diri dari mengeluarkan kata-kata yang menyatakan kekesalan seperti berkata “uffin”.

Sebagai gantinya kita diperintahkan untuk mengucapkan kata-kata yang baik dan mulia kepada orang tua. Tentang bertutur kata yang baik (qaulan karima) Quraish Shihab menambahkan hendaknya kata-kata yang anak keluarkan kepada orang tuanya tidak hanya kata-kata yang benar dan tepat, atau sekedar menyesuaikan kebiasaan masyarakat, namun  juga harus merupakan kata yang terbaik dan mulia. 

Di akhir ayat Allah juga mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya sebagai anak mendoakan orang tua. Yaitu dengan memohonkan rahmat dan kasih sayang Allah kepada mereka. Sebagaimana orang tua telah mengasihi kita sejak kecil. Jika kita ringkas, setidaknya terdapat tiga cara agar seorang anak dianggap berbakti kepada orang tuanya. Yakni tidak menyakiti orang tua (secara lisan maupun perbuatan), bertutur kata yang baik kepada keduanya, dan yang ketiga adalah menyayangi, menghormati, dan mendoakannya.

Problem Ketimpangan dalam pembacaan Ayat-Ayat Birrul Walidain

Dari penafsiran ayat diatas, kita dapat melihat bahwa para mufasir lebih banyak menafsirkan ayat dari kacamata orang tua. Orang tua menjadi subjek utama yang dengan berbagai alasan berhak mendapatkan penghormatan, kasih sayang serta perhatian dari anaknya. Sedangkan anak diposisikan sebagai subjek yang harus menerima kewajiban birrul walidain  dengan berbagai rinciannya. Pembacaan tersebut  secara tidak langsung menciptakan kesan superioritas orang tua daripada anaknya.

Hal tersebut memang tidak bisa kita hindari, karena sebagian besar ayat tentang Birrul walidain memiliki redaksi tegas. Ayat-ayat tersebut juga selalu berisi perintah yang memberikan taklif birrul walidain kepada anak. Bahkan dalam beberapa ayat kewajiban tersebut bersanding dengan kewajiban pokok umat Islam untuk menjaga tauhid. Oleh karena itu, penafsiran yang lebih menampakan superioritas orang tua memang sulit kita hindari.

Prinsip Dasar Mubadalah dalam Relasi anak dan Orang Tua

Dalam perspektif mubadalah, hasil pembacaan yang demikian merupakan pembacaan yang kurang resiprokal dan rentan menyebabkan adanya dominasi serta hegemoni dalam sebuah relasi. Oleh karena itu, perlu adanya pembacaan yang melibatkan peran aktif dari kedua subyek (anak dan orang tua). Hal tersebut kita lakukan untuk menciptakan hasil pemahaman yang  lebih resiprokal dalam konsep  birrul walidain.

Makna Mubadalah dalam sebuah teks dapat kita ambil ketika kedua subyek relasi kita posisikan dengan setara dan saling melakukan hubungan timbal balik dengan baik. Selain itu, pemaknaan secara mubadalah juga harus kita sesuaikan dengan prinsip dasar keislaman yang terdapat pada ayat-ayat universal. Setelah itu, hal yang perlu kita lakukan adalah mengambil gagasan dari ayat-ayat relasional dan memubadalahkan subyek-subyeknya.

Dalam konsep birrul walidain yang yang berkutat pada relasi anak dan orang tua, setidaknya terdapat dua prinsip dasar yang dapat kita jadikan landasan makna mubadalah. Kedua prinsip tersebut adalah prinsip tauhid dan prinsip menjaga keluarga. Prinsip tauhid merupakan prinsip paling fundamental dalam Islam. Sehingga seluruh pemaknaan dalam teks-teks agama haruslah berpegang pada prinsip tersebut.

Dalam relasi anak dan orangtua, prinsip tauhid dikemukakan secara tegas dan hampir dapat kita temukan pada setiap ayat  tentang birrul walidain. Dalam QS. Al-Isra ayat 23-24. Misalnya, perintah berbuat baik kepada orang tua didahului dengan perintah untuk mengesakan Allah.

Sedangkan prinsip saling menjaga  dapat kita lihat dalam Qur’an Surat At-Tahrim ayat 6 yang memerintahkan untuk menjaga anggota keluarga dari api neraka.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ….

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….

Konsep Birrul Walidain dalam Perspektif Mubadalah

Dengan mengacu sistematika kerja mubadalah, maka subyek ayat berupa anak dan orang tua dapat terabaikan sementara. Kemudian focus pada gagasan utamanya untuk kita mubadalahkan. Jika kita analisa lebih mendalam, gagasan utama dalam  QS. Al-Isra ayat 23-24  adalah arahan dan tata cara menciptakan sebuah keharmonisan dalam keluarga.

Kita lihat dari redaksi ayat, terdapat beberapa hal yang harus kita lakukan untuk membangun sebuah keluarga yang harmonis. Yang pertama adalah keluarga yang kita bangun atas dasar tauhid, Kedua berbuat baik serta menghindari hal-hal yang berpotensi menyakiti, Ketiga membangun pola komunikasi yang baik antar anggota keluarga , dan yang terakhir adalah mendoakan anggota keluarga.

Hal paling mendasar untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis adalah membangunya atas dasar ketauhidan. Sehingga saat orang tua atau anak mengajak untuk mempersekutukan Allah, maka baik orang tua atau anak harus menolak ajakan tersebut. Penolakan ini bukanlah sebuah bentuk kedurhakaan. Melainkan sebuah upaya untuk menjaga prinsip ketauhidan dalam keluarga. Hal tersebut juga diterangkan secara tegas dalam Qur’an Surat Al-Ankabut ayat 8.

Menghindari Menyakiti Anggota Keluarga

Bentuk mubadalah kedua adalah menghindari hal-hal yang berpotensi dapat menyakiti anggota keluarga. Dalam redaksi ayat tersebutkan adanya larangan berkata “uffin” pada orang tua. Larangan tersebut sebenarnya adalah langkah antisipasi agar hal-hal yang berpotensi menyakiti (meski secara lisan) tidak kita lakukan.

Oleh karena itu, menurut Buya Hamka berlaku qiyas-awlawy dalam ushul fiqh. Yaitu, apabila mengucapkan uffin yang dianggap ringan saja tidak boleh, apalagi hal yang lebih berat dari itu. Seperti menghardik atau memukul orang tua.

Larangan tersebut ditujukan kepada anak untuk orang tuanya. Karena  orang  tua yang sudah lanjut usia dalam pengasuhan anaknya biasanya cenderung lebih sensitif.  Sehingga ayat ini menuntut seorang anak agar bersabar dalam mengasuh orang tuanya, serta menghindari hal-hal yang dapat menyakiti mereka.

Maka secara mubadalah, hal-hal  tersebut juga berlaku bagi orang tua saat sedang mengasuh anak-anaknya. Dalam mengasuh anak, seharusnya orang tua menghindari perkataan-perkataan yang dapat menyakiti hati anak, atau kata-kata yang sekiranya berdampak buruk bagi psikologi mereka.

Larangan Melakukan Kekerasan terhadap Anak

Dengan demikan, qiyas juga berlaku dalam hal ini. Jika berkata-kata yang berpotensi menyakiti anak saja terlarang, apalagi dengan tindakan yang lebih berat dari itu. Seperti memukul anak dengan kasar (bukan untuk tujuan mendidik). Ayat ini tentu  juga menjadi dalil pelarangan kekerasan terhadap anak.

Sebagai ganti dari larangan berkata kasar, Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar mengatakan kata-kata yang baik dan mulia qaulan karima. Hal-hal tersebut bertujuan untuk menyenangkan hati orang tua, serta sebagai bentuk bakti kepada mereka. Secara mubadalah hal tersebut juga berlaku sebaliknya. Dalam mengasuh anak, orang tua hendaknya mengucapkan kata-kata yang baik kepada mereka.

Selain sebagai bentuk kasih sayang, hal tersebut juga mengandung edukasi bagi anak. Dengan demikian kita harapkan anak mampu meniru perkataan baik orang tua dan tumbuh menjadi seseorang berbudi luhur. Pembentukan pribadi luhur dari anak inilah yang akan menjadi titik balik dalam relasi mubadalah antara anak dan orang tua. Seorang anak yang berbudi luhur tentu akan memperlakukan orang tuanya dengan baik.

Mendoakan Orang Tua

Hal terakhir yang dapat kita baca secara mubadalah dalam konsep birrul walidain pada QS. Al-Isra’ ayat 23-24 adalah perintah untuk mendoakan orang tua. Dalam ayat tersebut Allah mengajarkan do’a yang hendaknya seorang anak panjatkan untuk orang tuanya. Yaitu dengan memohonkan rahmat dan kasih sayang Allah kepada orang tua, sebagai balasan atas kasih sayang yang mereka berikan kepada anaknya sejak kecil.

Secara mubadalah orang tua juga hendaknya mendoakan anak-anaknya. Adapun do’a orang tua kepada anaknya dapat mencontoh do’a  dalam QS. Furqan ayat 74:

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Uraian di atas merupakan hasil rekonstruksi pembacaan dari konsep birrul walidain melalui perspektif mubadalah. Hasil pembacaan tersebut menuntut peran aktif dari anak dan orang tua dalam ayat-ayat relasional. Sehingga tidak ada lagi bentuk kewajiban yang mutlak menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja. Baik orang tua ataupun anak kita posisikan dengan setara untuk melakukan perannya masing-masing. []

 

 

Tags: anakBirrul Walidainkeluargaorang tuaparenting
Kholifah Rahmawati

Kholifah Rahmawati

Alumni UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan dan Mahasiswa di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Peserta Akademi Mubadalah Muda 2023. Bisa disapa melalui instagram @kholifahrahma3

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kehamilan Tak Diinginkan

    Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version